POTPOURRIVeritas

Cerita Mualaf dan Pimpinan Muslimah Ukraina: “Islam Menguatkan Kami Melewati Ujian Ini”

Ramadan adalah bulan yang selalu ia tunggu dan ia anggap sangat spesial untuk memperbanyak ibadah. Viktoria adalah satu-satunya pemeluk Islam di keluarga besarnya. “Sangat memilukan dan sedih. Saya stres karena terpikir perang. Saat Tarawih misalnya, cerita dan gambar-gambar mengerikan dari Bucha dan Irpin, terbunuhnya warga sipil dan anak-anak, tak bisa lepas dari pikiran saya,” kata Viktoria.

JERNIH– Enam tahun lalu dia tidak tahu tentang Islam. Dia tidak mengenal seorang Muslim pun di Ukraina. Namun dalam Ramadan keenamnya tahun ini, dia termasuk yang paling aktif beribadah di masjid besar di ibu kota Kyiv.

Sejak invasi Rusia akhir Februari lalu, dia menjadi koordinator pusat sukarelawan yang berkantor di satu kompleks dengan masjid, membantu distribusi makanan untuk tentara dan warga sipil yang memerlukan. Dia juga merupakan direktur pusat sertifikasi halal Ukraina.

Perempuan muda itu, Viktoria Nesterenko, ketika dihubungi wartawan BBC News Indonesia, Endang Nurdin, mengungkapkan “kesedihan mendalam” atas apa yang terjadi di negaranya.

“Sangat memilukan dan sedih. Saya stres karena terpikir perang. Saat Tarawih misalnya, cerita dan gambar-gambar mengerikan dari Bucha dan Irpin, terbunuhnya warga sipil dan anak-anak, tak bisa lepas dari pikiran saya,” kata Viktoria.

Viktoria dan Niyara, tetap bertahan membantu perjuangan warga Ukraina memepertahankan kemerdekaan negaranya.

Ramadan adalah bulan yang selalu ia tunggu dan ia anggap sangat spesial untuk memperbanyak ibadah. Viktoria adalah satu-satunya pemeluk Islam di keluarga besarnya.

“Yang paling berat adalah secara spiritual, bukan menahan lapar, tapi untuk merasakan atmosfer Ramadan tanpa terpikir soal perang dan tanpa terbayang para korban,” kata Viktoria melalui sambungan video.

Ia mengirimkan video suasana buka puasa dan salat berjemaah di masjid Kyiv itu.

Ada sekitar belasan orang yang datang, sebagian besar mengenakan seragam atau kaus berwarna hijau tentara. Para jemaah adalah tentara perlawanan rakyat dan juga sukarelawan. Mereka meneguk air dan makan kurma sebelum salat Magrib berjamaah.

Awal April, pada hari-hari pertama Ramadan, warga Ukraina dan dunia dikejutkan dengan munculnya foto-foto dan tayangan mengerikan dari sejumlah kota di seputar Kyiv, termasuk Bucha, setelah pasukan Rusia mundur dan memusatkan serangan di wilayah timur.

Gambar jenazah bergeletakan di jalan-jalan dan hancurnya banyak gedung serta prasarana membuat banyak yang terkejut dan stres.

Di Chernovtsy – Chernivtsi, di barat daya Ukraina, Niyara Mamutova merasakan kesedihan mendalam yang sama. Bersama keluarganya, Niyara mengungsi ke kota itu dari Zaporizhzhia, tempat tinggalnya selama delapan tahun terakhir.

“Sirene bergaung setiap waktu dan banyak foto serta tayangan rumah-rumah, sekolah dan rumah sakit yang hancur di kawasan yang diduduki Rusia, bagaimana kami bisa hidup normal,” kata Niyara.

Jamaah ramadhan masjid Kyiv

“Melihat tayangan mayat-mayat, rumah-rumah yang terbakar membuat saya sedih sekali. Ramadan kali ini sangat memilukan.”

Niyara berasal dari etnik Muslim Tatar yang melarikan diri dari Krimea setelah invasi Rusia pada 2014. Namun sekitar delapan tahun menikmati hidup di kota Zaporizhzhia, ia terpaksa mengungsi lagi, hanya tiga minggu setelah melahirkan anak keempatnya.

Niyara dan Viktoria mengatakan agama menguatkan mereka melalui kondisi sulit ini. “Islam membantu saya untuk menjadi lebih kuat dan dapat melakukan apa yang bisa saya lakukan untuk membantu orang. Kami tetap membaca Al-Qur’an dan itu menjadi sumber kekuatan kami,” kata Viktoria.

