Angka Kematian Resmi COVID-19 di India Diragukan
Secara keseluruhan, sedikitnya 195.123 orang meninggal dan 17,3 juta orang terinfeksi COVID-19 di India. Angka-angka ini mengejutkan, tetapi para ahli dan pembuat model epidemiologi percaya bahwa jumlah kematian akibat COVID-19 yang sebenarnya jauh lebih tinggi
JERNIH—Sejumlah ahli meragukan angka kematian akibat COVID-19 yang tengah merajalela di India, yang dilansir resmi pemerintah Narendra Modi. Mereka mengatakan jumlah kremasi di luar krematorium bahkan di trotoar di kota-kota, jelas menunjukkan bahwa angka kematian akibat COVID-19 jauh lebih besar
Selama seminggu antara 18 hingga 25 April, India melaporkan 2,24 juta kasus virus corona baru. Angka itu menjadi jumlah tertinggi yang dicatat oleh negara mana pun dalam periode tujuh hari. India juga mencatat 16.257 kematian, hampir dua kali lipat dari 8.588 kematian yang tercatat pada minggu sebelumnya, menurut data Kementerian Kesehatan.
India telah mencatat rekor kasus global lebih dari 300.000 kasus selama lima hari terakhir. Negara itu melaporkan 352.991 infeksi baru setiap hari dan 2.812 kematian terkait COVID-19 dalam 24 jam terakhir.
Secara keseluruhan, sedikitnya 195.123 orang meninggal dan 17,3 juta orang terinfeksi COVID-19 di India.
Angka-angka ini mengejutkan, tetapi para ahli dan pembuat model epidemiologi percaya bahwa jumlah kematian akibat COVID-19 yang sebenarnya jauh lebih tinggi daripada kematian yang dicatat oleh departemen kesehatan secara nasional.
“Pemandangan menyedihkan dari pasien yang sekarat di ambulans dan mayat yang dikremasi di tumpukan kayu di luar krematorium dan bahkan di trotoar di kota-kota, jelas menunjukkan bahwa (angka) tragedi itu jauh lebih besar,” kata Anoop Saraya, seorang dokter swasta, kepada DW.
Tingkat kematian yang relatif rendah di India tidak benar-benar menggambarkan realita, dan ada kecurigaan bahwa terdapat kekurangan penghitungan yang substansial di beberapa negara bagian. Para pengamat menduga banyak kasus infeksi COVID-19 yang tidak ditambahkan ke penghitungan akhir dan kematian akibat COVID-19 dituliskan akibat penyakit bawaan.
“Tampaknya ada perbedaan besar antara catatan resmi kematian yang terkait COVID-19 dan laporan kremasi dan penguburan yang (jumlahnya) merupakan kelipatan dari catatan,” ujar Gautam Menon, seorang profesor fisika dan biologi di Universitas Ashoka, kepada DW.
“Perbedaan ini menunjukkan bahwa angka sebenarnya sedang ditekan,” kata pakar kesehatan itu. “Jumlah kematian akibat COVID-19 yang sebenarnya mungkin 5 hingga 10 kali lipat dari jumlah resmi. Juga dengan kasus yang tidak dilaporkan dan rasio tes positif COVID-19 yang besar yang kami lihat di seluruh negeri, skala sebenarnya dari pandemi mungkin jauh lebih buruk daripada angka yang tercatat,” tambahnya.
Shahid Jameel, seorang pakar virus dan direktur Trivedi School of Biosciences di Ashoka University, juga menyatakan bahwa jumlah kematian sebenarnya lebih tinggi daripada yang tercatat, berdasarkan laporan dari kremasi dan situs pemakaman.
Dia menunjukkan bahwa permintaan yang melonjak untuk tes COVID-19 telah menciptakan penumpukan, sehingga menyebabkan laboratorium terlambat memberikan hasil tes dari yang semula beberapa jam hingga sekarang membutuhkan waktu berhari-hari.
“Satu masalah yang terjadi adalah hasil tes terlalu lama. Itu terjadi pada sepupu saya di Uttar Pradesh. Dia dites pada 13 April dan hasil tesnya masih belum keluar,” kata Jameel kepada DW.
“Dan dia tidak akan dilaporkan sebagai kematian akibat COVID-19 meskipun dia mengidap semua gejala, termasuk infeksi paru-paru yang sangat tinggi dan peradangan yang tinggi dalam darah. Ada ribuan kasus seperti itu,’’ tambahnya.
Pencatatan kematian yang buruk
Di kota-kota kecil seperti Surat, Kanpur dan Ghaziabad, yang telah melaporkan tingginya jumlah kematian akibat COVID-19, kremasi massal dilakukan di ruang terbuka karena kurangnya ruang krematorium dan kematian yang jauh melebihi angka resmi.
Meskipun banyak negara telah berjuang untuk mencatat jumlah pasti kematian akibat COVID-19, di India, masalah tersebut diperparah oleh kurangnya sistem pencatatan kematian yang efektif.
Sebagian besar kematian di negara ini tidak ditentukan penyebabnya oleh tenaga medis terlatih, sehingga data rasio kasus kematian tidak dapat diandalkan. “Karena pencatatan kematian yang buruk di India, pemerintah hanya memiliki sedikit data untuk merespons dampak COVID-19 pada sebagian besar populasi yang tinggal di daerah pedesaan,” kata Jacob John, ahli virus ternama, kepada DW.
Dengan tidak adanya sistem pencatatan kematian yang andal, Program Pengawasan Penyakit Terpadu (IDSP) pemerintah mengumpulkan data kasus COVID-19 dan kematian dari laboratorium dan rumah sakit.
Namun, kelemahan utama IDSP adalah tidak ada cara untuk melacak kematian di luar rumah sakit. “Dalam skenario saat ini, angka COVID-19 resmi India yang melonjak mungkin hanya seperti puncak gunung es. Karena tingkat pengujian yang rendah di luar kota-kota besar, beban kasus yang sebenarnya, dan kematian, dapat berkisar antara 10 hingga 30 kali lebih tinggi,” kata Vikas Bajpai dari Progressive Medicos and Scientists Forum.
Sementara, Prabhat Jha dari Pusat Penelitian Kesehatan Global di Toronto mengatakan kepada DW, bahwa ‘‘Diperlukan pelaporan kematian COVID-19 yang jauh lebih baik. Pelaporan harian atau mingguan dari jumlah total kematian menurut usia dan jenis kelamin oleh setiap kota yang akan membantu melacak apakah ada lonjakan dalam dugaan kematian COVID-19.‘‘ [Deutsche Welle]