Kenangan Natuna Jenderal Yudo
Kopi favorit Doni Monardo itu memang sudah kesohor. Bahkan saat kunjungan ke Jenewa dan Den Haag Belanda Mei 2019 Doni pun membekali dirinya dengan kopi puntang. Kopi Gunung Puntang, Jawa Barat bahkan pernah menjuarai Specialty Coffee Association of America Expo di Atlanta, Amerika Serikat, 2016.
Oleh : Egy Massadiah
JERNIH– PENGANTAR: Laksamana TNI Yudo Margono, resmi menjadi Panglima TNI ke-22. Ia dilantik Presiden Jokowi di Istana Negara hari Senin tanggal 19 Des 2022. Penulis menyimpan catatan menarik, tentang Yudo.
Kisah itu terjadi tahun 2020, saat Yudo menjabat Pangkogabwilhan I berpangkat Laksamana Madya. Penulis saat itu mendampingi Kepala BNPB Doni Monardo dalam proses pemulangan WNI di Natuna, mendengarkan langsung dari Doni, “Orang ini (Yudo Margono) kerjanya sangat bagus. Dia bakal jadi Kasal.” Tentu saja “rerasan” itu hanya kami yang tahu. Hingga akhirnya 20 Mei 2020 Yudo dilantik menjadi Kasal ke-28. Dengan naiknya Yudo Margono sebagai Panglima TNI, “ramalan” Doni Monardo terlampaui.
Tulisan tentang Yudo dan Doni, ini sudah termuat di buku yang saya tulis “Titik Nol Corona: Doni Monardo di Pusaran Wabah” (halaman 1) terbit tahun 2021. Simak nukilannya:
**
Tahukah Anda, efek plasebo menghirup seduhan kopi. Ternyata tidak hanya mendatangkan perasaan relaks, seperti dilansir Jurnal Science Alert, Amerika Serikat. Bagi dua orang jenderal ini, secangkir kopi bahkan bisa merajut sepanjang jalan kenangan.
Setidaknya, itulah kesan yang saya tangkap Selasa (9/6/2020) saat Ketua Gugus Tugas Covid-19, Letjen TNI Doni Monardo menerima kunjungan KSAL Laksamana TNI Yudo Margono. Bertempat di ruang kerjanya, Lantai 10 Graha BNPB, Jl. Pramuka, Jakarta Timur, tuan rumah Doni Monardo menyuguhkan Kopi Puntang.
Kopi favorit Doni Monardo itu memang sudah kesohor. Bahkan saat kunjungan ke Jenewa dan Den Haag Belanda Mei 2019 Doni pun membekali dirinya dengan kopi puntang. Kopi Gunung Puntang, Jawa Barat, bahkan pernah menjuarai Specialty Coffee Association of America Expo di Atlanta, Amerika Serikat, 2016.
Laksamana Yudo dan Letjen Doni terlibat pembicaraan menyusuri jalan kenangan di awal bulan Februari 2020. Saat itu, keduanya terlibat kerjasama spartan dan solid melayani karantina 238 WNI asal Kota Wuhan, Ibukota Provinsi Hubei, China. Doni Monardo dalam kapasitas sebagai Kepala BNPB, sedangkan Laksamana Madya (saat itu) Yudo Margono sebagai Panglima Kogabwilhan 1.
Teritori Kogabwilhan 1 meliputi wilayah darat: Sumatera, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Sedangkan wilayah laut yang dikuasainya meliputi perairan di sekitar Sumatera, DKI, Banten, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan ALKI-1 beserta perairan sekitarnya. Untuk wilayah udara, meliputi di atas Sumatera, DKI, Banten, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tegah dan ALKI-1 beserta perairan sekitarnya.
“Ketika mendapat berita itu, saya segera meluncur ke Natuna, menjumpai Bapak Menko PMK, Menkes, dan Kepala BNPB,” kenang lelaki kelahiran Madiun 26 November 1965 itu.
