Crispy

Membaca Kota dari Pinggiran Panggung: Siapa yang Menjadi Siapa dalam Drama Budaya?

oleh : IRZI Risfandi

Dalam lanskap urban yang kian terdikte oleh estetika visual dan narasi tunggal yang dikurasi oleh institusi dominan—baik negara, pasar, maupun wacana akademik—posisi pegiat seni budaya lokal, khususnya Betawi, menempati ruang yang paradoksikal: hadir namun tidak dihadirkan, tampil namun tidak berbicara, hidup namun tidak diakui hidupnya secara epistemik. Mereka menjadi semacam bayang-bayang dalam teater kota, di mana panggung utamanya telah lama diokupasi oleh narasi besar tentang kemajuan, smart city, dan branding multikulturalisme yang seringkali mengabaikan realitas praksis dari kehidupan budaya warga.

Pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah: dalam percakapan budaya yang semakin didominasi oleh logika kapital simbolik dan distribusi perhatian yang timpang, bagaimana posisi pegiat seni Betawi dibingkai? Lebih jauh lagi, apakah mungkin membalik posisi mereka dari sekadar objek dalam imajinasi etnografis kota menjadi subjek yang aktif dan produktif dalam menciptakan makna atas Jakarta itu sendiri?

Jawabannya tidak bisa sekadar ditarik dari asumsi pelestarian tradisional atau nostalgia budaya yang sering dikemas dengan romantisme laten. Kita perlu memahami bahwa para pelaku budaya ini tidak berada dalam ruang hampa. Mereka menavigasi relasi kuasa yang kompleks—antara kebutuhan untuk tetap “asli” demi diterima, dan keinginan untuk berekspresi secara kontekstual dalam medan yang berubah-ubah. Dalam istilah yang lebih teknis, mereka berada di tengah tarikan antara eksotisme budaya dan agensi kreatif yang selalu dinegosiasikan.

Sering kali, mereka dimasukkan dalam kerangka kerja institusional yang memosisikan mereka sebagai “penjaga warisan budaya tak benda”, seolah-olah tugas utama mereka adalah menjaga stabilitas identitas, bukan menciptakan tafsir baru atas kenyataan. Hal ini menyebabkan seni tradisi tidak diberi ruang untuk menjadi spekulatif, reflektif, dan kritis—atribut yang selama ini justru dikaitkan secara eksklusif dengan seni kontemporer. Maka ketika seorang pemain lenong menyisipkan kritik terhadap kebijakan publik melalui humor, ia tidak dianggap sebagai seorang pemikir budaya, melainkan sebagai penghibur yang berhasil “menghidupkan suasana”.

Konsekuensinya, kita melihat kekosongan epistemik: para pegiat seni Betawi tidak diakui sebagai pembentuk wacana, hanya pelaksana adat. Mereka berada dalam semacam zona abu-abu budaya, di mana suara mereka dihargai selama tidak mengguncang sistem nilai dominan. Ruang kritik yang mereka ciptakan pun sering dibungkam secara halus lewat seleksi institusional, yang mengedepankan bentuk-bentuk budaya yang rapi, ringan, dan dapat dikomodifikasi dalam kerangka festival, pariwisata, atau CSR korporat.

Namun jika kita menggeser lensa analisis dari fungsi representasional ke fungsi performatif, akan tampak bahwa seni Betawi justru memproduksi wacana tandingan dari pinggiran. Ini bukan sekadar tentang estetika “kampung” yang eksotis, melainkan tentang cara warga kota bernegosiasi dengan krisis sosial—mulai dari penggusuran, peminggiran kultural, hingga depolitisasi ruang hidup—melalui ekspresi yang tidak langsung tapi sarat makna. Dalam logika ini, sebuah pertunjukan topeng di gang sempit bisa dibaca sebagai arsip politik mikro: ia menyimpan ingatan, melawan lupa, dan menawarkan tawa sebagai bentuk perlawanan terhadap perampasan wacana.

