POTPOURRI

Ibnu Tufail, Pengarang “Hayy Ibn Yaqzan” yang Menginspirasi Terciptanya Robinson Crusoe [2]

Kisah Hayy Ibn Yagzan hakikatnya melukiskan sejarah perjalanan umat manusia, kata De Boer. Seperti disebutkan di atas, novel-filsafat ini memberi pengaruh juga terhadap pemikir-pemikir Barat — terutama Eropa Barat — semacam Thomas Aquinas, Spinoza, Gauthier, Leibniz, Renan pada masa yang lalu. Dikatakan orang, jika tak ada Hayy Ibn Yaqzan takkan lahir Robinson Crusoe (1719-1820).

Oleh   : Ali Audah*

JERNIH–Kedua orang bersahabat itu akhirnya berkonflik dan berpisah. Asal pergi ke pulau yang kebetulan ditempati oleh Hayy. Mereka bertemu. Mula-mula satu sama lain terkejut, takut dan masing-masing mau menghindar. Asal yang menguasai beberapa bahasa pada mulanya tidak berhasil berkomunikasi dengan Hayy yang sama sekali tidak mengerti bahasa manusia.

Lambat laun setelah mereka mengerti, Asal (agama) mengetahui bahwa Hayy (akal) dengan intelek serta intuisinya yang luar-biasa, sudah memahami hakikat dasar arti adanya sebab pertama, Wajibu’l-Wujud tentang alam semesta dan eksistensi jiwa, keabadian serta kebahagiaannya, yang pada dasarnya sesuai dengan hakikat syariat agama menurut faham Asal.

Sekarang mereka kembali ke pulau tempat Asal. Mereka mencoba memberi pengertian tentang hakikat agama. Tetapi tidak berhasil. Mereka yang mengerti agama hanya kulit saja, bagi mereka agama itu upacara, soal lahir. Dan mereka inilah golongan terbesar. Yang dapat memahami hakikat agama dan syariatnya jumlahnya terbatas. Hanya mereka yang punya intuisi dan intelek yang besar. Mereka menerimanya dengan suatu syarq, pancaran Ilahi, (ini mengingatkan kita pada tafsir Abduh tentang arti hidayah dalam Surah al-Fatihah, ihdinas siratal mustaqim).

Ilustrasi di buku Crusoe

Mereka (atau Ibn Tufail) kagum sekali bahwa Nabi berhasil berbicara dengan awam dan bukan awam dengan bahasa tamsil dan perlambang. Di sini tampaknya Ibn Tufail mau menyampaikan pikiran Ibn Sina bahwa misi kenabian lebih tinggi dan lebih agung daripada misi filsafat. Filsafat mengisi otak, agama menembusi kalbu dan rohani setiap manusia.

Juga di sini seolah Ibn Tufail menyetujui pikiran Imam Gazali dalam “Ihya’ Ulumuddin” bahwa manusia itu terdiri dari tiga golongan: (1) golongan awam. Mereka ini menerima secara bersahaja, takkan sampai kepada inti, dan mengartikannya cukup dengan pidato-pidato. (2) Golongan khawas. Mereka cerdas, punya intuisi, pandangannya mendalam (mereka terbagi lagi ke dalam beberapa bagian). Mereka memahami serta menghayati agama dan mengajak orang dengan hikmah bijaksana (an-Nahl (16J:125) dan (3) golongan yang suka berdebat (lanjutan ayat di atas).

Kisah Hayy Ibn Yagzan hakikatnya melukiskan sejarah perjalanan umat manusia, kata De Boer. Seperti disebutkan di atas, novel-filsafat ini memberi pengaruh juga terhadap pemikir-pemikir Barat — terutama Eropa Barat — semacam Thomas Aquinas, Spinoza, Gauthier, Leibniz, Renan pada masa yang lalu. Dikatakan orang, jika tak ada Hayy Ibn Yaqzan takkan lahir Robinson Crusoe (1719-1820).

Terjalin juga pandangan Ibn Tufail yang unik tentang moral dan alam. Segala ujud yang ada dalam alam ini, katanya, tumbuh-tumbuhan atau hewan mempunyai tujuan tertentu … Sifat buah-buah misalnya, tujuannya keluar dari bunga, kemudian berkembang jadi masak dan ranum, bijinya jatuh ke tanah untuk kemudian tumbuh lagi menjadi pohon.