Masih segar dalam ingatan Laksamana Yudo dan Letjen Doni, bahwa menit, jam, dan hari-hari yang bergulir sejak pertemuan akhir Januari 2020 itu menjadi waktu yang berputar dengan torsi penuh. Sangat kencang, tetapi harus dijaga agar tetap presisi.
Betapa tidak. Keesokan harinya, 1 Februari 2020 satu pesawat komersial berikut tenaga medis diterbangkan ke Wuhan, menjemput WNI plus personel dari KBRI Beijing.
Natuna adalah tempat yang dipilih untuk mengarantina mereka. “Semula mau memakai Komplek Komposit Marinir, tapi urung, dan akhirnya diputuskan memakai hangar Pangkalan Udara (Lanut) Raden Sajad Saleh,” ujar alumnus AAL angkatan ke-33 tahun 1988 itu.
Pembatalan pemakaian Komplek Komposit Marinir yang menjadi markas prajurit serta gudang persenjataan itu, karena dua alasan. Pertama, lokasinya harus dilalui melintas Kota Ranai, Kecamatan Bunguran Timur, ibukota Kabupaten Natuna. Kedua, fasilitas yang ada di komplek itu dinilai kurang memadai.
“Mengapa menjadi kenangan tak terlupakan? Bayangkan, dalam waktu kurang dari dua hari, kami harus mengubah hangar menjadi lokasi karantina,” kisah Laksamana Yudo.
Laksana legenda penciptaan Candi Sewu oleh Bandung Bondowoso dalam waktu satu malam, kurang lebih seperti itulah Yudo Margono dan prajuritnya bekerja. Penyiapan tempat tidur lengkap dengan fasilitas pendingin ruangan, hingga sarana MCK lengkap dengan penyediaan sabun, sampo, sikat gigi, dan odol sampai gunting kuku. Tak ketinggalan pakaian dalam, baju kaos, dan celana tidur.
“Tak hanya itu, kami juga menyiapkan fasilitas hiburan seperti karaoke, sport center, dan lain-lain. Di samping, membuat run down kegiatan para penghuni karantina sehari-hari, selama 14 hari. Mulai dari olahraga pagi, kegiatan ibadah menurut keyakinan para penghuni karantina, penyediaan wifi dan sebagainya. Pendek kata, itu semua menjadi kenangan yang tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup. Saya berterima kasih kepada pak Doni yang telah melibatkan kami dalam tugas itu,” papar Yudo.
Doni tersenyum haru mendengar kisah nostalgia yang dipaparkan Laksamana Yudo. Tidak kalah takzim, Letjen Doni balas mengucapkan terima kasih dan apresiasi sebesar-besarnya atas kerja keras Yudo dan para prajurit Kogabwilhan 1. Inilah salah satu kerjasama dengan militer terbaik yang pernah ia rasakan.
Apalagi, persoalan yang mengemuka saat itu bukan saja persoalan teknis penyiapan sarana karantina. Ada persoalan lain yang tak kalah krusial, yakni aksi demo masyarakat Natuna yang menolak karantina WNI dari Wuhan. Mereka ketakutan, masuknya ratusan WNI dari kota pertama ditemukannya virus corona itu, akan menularkan wabah di pulau Natuna yang indah.
Hari bersejarah itu pun tiba. Pagi 2 Februari 2020, sebanyak 238 WNI ditambah 5 petugas pendamping dari KBRI Beijing tiba di Bandara Internasional Hang Nadim, Batam menggunakan pesawat komersial. Dari Batam, disiapkan tiga unit pesawat TNI-AU, hercules, dan dua boeing untuk membawanya ke Natuna.
Syahdan, 14 hari waktu karantina pun berlangsung relatif lancar dan memuaskan banyak pihak. Di satu sisi, masyarakat Natuna akhirnya menyadari bahwa mereka memang benar-benar dalam kondisi sehat seperti disampaikan Presiden Joko Widodo di awal.
