Crispy

Di Antara Arak-arakan dan Penggusuran: Betawi, Jakarta, dan Tubuh-Tubuh yang Tak Diundang

JAKARTA BUKAN BETAWI, BETAWI NTU JAKARTA

Karya: Syamsudin Bahar Nawawi

Matahari udeh penter
ayam udeh berapa kali
mindo di kebon,

Emak ngejembreng jemuran
di jaro sembari ngingsod

sedangkan Babe asyik jongjon
nyeruput kopi di bale.

Bocah-bocah pada nenteng
kenpek ke sekolah.

Di jalanan pinggiran kampung
Sepasang ondel-ondel jejingkrakan

diarak keliling sembari ngecrek,
bukan lantaran jelekin budaya

Juga bukan lantaran ngenalin budaya
semua lantaran urusan isi perut anak bini.

Mau gimana lagi?
Hidup mingkinan sulit

semua berasa kejepit
isi perut berasa melilit

Rakyat kena sembelit
Lantaran banyak pejabat sakit (jiwa)

Matahari mingkinan ngegeser
ke pojokan belah kulon,

Ondel – ondel ngejogrok depan rumah
kagak ada girang-girangnya
biar kata diajak ngelayab seharian.

Jakarta kampung kelahiran,
bukan sekedar kampung ondel-ondel,

yang cuma diajak nandak saat ada kepentingan.
ngegelosor ntakan perut berasa nyelab.

Jakarta bukan Betawi, Betawi ntu Jakarta.

***

Di Antara Arak-arakan dan Penggusuran: Betawi, Jakarta, dan Tubuh-Tubuh yang Tak Diundang

oleh : IRZI Risfandi

Kota, di mata poskolonialisme, tak lagi hanya soal jalan-jalan dan bangunan; ia adalah teks terbuka tempat makna-makna saling tarik-menarik, bersilang, dan terkadang saling menegasikan. Jakarta, dengan segala lapisan sejarah dan luka yang membentuknya, adalah contoh paling kompleks—ia ibu kota, simbol kemajuan, tetapi juga tanah leluhur orang Betawi yang makin terpinggirkan. Dalam puisi “Jakarta Bukan Betawi, Betawi Ntu Jakarta” karya Syamsudin Bahar Nawawi, kita menemukan ironi itu: bagaimana tubuh-tubuh lokal dijadikan ornamen narasi nasional, namun ditolak saat mereka menuntut ruang sebagai subjek yang sah dalam kota yang mereka bangun.

Sejak baris pembuka, puisi ini langsung menegaskan sikap. Tidak ada ruang untuk nostalgia manis ala buku pelajaran atau brosur pariwisata. Kalimat seperti “matahari udeh penter” atau “ayam udeh mindo di kebon” bukan sekadar deskripsi pagi hari—mereka adalah pintu masuk ke denyut hidup Betawi yang riil, kasar, dan sehari-hari. Kita diajak menyaksikan emak-emak yang menjemur pakaian, bapak-bapak yang ngopi sambil melamun, anak-anak dengan kenpek di punggung. Betawi di sini bukan karnaval, melainkan kenyataan. Inilah bentuk peta alternatif yang disusun oleh mereka yang tak pernah diberi spidol dalam peta resmi kekuasaan.

Lalu muncullah sosok ondel-ondel—bukan dengan senyum besar atau gerakan ceria, tetapi sebagai simbol yang letih. Di tangan Syamsudin, ia bukan ikon budaya yang memancarkan semangat tradisi, melainkan tubuh budaya yang tengah mencari nafkah. “Jejingkrakan bukan buat ngenalin budaya / semua lantaran isi perut anak bini.” Betapa tajam baris ini: menyuarakan bagaimana identitas yang biasanya dijual untuk kepentingan pelestarian berubah jadi instrumen ekonomi darurat. Ada semacam kecerdikan subversif di sini, semangat ala strategic essentialism—ketika sesuatu yang sudah distempel oleh negara sebagai ‘budaya’ diputarbalikkan fungsinya oleh warga untuk bertahan hidup.

Yang membuat puisi ini begitu berdaya gugah adalah caranya merayakan bahasa sehari-hari, bukan bahasa tinggi. Kata-kata seperti mindo, ngejembrek, jongjon, ngecrek, ngelayab tak hanya menyuntikkan kekhasan lokal, tetapi juga mengukuhkan posisi bahasa rakyat sebagai alat perjuangan. Ini bukan soal logat atau aksen, melainkan cara menolak dominasi bahasa nasional yang sering kali terasa steril. Di tengah tekanan homogenisasi identitas, bahasa Betawi menjadi ruang perlawanan yang empatik—tempat komunitas marjinal bisa menyuarakan hidup mereka tanpa harus meminta izin pada tata bahasa baku.

Ada momen ketika puisi ini menyentuh sesuatu yang lebih dalam daripada kritik sosial biasa. Saat Syamsudin menulis “rakyat kena sembelit lantaran banyak pejabat sakit (jiwa),” ia tidak sedang bercanda, meski bentuknya seperti humor. Justru di sanalah terletak ketajamannya: ia menyisipkan kritik struktural dalam bentuk ironi, seolah berkata, “kami tahu, tapi kami tidak diberi tempat untuk bicara.” Ini adalah cara subaltern bersuara—bukan melalui pidato atau slogan, tetapi lewat satire yang menggigit dan menyentuh sesuatu yang lebih manusiawi daripada marah-marah di podium.

Dan mungkin, baris yang paling menyentuh adalah ini: “ondel-ondel ngejogrok depan rumah kagak ada girang-girangnya biar diajak ngelayab seharian.” Di sinilah kita melihat kehampaan itu—sosok budaya yang semula penuh semangat kini hanya jadi tempelan tanpa jiwa. Ia telah berubah dari lambang kebanggaan menjadi beban harian, dari identitas menjadi komoditas. Rasa lelah itu bukan metaforis—ia nyata, hadir di wajah-wajah orang Betawi yang tersingkir dari panggung utama kotanya sendiri. Kita sedang menyaksikan sebuah proses cultural fatigue, kelelahan kolektif dari komunitas yang terlalu sering diminta tampil, tapi tak pernah benar-benar didengar.

Judul sekaligus penutup puisi ini, “Jakarta bukan Betawi, Betawi ntu Jakarta,” membalik-balik makna dan menciptakan paradoks identitas yang membingungkan sekaligus menyentak. Syamsudin tidak menawarkan pelipur lara atau jalan keluar. Ia justru memecahkan stabilitas narasi kota, lalu membiarkan kita bergulat dengan kontradiksi itu. Betawi bukan sejarah mati, tapi tubuh-tubuh hidup yang masih berjalan di gang-gang sempit, di trotoar, di pinggir proyek-proyek besar yang tak pernah mereka diundang untuk rancang.

Kalau ditarik ke konteks seni dan budaya hari ini, puisi ini adalah bentuk estetika yang menolak ditundukkan pasar. Ia tidak ramah terhadap algoritma, tidak cocok untuk brosur kementerian, dan terlalu kasar untuk tema-tema festival. Tapi justru karena itu, ia penting. Di saat banyak karya berlomba tampil manis demi dapat panggung, puisi ini memilih menjadi suara yang tak bisa dijual. Ia menyodorkan luka yang belum selesai, dan mengingatkan: keadilan budaya tidak lahir dari panggung megah, tapi dari pengakuan terhadap mereka yang selama ini hanya dipanggil saat dibutuhkan—lalu dibungkam ketika mulai bicara.

Back to top button