5 PUISI SYAFRUL HAMDI

PULANG PETANG AYAH TAK MEMBAWA BULAN
bau tanah hitam
dari lantai rumah sembab
udara lembab
enggan membisikkan angin sepagi ini dan kelu
tak ada bau minyak tanah
asap dapur kebul-kebul
dari bilik-bilik pagar bambu berlubang
matahari menerobos masuk tanpa permisi
menyapa lekuk-lekuk seraut wajah derita ibu
dahi mengkerut
kami bagai jeruk perut
lapar seharian
perut buncit melantunkan nyanyian
kenyang dengan ombak dan gelombang
terus saja bernyanyi
bercerita tentang cacing-cacing kepanasan
tak ada nutrisi
untuk selalu berbagi
mata cekung
rambut wangi minyak kelapa
menghantar udara sepi
senja mengadu di ufuk barat
dari arena gocekan ayah lupa membawa bulan
malam memeluk dinginnya
Pasar Pancingan, 2 Juni 2025
CATATAN REDAKSIONAL
Bulan yang Tak Kembali dalam Sakunya
Oleh : IRZI Risfandi
Puisi “Pulang Petang Ayah Tak Membawa Bulan” karya Syafrul Hamdi hadir seperti sebuah kronik lembut tentang kemiskinan yang tidak dibungkus dengan ratapan, melainkan dikuatkan lewat metafora keseharian yang meranggas dan membekas. Judulnya sendiri sudah menyodorkan ironi: harapan yang seharusnya hadir dari ayah—sebuah simbol pencari nafkah dan pelindung rumah—ternyata tak membawa “bulan”, atau dalam tafsir kekiniannya: mimpi, cahaya, rezeki, atau bahkan semangat. Di tengah puitika sosial yang kuat, Syafrul menyuguhkan gambar realitas dengan kesederhanaan naratif yang menyakitkan.
Sejak bait pertama, suasana murung sudah disampaikan dengan detail atmosfer: “bau tanah hitam dari lantai rumah sembab”. Ia tidak butuh perumpamaan berlebihan; cukup menyodorkan situasi rumah berlantaikan tanah yang lembab dan sunyi, sudah cukup membuat kita sebagai pembaca merasa sesak. Latar puisi ini seperti terbentuk dari sisa-sisa musim paceklik: dapur yang tidak menyala, pagar bambu berlubang, dan ibu yang “dahi mengkerut”—semuanya bukan sekadar setting, tapi simbol tentang ekologi kemiskinan dan kerapuhan keluarga yang tetap bertahan dengan diam-diam.
Syafrul mengolah kegetiran bukan dengan dramatik ala sinetron sore hari, tetapi dengan penggambaran subtil namun kuat. Coba kita simak: “kami bagai jeruk perut”—ungkapan yang khas dan menggigit, mengacu pada kondisi getir dan asamnya hidup, terutama di hadapan perut lapar yang “melantunkan nyanyian.” Ungkapan ini secara antropologis merekam daya hidup masyarakat pedesaan: perut kenyang bukan dari nasi, tapi dari “ombak dan gelombang”—barangkali karena laut lebih murah diakses ketimbang pasar. Anak-anak kelaparan tapi masih bisa menyanyi, meski hanya dengan “cacing-cacing kepanasan” di dalam perut.
Maka ketika ayah digambarkan pulang petang dari “arena gocekan” (yang bisa dibaca sebagai lapangan kerja atau bahkan lapangan bola), namun “lupa membawa bulan”, metafora ini menjadi klimaks kesedihan yang khas Nusantara: puisi ini bukan hanya tentang kehilangan, tetapi tentang harapan yang dikejar namun tak pernah sampai. Dan yang tertinggal di rumah hanyalah ibu dengan “rambut wangi minyak kelapa” dan udara sepi yang mengendap seperti beban generasi.
Syafrul Hamdi, sang penyair dari Pasar Pancingan, menulis dari lumbung realitas. Ia adalah guru sekaligus penjaga memori desa yang tak terlalu jauh dari hiruk-pikuk sirkuit Mandalika yang gemerlap. Kontras ini justru memperkuat posisi puisinya—ia hadir bukan sekadar sebagai pengantar kata, tapi sebagai suara rakyat yang terbungkam sunyi. Dan dalam puisinya, kemiskinan bukan untuk diratapi semata, tapi diakui, dirasa, dan dimaknai. Dalam sepotong puisinya, Syafrul menghadirkan etnografi kecil yang jujur dan genting: bahwa ada keluarga yang menunggu bulan, tapi hanya mendapati dingin.