Lebih jauh, munculnya generasi muda yang meremiks elemen-elemen budaya Betawi melalui media digital mengindikasikan pergeseran bentuk produksi budaya dari yang bersifat representatif ke yang partisipatif. Proses ini tidak bisa dibaca sekadar sebagai komodifikasi atau hiburan populer, melainkan sebagai bentuk epistemologi baru yang menegosiasikan antara lokalitas dan globalitas, antara warisan dan kemungkinan. TikTok, Instagram, dan YouTube menjadi semacam laboratorium kebudayaan, tempat pantun dipadukan dengan meme, silat dengan visual efek, dan kritik sosial dibalut dalam estetika hiburan.

Kita bisa menyebut ini sebagai praktik spekulatif warga: ketika keterbatasan ruang dan sumber daya tidak dihadapi dengan sikap defensif, melainkan dengan kreativitas yang justru melampaui narasi formal. Dalam ruang-ruang inilah para pegiat seni Betawi menjadi subjek dalam pengertian penuh: bukan hanya karena mereka menciptakan, tetapi karena mereka juga menafsirkan dan menantang struktur makna yang selama ini dibakukan oleh sistem representasi dominan.


Namun, tantangannya tidak kecil. Institusionalisasi budaya sering kali tidak memberi ruang pada bentuk-bentuk ekspresi yang tidak sesuai dengan kerangka estetika nasional atau logika pertunjukan global. Mereka yang tidak kompatibel dengan agenda pelestarian versi kementerian atau tidak cukup “indah” untuk ditampilkan dalam festival internasional sering kali dibiarkan hidup di pinggiran. Ironisnya, justru dari pinggiran inilah inovasi muncul, dan dari keterbatasan inilah muncul keberanian untuk menyatakan keberadaan secara otentik.

Dalam kerangka ini, yang perlu dikritisi bukanlah para pelaku budaya, tetapi cara kita—sebagai penonton, akademisi, birokrat, maupun kurator—membingkai mereka. Apakah kita siap melihat seni Betawi bukan sebagai identitas statis, tetapi sebagai medan artikulasi? Apakah kita bersedia mendengarkan cerita dari mereka tanpa terlebih dahulu menyaringnya melalui lensa ekspektasi kita terhadap apa yang “Betawi” seharusnya?

Pada akhirnya, pergeseran posisi dari objek ke subjek tidak terjadi secara otomatis. Ia memerlukan kerja diskursif yang konsisten, ruang dialog yang setara, dan pengakuan bahwa produksi budaya tidak hanya terjadi di pusat-pusat wacana, tetapi juga—dan mungkin terutama—di lorong-lorong kota, di ruang tunggu RW, dan di atas becak panggung yang terus bergerak. Di sanalah, kota ini sedang ditafsirkan ulang setiap hari, bukan lewat rencana tata ruang, tetapi lewat tarikan biola, pantun lucu, dan gerak tubuh yang menyimpan sejarah.

Jakarta tidak dibentuk hanya oleh bangunan dan kebijakan, tetapi oleh cerita yang terus dilisankan, dilagukan, dan ditarikan oleh warganya. Dalam cerita-cerita itu, para pegiat seni Betawi bukan hanya pelakon masa lalu, tapi penulis naskah masa depan. Maka pertanyaannya kini bukan lagi “bagaimana kita bisa melestarikan mereka,” tetapi “apakah kita cukup rendah hati untuk belajar dari cara mereka melestarikan kita?”

JUNI 2025

***

BIODATA :

IRZI adalah nama pena dari Ikhsan Risfandi, lahir di Jakarta pada tahun 1985. Ia sempat menjajal dunia musik sebagai gitaris jazz sebelum akhirnya memilih untuk fokus menulis, terutama puisi dengan tema khas Jess & Beatawi, serta sesekali cerpen. Buku puisi pertamanya, Ruang Bicara, terbit pada 2019. Karya terbarunya, Trivia Kampung Sawah, merupakan buku puisi kedua yang diterbitkan oleh Velodrom pada November 2024.

Selain menulis puisi, cerpen, dan esai ulasan sastra, IRZI juga aktif menulis esai dan opini seputar kultur pop, sinefil, teknologi musik, sepak bola, gastronomi, serta kultur Betawi. Ketertarikannya yang lintas bidang memperkaya perspektif dan gaya tulisannya yang reflektif sekaligus jenaka.

Back to top button