Berkat dukungan masyarakat Natuna pula, akhirnya WNI dan staf KBRI yang menjalani karantina itu dinyatakan sehat, dan diperbolehkan kembali ke daerah masing-masing.
Mimpi buruk World Dream
Belum habis kopi puntang di cangkir putih berlogo BNPB ketika Laksamana Yudo melanjutkan nostalgianya bersama Doni Monardo. Kisah dramatis penyiapan karantina di Natuna, ternyata menjadi seri pertama. Sebab, masih ada seri kedua yang tak kalah seru, yakni evakuasi Anak Buah Kapal (ABK) Warga Negara Indonesia (WNI) di kapal pesiar mewah World Dream di Pulau Sebaru, Kepulauan Seribu, Jakarta.
Suatu hari, Doni menghubungi Yudo dan mengabarkan bahwa Dream Cruise Hong Kong, operator kapal pesiar World Dream minta izin menurunkan ABK asal Indonesia. Tugas Doni kepada Yudo adalah, “menahan” kapal barang sehari-dua, sambil menyiapkan Pulau Sebaru Kecil, sebagai tempat karantina 188 ABK World Dream asal Indonesia.
Yudo mengaku tidak mudah. Sebab, kapal itu mendesak bisa mendapat izin menurunkan ABK asal Indonesia, atau melanjutkan perjalanan ke Filipina. Yudo pun melakukan negosiasi, dengan dukungan Doni Monardo. Termasuk dukungan biaya selama menunggu, jika diperlukan.
“Persoalannya, kapal itu pintar. Mereka meminta izin dari posisi perairan internasional antara Malaysia dan Pulau Bintan. Kalau saja mereka ada di perairan Indonesia, saya punya kewenangan untuk menahan,” ujar Yudo.
Melalui negosiasi yang alot, Yudo berhasil membuat World Dream menunggu di perairan Malaysia. Selama itu, Yudo dan para prajurit Kogabwilhan menyiapkan Pulau Sebaru kecil untuk karantina ABK tadi.
Syahdan, Jumat sore tanggal 28 Februari 2020, para ABK berhasil dievakuasi menggunakan kapal perang TNI-AL (KRI Soeharso). Prosesnya cukup dramatis. Penanganannya pun lebih hati-hati dan “rahasia”, agar tidak muncul keresahan. Lebih-lebih kalau kemudian “digoreng” menjadi hoax yang bisa memancing demo massa, seperti yang terjadi di Natuna.
Hari itu, Doni Monardo meluncur ke Cirebon, hendak mengawal proses evakuasi. Dia tidak sendiri. Ada dalam rombongan itu Menko PMK Muhadjir Effendy, Menkes Terawan Agus Putranto, Menhub Budi Karya Sumadi, dan sejumlah pejabat lain.
Pukul 18.00 WIB, rombongan ini meninjau ke Pelabuhan Cirebon, tempat KRI Dr Soeharso berlabuh. Kapal ini sudah stand by dan siap mengangkut para ABK dari pelabuhan Cirebon ke Kepulauan Seribu.
Sambil menunggu datangnya para ABK, rombongan menuju salah satu hotel di kota Majalengka. Lima jam kemudian, hampir tengah malam mereka menuju Bandara Kertajati. Tidak lama, mendaratlah pesawat A330 Garuda Indonesia menurunkan para ABK.
Satu unit bus lengkap dengan dua unit forijder sudah bersiap di Kertajati. Malam itu juga, bus meluncur ke pelabuhan Cirebon. Jarak bandara Kertajati ke pelabuhan Cirebon sekitar 58 km, normalnya bisa dijangkau dalam waktu satu jam. Tapi Doni sebelumnya memberi instruksi kepada petugas lapangan, agar rombongan memacu kecepatan, agar lebih cepat tiba di pelabuhan. Sekali lagi, Doni mengantisipasi insiden semacam penghadangan atau apa pun selama proses evakuasi.