2025
AKSARA WANGI SEMERBAK KAMBOJA
membaca hidup garis dan lengkung
irama pergulatan waktu
memburu hari laju berputar
hujan terik panas seirama langkah tak pernah kelu
sesuap nasi kerja karya darma menanti
doa-doa persembahyangan
sesajian yang menuntun malam
melirik senja
mengajak ke pura dalem
ketenangan yang menjaga
di ujung hidup yang lelah
tak ada ketergesaan di sana
beban hidup yang merana
hati terjaga irama
dalam dekapan dewa-dewa
Pasar 3 Juni 2025
MALAM INI KAMBOJA JATUH
aromanya menyimpan bau tanah
basah pohon di pekarangan lembab
yang ingin membisikkan kenangan dari kata-kata lelah
teduh bersama pengap
sepasang bola mata bunda
hatinya ingin bernyanyi dan menangkap awan
menunggu hujan
menabur mimpi
sepuluh senja lagi nak
akan terbayar semuanya
lirihnya memberi senyum
wajah gadis ayu kuyu bisu
dari layu bunga matahari
ingin terus menyapa lentera
Pasar Pancingan, 4 Juni 2025
KAMBOJA BERGEGAS PULANG
matahari masih saja sepenggal
menyalak sepagi ini
barisan awan kelu di garis-garis langit
sulit untuk kubaca
tak lagi hadir melengkung
bumi tak mau basa-basi
namun hujan masih saja mengirim sinyal gerimis
memek menyeka keringat sesak di dada
basah dari tali kutangnya
tersandera rembulan
membagi cerita bersama debu
gadisnya mayang mengurai
lara terkulai
merupa anai-anai terlepas di batang padi
ranum harum haru biru
bersama embun menanggung malu
sepasang nyanyian burung di ranting kapuk kering
tak lagi merdu
Pasar Pancingan, 9 Juni 2025
ARENA GOCEKAN MENGUAP BERSAMA EMBUN
di kejauhan arena gocekan senja menyapa malam enggan menyisir temaramnya
musik gamelan bali mengalun
tersembunyi di dusun sepi
mereka masih saja berpesta
menutup odalan segera usai
tumpah ruah anak-anak, lelaki sebaya dan bau kubur
suguhan araq dan tuaq menyeraq menyengat pengap menguap bersama udara lalu
bau mulut lupa pulang tak tentu sasar
mata memerah saga dan memuntahkan amarah serupa
kobaran api membakar raga
di perjamuan
jero komang atur gawe strategi dan taktis
sang jago terus berlaga bergolak
mendengar sorakan dan teriakan
sumpah serapah dari tuan-tuan
melayang menyambar melesat di udara bersama debu
mereka lupa anak dan istri
setakar beras tak pernah pasti
menghitung nasib baik dan ambisi
tuak arak tuang dan colekan sabun mandi
dari janda pantat bahenol payudara turun menggoda sensasi
dinginnya malam ini
mendadak arena menjadi pertempuran sengit
porak-poranda kocar-kacir
mereka lari terbirit-birit
tembakan datang bertubi-tubi
gelanggang hancur remuk berkeping-keping
sekejap babinsa tni dan polri datang mengepung
dalih trantib dan kamtibmas
dikebiri
kejam mengerjap mengamuk serupa harimau kelaparan
meminta setoran lagi
sang empunya tak berdaya
menguap bersama embun lunglai menemani asap sepagi ini
catatan: gocekan (tempat judi sabung ayam)
Pasar Pancingan, 9 Juni 2025
BIODATA :
Syafrul Hamdi adalah penyair yang tinggal di Pasar Pancingan, Desa Wisata Hijau Bilebante, sekitar 20 km dari Sirkuit Internasional Mandalika, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Membaca dan menulis puisi telah menjadi hobinya sejak kecil. Saat ini ia mengabdi sebagai guru ASN di MTsN 1 Lombok Barat, di bawah naungan Kementerian Agama RI. Beberapa puisinya telah dimuat dalam antologi bersama, serta tersebar di media sosial dan komunitas penyair di Facebook.