Niyara mengatakan hal senada, imannya memperkuatnya melalui waktu paling sulit dalam hidupnya. “Agama sangat penting dalam masa sulit seperti ini. Agama membantu saya,” kata Niyara.

“Kami paham bahwa perang adalah ujian dan bila Allah memberikan ujian, Allah juga akan membantu kami melewati ujian ini,” katanya dan menambahkan doa mereka adalah perang segera berakhir.

Niyara dan Viktoria bercerita kepada BBC News Indonesia tentang tantangan yang mereka hadapi dalam menjalankan Ramadan di negara yang dilanda perang itu.

Inilah agama saya

Viktoria meluangkan waktu untuk BBC News Indonesia beberapa kali pada malam hari waktu Ukraina, setelah selesai bertugas dan menjalani Tarawih.

Ia masih terlihat bersemangat walau tampak lelah. Ia berupaya keras meningkatkan ibadah, katanya. “Saya berusaha membaca Al-Qur’an lebih sering lagi. Sulit khusyuk salat karena lelah dan stres,” kata Viktoria saat ditanya apa yang ia rasakan selama Ramadan sejauh ini.

“Kami selalu mencari waktu untuk salat. Bila sedang di lapangan, terkadang kami melakukan salat jamak, namun kami tak pernah meninggalkan salat.”

Kegiatannya sejak invasi Rusia pada 24 Februari lalu terpusat di pusat sukarelawan, yang terletak satu kompleks dengan masjid dan Pusat Kebudayaan Islam Ukraina, Kyiv, serta di kantor pusat sertifikasi halal.

Sebelum memutuskan masuk Islam pada 2017–setelah berlibur ke Sri Lanka– ia tak mengenal seorang Muslim pun di Ukraina. “Saya pertama kali berjumpa dengan Muslim justru di Sri Lanka saat berlibur di negara itu,” cerita Viktoria, menambahkan ia sempat mampir ke satu masjid dan merasakan begitu baiknya orang-orang yang temui.

Korban keganasan pasukan Rusia di Bucha, dimakamkan secara massal di depan gereja

“Sejak itu saya mulai belajar tentang Islam dan membaca Al-Qur’an. Orang-orang yang saya jumpai di Sri Lanka sangat baik dan selalu membantu saya karena mereka tahu saya berlibur sendiri dan mereka justru yang bertanya apakah tidak takut berlibur sendiri.”

“Jadi setelah kedatangan pertama saya, saya datang lagi setahun kemudian pada 2017, saya ke masjid di kota kecil itu dan masuk Islam. Saat itu saya yakin, inilah agama saya, sesuatu yang indah untuk saya.”

Tak begitu banyak jemaah yang datang untuk salat tarawih sejauh ini, menurut Viktoria, karena masih diterapkannya jam malam, sementara transportasi umum juga belum beroperasi.

“Saat perang dimulai, di masjid kami di Kyiv dalam tiga minggu pertama hanya saya, perempuan yang datang ke masjid dan setelah suasana mulai stabil sedikit, sudah mulai ada perempuan lain yang datang ke masjid,” katanya.

Pada Ramadan sebelumnya, terutama sebelum pandemi, sekitar 1.000 orang yang datang untuk berbuka dan Tarawih di masjid itu, kata Viktoria.

Niyara (menggendong bayi) terpaksa meninggalkan kota tempat mereka tinggal tiga minggu setelah invasi Rusia pada 24 Februari.

Muslim di Ukraina berkisar satu persen dari lebih 40 juta jiwa penduduk dengan mayoritas Kristen Ortodoks.

Namun sejak invasi Rusia, diperkirakan hampir empat juta orang mengungsi ke luar Ukraina, menurut data badan pengungsi PBB, UNHCR. Sementara jutaan lainnya mengungsi dan terpencar ke kota-kota lain.

Niyara Mamutova bersama keempat anaknya

Sebelum mengungsi, Niyara dan keluarganya tinggal di kota Zaporizhzhia selama delapan tahun. Ia mengorganisir LSM perempuan dan pusat sukarelawan dengan menjalankan berbagai kegiatan untuk perempuan Muslim.

Perang terjadi tiga minggu setelah kelahiran anak keempatnya, dan ketika mereka tengah memikirkan rencana Ramadan. “Kami sangat terkejut. Misil berjatuhan di bandara, kilang minyak terbakar … pasukan Rusia begitu dekat dengan kota kami. Saat itu hanya ada satu jalan menuju ke luar kota dan kami memutuskan untuk mengungsi,” cerita Niyara.

