CrispyDesportare

Masih tentang Final Piala Dunia 2022: Prancis yang Multiras, Argentina yang Tiba-tiba Rasis

  • Presiden Emmanuel Macron punya kepentingan politik atas sukses Prancis kali kedua juara Piala Dunia.
  • Meski kalah, semboyan la France Black-Blanc-Beur membisukan gerakan politik sayap kanan.

JERNIH — Di sebuah bar di Moskwa saat final Piala Dunia 2022, Matthieu Buge — orang Prancis yang bekerja di majalah l’Histoire, Seance, dan penulis buku The Russian Nightmare — dengan antusias mendukung Argentina.

Ia punya alasan untuk, mungkin menurut kita, menjadi tidak nasionalis. Yaitu, lebih menyukai tango Argentina ketimbang tim racikan Didier Deschamps. Yang agak aneh adalah Buge bukan penggemar sepak bola.

Beberapa hari setelah laga itu Buge menuliskan kesannya di Russia Today. Ia menggunakan referensinya untuk melihat le Bleus dan Albiceleste dalam pertandingan itu.

Pemain Argentina dengan semua tato, demikian Buge menulis, tampak seperti anggota geng Honduras. Entah bagaimana, geng Honduras itu memiliki kemampuan Italia, yang selalu jatuh setiap kali bersentuhan dengan lawan.

Situasi di kubu Prancis mungkin lebih menarik. Ketika pelatih Didier Deschamps mengganti Olivier Giroud, Antoine Griezmann, dan Theo Hernandez dengan Marcus Thuram, Kingsley Coman, dan Eduardo Camavinga, final Piala Dunia 2022 seolah bukan antara Prancis vs Argentina tapi Kamerun vs Italia.

Jelasnya, Prancis serba ‘hitam’ dan Argentina penuh ‘kulit putih’.

Sebelumnya, The Washington Post sempat mengeluh tentang tidak adanya orang kulit hitam di timnas Argentina. Sedangkan Prancis memiliki interpretasi ulang tentang hari-hari terakhir turnaen ini.

Politik Macron

Presiden Prancis Emmanuel Macron menyaksikan langsung final Piala Dunia 2022 dari tribune kehormatan. Ia terdiam setelah dua gol Argentina bersarang ke gawang Prancis, dan berdiri setelah Kylian Mbappe mencetak gol dari titik penalti.

Macron tidak ubahnya fans le Bleus yang lain. Ia melambaikan tangan, menyemangati Prancis untuk menyamakan kedudukan, dan Mbappe mencetak gol kedua saat laga waktu normal tersisa sembilan menit.

Sebagai presiden, Macron ingin les Bleus juara Piala Dunia kali kedua berturutan di masa kekuasaannya. Dari sudut pandang pemasaran politik itu amat penting untuk menunjukan diri sebagai bangsa bersatu.

Empat tahun lalu, di Piala Dunia 2018 Rusia, Prancis bertarung dengan semboyan; la France Black-Blanc-Beur (Prancis Hitam-Putih-Arab), dan menjadi keuntungan bagi mantan presiden Jacques Chirac.

Yang menang ternyata Argentina dengan Lionel Messi di dalamnya. Ini memberi prospek perayaan baru dari perdebatan kemenangan Prancis yang bersatu.

Perayaan Argentina bernada rasis. Penjaga gawang Emiliano Martínez mengejek Mbappe secara rasis. Di jejaring sosial, pemain Prancis yang gagal menembak penalti juga menjadi sasaran ejekan rasis.

Sepertinya, menurut Buge, pemain sepak bola adalah aktor di lapangan dan diva di tempat lain. Fans sepak bola yang dikenal emosional selalu mengarah ke segala jenis ejekan, atau bahkan membunuh seorang pemain.

Berikutnya adalah komedi. Pelanggaran yang dilakukan orang bukan siapa-siapa dianggap sebagai kekejaman, tapi ketika seorang pria berpenghasilan 200 ribu dolar (Rp 3,1 miliar) per pekan semua orang seolah dengan mudah memaafkan.

Le Pen vs anti-Rasis

Komedi yang lebih lucu adalah Marine Le Pen, politisi sayap kanan anti-imigran, mendesak PM Prancis Elisabeth Borne mengambil sikap atas tindakan terhadap gerakan ekstremis, apa pun pandangan politik mereka.

Sasaran Le Pen adalah imigran. Sebab, imigran menentang ultra-kanan, yang tidak membentuk gerakan politik apa pun. Sedangkan gerakan Antifa tidak pernah diganggu pihak berwenang.

Pertanyaannya, ke mana perginya oposisi sayap kanan Prancis? Rupanya, mereka berjalan jauh ke kanan, dan berakhir di krii.

Jadi, pemasaran politik Prancis mengubah kekalahan di Piala Dunia 2022 menajdi kampanye antirasis. Evolusi itu tidak masuk akal, tapi Prancis menempati tempat khusus dalam gerakan antirasis yang melanda Barat.

Masyarakat Jepang dibangun berdasarkan pada ras yang sangat lugas. Rusia berdasarkan etnis. AS berdasarkan kesuksesan ekonomi, dan Prancis pada bahasa.

Setiap orang Afrika atau Asia yang berbicara sedikit Bahasa Prancis dapat dianggap sebagai orang Prancis atau calon warga negara Prancis. Di Prancis, bayi yang lahir semakin banyak yang bukan keturunan Prancis.

Arsene Wenger, mantan pelatih Arsenal, menyebut wilayah sekitar Paris sebagai lempengan berisi kumpulan bakat sepak bola terbaik kedua setelah Sao Paulo di Brasil. Kini, mungkin wilayah Paris menjadi nomor satu.

Semua media dan aktivitas politik seputar Piala Dunia benar-benar hanya menunjukan satu hal; pergeseran etnografis yang terjadi di Eropa tidak boleh dihentikan.

Back to top button