Apabila ada orang yang memetik kemudian buah itu sebelum mencapai pertumbuhannya, maka perbuatan itu patut dicela, tidak bermoral, sebab dia merintangi pertumbuhan benda tadi dalam mencapai tujuannya yang alami. Dengan demikian kelompok pohon ini dikeluarkan dari jenisnya. Orang yang memakan buah yang sudah masak tapi bijinya dibuang di lautan, di sungai, di batu atau di tempat-tempat yang tak mungkin tumbuh lagi, perbuatan itu pun tak bermoral (biadab), sebab dia telah merintangi pertumbuhan bibit tadi mencapai tujuan yang alami, dan ini berarti mengurangi kelestarian alam. Orang tidak boleh makan dari jenis tumbuh-tumbuha atau buah-buahan yang langka sebab ini berarti membinasakan jenis tanaman itu untuk selamanya…

Menurut Ibn Tufail akhlak (moral) yang terpuji ialah manusia harus melindungi alam. Apabila ada suatu gangguan yang akan merintangi pertumbuhan tanam-tanaman atau hewan dalam mencapai tujuannya secara alami, manusia berkewajiban menghilangkan gangguan itu.

”Kalau orang melihat tumbuh-tumbuhan yang tertutup dari sinar matahari, atau terganggu oleh tumbuh-tumbuhan lain yang akan merusaknya, maka orang harus mengatasi gangguan itu. Tumbuh-tumbuhan yang mengganggu perlu dipisahkan tapi jangan pula dirusak. Kemudian bila perlu disiram lagi. Juga hewan yang diganggu oleh binatang buas lain, atau dalam kehausan, kelaparan, terjepit atau terjerat, harus ditolong. Air yang mengalir yang mengairi tanam-tanaman atau hewan, tanah longsor atau batu yang menghalangi jalannya air tadi, harus dihilangkan.

Jadi menurut Ibn Tufail ialah “akhlak (moral) yang baik ialah membiarkan alam dalam segala sesuatunya berjalan menurut bawaannya sendiri”.

Akhlak yang positif, dari segi agama atau masyarakat, seperti halal, haram, bohong, jujur dan sebagainya oleh Ibn Tufail tidak disinggung, sebab ia mau menekankan manusia (Hayy) yang hidup dalam lingkungan alam, bukan lingkungan masyarakat manusia. Akhlak positif itu bukan tujuan tapi sarana untuk mencapai tujuan. Oleh sebah itu langsung ia membicarakan tujuan.

Wawasan demikian sekarang dijadikan undang-undang oleh bangsa-bangsa beradab di dunia.

Novel “Hayy Ibn Yaqzan” sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa: Ibrani, Latin, Inggris, Prancis, Spanyol, Jerman, Rusia, Belanda dan lain-lain. Dalam abad ke-14 Moses Narbone menerjemahkannya ke dalam bahasa Ibrani dengan diberi komentar, pada abad ke-15 Picodella Mirandola menerjemahkannya ke dalam bahasa Latin melalui bahasa Ibrani.

Yang terkenal terjemahan langsung dari bahasa Arab ke dalam bahasa Latin dilakukan oleh Eduard Pockoke dengan judul “Philosophus Autodidaktus” (1671). Melalui ini kemudian Simon Ockley menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris: “The Improvement of Human Reason” (1708) dan edisi baru terbit dengan judul “The History of Hayy Ibn Yaqzan” (1929).

Terjemahan Leon Gauthier dalam bahasa Prancis lengkap dengan teks Arabnya: “Hayy ben Yaqdhan, roman philosophique d’Ibn Thofail” (cetakan kedua 1936). Jika saya tak khilaf, dalam bahasa Indonesia yang pertama sekali membicarakan Hayy Ibn Yaqzan adalah M. Natsir (“Pedoman Masyarakat”, Desember 1937. Dimuat kembali dalam kumpulan karangan M. Natsir: “Capita Selecta”).

Beberapa tahun yang lalu Prof. Dr. Drewes pernah memberikan ceramah di Taman Ismail Marzuki Jakarta tentang Ibn Tufail dan novelnya ini. Sampai saat ini masih terbit tulisan-tulisan dalam majalah-majalah atau buku-buku tentang Ibn Tufail dan  karya-karyanya yang abadi itu. [  ]

Jakarta, Mei 1978

*Almarhum seorang sastrawan terkemuka dan penerjemah hebat yang menerjemahkan biografi Nabi Muhammad SAW beserta empat sahabat beliau.

Back to top button