Perjalanan naik mobil ke Chernovtsy–yang biasanya dapat ditempuh delapan jam – memakan waktu empat hari.

Tidak seperti perang Krimea, yang hampir tanpa menimbulkan pertumpahan darah, invasi Ukraina banyak menelan korban. Perjalanannya ke Chernivtsi sangat menyulitkan, terutama bagi anak-anaknya.

“Anak-anak terpisah dari teman-temannya. Mereka kehilangan rumah. Kami tak aman lagi di kota kami. Pesawat tempur Rusia tetap terbang dan bom mereka bisa jatuh di mana saja, termasuk di kota ini,” kata dia.

“Sangat sulit untuk menyelamatkan diri dan bersembunyi, ketika sirena berbunyi. Kota kami hampir dikepung. Dan hanya satu jalan untuk keluar yang harus kami gunakan. Perjalanan kami memakan waktu empat hari karena begitu parahnya kemacetan jalan, pos pemeriksaan, bensin kurang dan lain sebagainya.”

“Perjalanan pengungsian kami tak mudah namun saudara-saudara dari kota lain melihat jenazah-jenazah bergeletakan, banyak yang rusak, banyak yang hancur. Sesuatu yang sulit dipercaya. Sampai sekarang pun, masih sulit kami percaya bahwa ini kenyataan,” tambahnya.

Setibanya di Chernovtsy, Niyara dan keluarganya tinggal selama empat hari di pusat Islam Bukovina, tempat yang disediakan untuk siapapun untuk beristirahat atau singgah dalam pengungsian ke luar negeri.

Mereka kini menyewa apartemen untuk keluarganya. Namun Ramadan kali ini sangat berbeda. “Seluruh keluarga besar biasanya berkumpul saat buka, salat tarawih. Namun kami semua terpencar karena perang. Sebagian meninggalkan Ukraina ke negara-negara lain. Sebagian tetap bertahan di Ukraina. Sebagian turun ke medan perang dan sebagian membantu menjadi sukarelawan,” cerita Niyara.

“Ramadan selalu berarti khusus di kota kami, Zaporizhzhia. Kami sangat beragam. Ada Muslim Tatar, Chechnya, Uzbekistan, India, Nigeria, Moroko dan juga warga Ukraina yang masuk Islam. Biasanya kami saling berbagi berbagai makanan dari berbagai negara,” kata Niyara mengenang apa yang biasanya mereka lakukan saat Ramadan.

Suami Niyara bekerja sebagai imam di masjid yang terletak di gedung yang sama dengan pusat Islam. Jam malam masih berlaku di kota ini sehingga mereka menjalankan tarawih di rumah masing-masing.

Di kota baru ini, mereka juga bertemu dengan keluarga Muslim lain. “Kami ingin tetap berguna bagi negara kami, bagi masyarakat yang memerlukan bantuan atau pun tempat tinggal. Kami ingin terus membantu dan menjadi tenaga sukarela karena kami adalah bagian dari masyarakat Ukraina.”

Niyara dan keluarganya membantu menyiapkan makanan untuk mereka yang mengungsi dan perlu tempat tinggal.

Kekurangan Daging Halal

Setiap hari, kata Niyara, ia membantu menyiapkan makanan bagi siapapun yang perlu dan juga tempat tinggal sementara di masjid. Salah satu masalah yang mereka hadapi adalah kekurangan daging halal.

“Kami menyiapkan makanan yang biasanya kami masak namun kami kekurangan daging halal. Alhamdulilah masih ada ayam halal,” kata Niyara.

Ia mengatakan organisasi bantuan Muslim di negara-negara seperti Turki mengirimkan makanan, sementara organisasi dari negara lain membantu mengirim perlengkapan masak.

Viktoria mengalami masalah yang sama di Kyiv, terutama untuk persediaan makanan halal dalam kaleng bagi tentara di medan perang.

Ia berharap masalah makanan halal bagi serdadu Muslim bisa segera diatasi, terutama makanan jadi dalam kaleng yang tak perlu lagi dimasak. Melalui organisasi “Sayap Kemenangan”, kata Viktoria, ia akan terus melanjutkan tugasnya membantu sebanyak mungkin orang.

“Saudara-saudara dan teman-teman saya berjuang melawan Rusia,” katanya. “Saya merasa saya harus terus membantu semampu saya. Saya memiliki tanggung patriotik. Kekuatan rakyat Ukraina adalah persatuannya. Kami harus tetap bersama dan saling membantu. Dengan begitu, kami bisa mengalahkan musuh kami,” tambahnya. [BBC News Indonesia]

Back to top button