Landhuis Telok Poetjoeng: Setelah Irama Orkes Gambang Menghilang dari Rumah Gamelan
![](https://jernih.co/wp-content/uploads/2025/02/telok.jpg)
- Selama 30 tahun Landhuis Telok Poetjoeng menjadi saksi bisu ketegangan petani pribumi dan landheer.
- Pemerintah Hindia Belanda mengakhiri ketegangan dengan membeli semua tanah partikerlir landheer Khou Tjeng Kie.
- Landhuis Telok Poetjoeng kehilangan tuan dan tenggelam dalam kesepian absolut.
JERNIH — Ada berita menarik di Bataviaasch nieuwsblad edisi 3 Juli 1909, yaitu pesta ulang tahun ke-55 Phoa Keng Hek — huurder (pengelola) Land Telok Poetjoeng dan salah satu pemimpin Tiong Hoa Hwee Koan (THKK) Batavia. — merayakan ulang tahun ke-55 di Landhuis Telok Poetjoeng.
Semua pembesar masyarakat Tionghoa, Belanda, dan pribumi dari Batavia dan Bekasi tumplek di Landhuis Telok Poetjoeng. Maklum, Phoa Keng Hek adalah sosok terkenal di kalangan masyarakat Tionghoa Batavia dan pemukim Belanda. Ia banyak berjasa untuk masyarakat Tionghoa dan pemerintah Hindia-Belanda.
Para pembesar larut dalam pesta minum arak dan berjoget diiringi orkes gambang sampai larut malam. Phoa Keng Hek tak henti menenerima ucapan selamat dari kenalan dan kerabat. Penduduk setempat, terutama yang bermukim tak jauh dari Landhuis Telok Poetjoeng, tak lelah menengadah ke langit, menyaksikan petasan janghwe warna warni meledak di langit.
Itulah kemeriahan terakhir di Landhuis Telok Poetjoeng. Setelah itu, ketegangan — yang dipicu penolakan warga pemukim membayar tjuke dan mematuhi kompenian — kerap mewarnai Land Telok Poetjoeng dan tanah-tanah partikelir di bawah penguasaan Maatschappij tot exploitatie van vastigheden Khouw Tjeng Kie meliputi Telok Poetjoeng, Bekasi West dan Rawah Pasoeng, Tanah Doewa Ratus Lima Poeloeh, Tjikoenir, Soekapoera, Soengei Kendal dan Oedjoeng Menteng.
![](https://jernih.co/wp-content/uploads/2025/02/476799334_10227900530687364_4255035406523956280_n-1024x720.jpg)
Situasi itu berlangsung bertahun-tahun. Tahun1913, seperti diberitakan Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indièˆ edisi 8 Desember, ketegangan berubah menjadi kerusuhan yang membuat pemerintah Hindia-Belanda mengisyaratkan landheer (tuan tanah) Khou Tjeng Kie mengungsi ke Batavia.
Enam tahun kemudian, seperti diberitakan Bataviaasch nieuwsblad edisi 22 April 1919, pemerintah Meester Cornelis harus mengerahkan beberapa kompi pasukan untuk mengangkut tjuke, berupa bagian hasil panen yang harus diserahkan ke tuan tanah. Landhuis Telok Poetjoeng terlihat murung, dan terancam menjadi sasaran amuk penduduk yang marah kepada landheer.
Landhuis Telok Poetjoeng
Saat masih bernama Pondok Poetjoeng, Land Telok Poetjoeng — menurut Geschied- en aardrijkskundig overzigt van Java, op het einde der achttiende eeuw yang ditulis Johannes Hageman — dimiliki Georgius Everhardus Munnik. Sedangkan satu nama nyaris sama, yaitu Pondok Poetjong — menurut De Locomotief edisi 13 Maret 1885 — masuk masuk wilayah Land Tjakoeng.
![](https://jernih.co/wp-content/uploads/2025/02/476798347_10227900533807442_989384858326735264_n-1024x720.jpg)
Penamaan pertama tanah-tanah partikelir biasanya hak prerogatif landmeeter, atau juru ukur. Dalam kasus Pondok Poetjoeng, saat diukur, dipetakan dan diberi nama Pondok Poetjoeng, Telok Poetjoeng telah dihuni penduduk yang membangun rumah tinggal — biasanya disebut pondokan atau pondok. Telok Poetjoeng adalah nama lama yang dikenal penduduk.
Georgius Everhardus Munnik diperkirakan membeli Telok Poetjoeng tahun 1790, dan membangun landhuis-nya sebelum pergantian abad. Ini menunjukan Munnik mengelola sendiri tanah partikelirnya dan secara berkala mengunjungi rumah pedesaan, tapi tidak menetap dengan alasan keamanan.
Inventarisasi rumah-rumah pedesaan tua di Batavia, seperti tercatat dalam Oudheidkundig Verslag 1930, menyebutkan Landhuis Telok Poetjoeng tidak memiliki nilai arkeologis. Seperti Landhuis Antjolsche, Landhuis Telok Poetjong tidak dibangun sebagai satu kompleks rumah khas pedesaan.
Everhadus Munnik hanya mendirikan bangunan tunggal, dengan pintu utama lurus menghadap ke gerbang, dan jam lonceng (klokkestand) di halaman. Sampai 1930, Landhuis Telok Poetjoeng masih terpelihara, dengan bagian depan khas rumah pedesaan yang indah dan tempat duduk di geleri bagian dalam.
Penambahan bangunan di sekeliling Landhuis Telok Poetjong, terutama rumah gamelan (Gamelanhuis), penempatan dua meriam kecil di galeri depan, dilakukan pemilik berikut. Gerbang masuk juga tidak lagi asli seperti kali pertama dibangun. Landhuis Telok Poetjoeng relatif tidak memiliki perabot dan meubelair peninggalan pemilik pertama.
Khusus rumah gamelan, bangunan ini diperkirakan dibangun saat Landhuis Telok Poetjoeng jatuh ke tangan landheer Tionghoa. Rumah gamelan yang dimaksud adalah tempat sekelompok pemain musik memainkan orkes gambang — jenis kesenian yang populer di kalangan keluarga cabang atas (sia) peranakan Tionghoa Batavia saat itu.
![](https://jernih.co/wp-content/uploads/2025/02/477753768_10227900537247528_1991424872024906403_n-1024x725.jpg)
Di Landhuis Antjolsche, rumah gamelan agak tinggi dari tanah tapi bukan berupa panggung. Di Landhuis Telok Poetjoeng, rumah gamelan dibuat seperti panggung, dengan keempat sisinya diberi pagar. Saat landheer menggelar pesta, sekeliling rumah gamelan dipenuhi penari yang siap menemani para tuan berjoget.
Landhuis yang Murung
Tidak diketahui pasti sejak kepan Everhardus Munnik melepas Land Telok Poetjoeng. Yang pasti, sebelum tahun 1860-an Land Telok Poetjoeng dimiliki tiga anggota Keluarga Khouw; Khouw Tjeng Tjoan, Khouw Tjeng Kie, dan Khouw Tjeng Po. Ini terlihat dalam Vonnis Raad van Justitie Betawi 1861, saat ketiganya menggugat Rakiem — pribumi yang mengelola sawah Telok Poetjoeng dan mendirikan penggilingan padi. Namun, Land Telok Poetjoeng tidak tertera dalam Regeerings Almanaak voor Nederlandsch Indie 1865.
Di penghujung 1860-an, Land Telok Poetjoeng diletakan dalam Peratoeran Tanah Mardika Sebelah Kulon Kali Tjimanoek (Staadsblad 1836 No 19). Artinya, Telok Poetjoeng adalah tanah merdeka. Ketika terjadi perkara atas tanah Telok Poetjoeng tahun 1877, Landraad Bekasie memutusan tanah merdeka tidak boleh dikelola orang asing dan Tionghoa.
Tahun 1885, Mahkamah Agung (Hooggerechtshof) memutuskan orang asing dan Tionghoa boleh mengelola tanah mardika (merdeka). Setelah putusan inilah Keluarga Khouw memperoleh Telok Poetjoeng sebagai tanah partikelir miliknya dengan penguasaan penuh. Ketegangan dengan penduduk pribumi dimulai dari sini.
Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie 1898 mencatat Telok Poetjoeng — bersama Land Bekasi West dan Rawa Pasoeng, Tanah Doewa Ratoes Lima Poeloeh, Tjikoenir, Soekapoera, Songei Kendal en Odjoeng Menteng — diwariskan ke Khouw Oen Giok,landheer yang kemudian dikenal sebagai OG Khouw dan makamnya di TPU Petamburan, Jakarta, masih yang termahal sampai saat ini.
Selama tiga dekade abad ke-20 Telok Poetjoeng hanya berpindah dari satu ke lain tangan Keluaga Khouw. Khou Tjeng Kie, lewat Maatschappij tot exploitatie van vastigheden Khouw Tjeng Kie, menguasai Telok Poetjoeng. Pada periode inilah ketegangan dengan 40 ribu penduduk terjadi hampir setiap musim panen. Ketegangan dipicu penolakan warga membayar tjuke dan keberatan terhadap kompenian atau kerja wajib tanpa upah di tanah yang dikelola langsung tuan tanah.
OG Khouw dan OK Khouw, lewat NV Handelbouw en Cultuur Mattschappij Thiam Kie, sempat mengambil alih Telok Poetjoeng dari tangan Khouw Tjeng Kie, tapi tidak lama. Sebelum 1938, Khouw Tjeng Kie kembali memiliki tanah itu.
![](https://jernih.co/wp-content/uploads/2025/02/476811746_10227900539127575_1374307358557552853_n-1024x719.jpg)
Selama masa tegang dengan penduduk, dengan beberpa kali terjadi bentrok fisik, Landhuis Telok Poetjoeng nyaris tanpa landheer. Tahun 1928, Landhuis Telok Poetjoeng sempat digunakan potiah atau penyewa tanah. Namun — menurut laporan Algemeen Handelsblad edisi 4 September 1928 — pemerintah Meester Cornelis mengungsikan potiah ke Tamboen untuk meredakan ketegangan.
Landhuis Telok Poetjoeng tetap terpelihara sampai tahun 1935. Sejumlah centeng masih menjaga dan djongos masih menjamin bagian dalam dan luar rumah tetap bersih. Khouw Tjeng Kie tampaknya masih berharap kembali ke Landhuis Telok Poetjoeng dan menjalani hidup di tanah partikelirnya.
Perubahan terjadi tahun 1938. Pemerintah Hindia Belanda menugaskan N.V. Javasche Particuliere Landerijen Maatschappij merundingkan pembelian Land Telok Poetjoeng. Kesepakatan dengan Keluarga Khouw, dengan Khouw Tjeng Kie sebagai pemimpin, terjadi begitu cepat. Telok Poetjoeng, seperti diberitakan De Telegraaf edisi 26 Maret 1938, dilepas dengan harga dua juta gulden.
Landhuis Telok Poetjoeng tiba-tiba tanpa landheer. Tidak ada lagi centeng berwajah serem yang hilir-mudik di sekitarnya. Rumah gamelan kehilangan pemain orkes gambang, dan penduduk kehilangan kenangan atas suasana pesta peranakan Tionghoa cabang atas.