Benar saja. Kurang dari 50 menit, bus sudah tiba di pelabuhan Cirebon. Para penumpang langsung masuk KRI Dr Soeharso. Kapal pun melakukan prosedur cast off (melepas semua tali tambat), dan perlahan meninggalkan pelabunan Cirebon menuju Pulau Sebaru Kecil, tempat “muatan” akan menjalani karantina selama 14 hari.
Doni dan rombongan pejabat, melepas rombongan ABK tadi dari dalam ruang tunggu bandara Kertajati. Itu pun dari kejauhan. Jika dihitung meter, tidak kurang dari 300 meter jaraknya.
Menhub terpapar
Tak lama setelah peristiwa itu, Menhub Budi Karya Sumadi dinyatakan positif terinfeksi Covid-19. Beredar spekulasi, Menhub terpapar corona di Cirebon, saat menyaksikan langsung proses evakuasi ABK World Dream di Cirebon.
Saya ada di sana. Saya bisa pastikan, spekulasi itu keliru. Sebab, posisi para pejabat yang menyaksikan proses evakuasi dengan posisi kapal, seperti saya sebut di atas, cukup jauh. Bahkan sangat jauh untuk virus bisa menyerang. Tapi sudahlah. Bersyukur, Menhub sudah dinyatakan sembuh.
Lain kisah di Cirebon, lain lagi kisah persiapan sarana evakuasi di Pulau Sebaru, Kepulauan Seribu. Yudo juga mengisahkan anggotanya sempat tertahan angin kencang. “Mendekati Pulau Sebaru, angin kencang dan dan gelombang pasang. Saya minta TNI-AL mengerahkan armada amphibi untuk memboyong peralatan menuju dermaga Pulau Sebaru. Wah… penuh perjuangan…,” kata Yudo. Ada tawa di bibirnya, tetapi tatapan matanya seperti menerawang jauh ke waktu yang telah lewat.
Selesaikah persoalan ABK World Dream? Masih panjang kisah. Ada cerita soal kesulitan air bersih, genset mati, bahkan kejadian demo ABK yang membuat Yudo harus mengambil sikap tegas.
Bermula dari ekspektasi berlebihan para ABK. Demi mendengar bahwa mereka harus menjalani karantina di Pulau Sebaru, maka para ABK tadi pun mencari tahu ihwal Pulau Sebaru melalui laman Google. Tentu saja, image yang muncul adalah foto-foto sebuah pulau yang elok rupa.
Apa daya, ekspektasi mereka terlalu berlebihan. Karenanya, mereka kecewa saat mendapati tempat karantina yang terbilang sederhana. Apalagi, tiga hari karantina, langsung dihadapkan para problem kesulitan air bersih. Sebab, mata air di Sebaru, mendadak kering karena disedot tak kurang dari 100 ton air setiap hari.
“Kami mengerahkan kapal TNI AL yang mampu memasok 2.000 ton air ke Sebaru. Tapi, satu persoalan air selesai, persoalan lain muncul seperti genset yang mati, dan kami segera datangkan genset milik Lantamal,” tutur Yudo.
Suatu hari, para ABK yang terbiasa hidup di kapal pesiar, merasa tidak tahan hidup di karantina Pulau Sebaru. Mereka kecewa karena kenyataannya tidak seindah yang mereka bayangkan. Meski, cukup memadai dari sisi fisik bangunan dan fasilitas yang disiapkan pemerintah.
Sebagai bentuk pelampiasan rasa kecewa, mereka melakukan unjuk rasa, dengan melakukan aksi corat-coret di dinding dan jendela kaca bangunan karantina. Mendengar itu, Yudo hanya bisa mengelus dada. Tapi, toh dia harus turun tangan menenangkan dan memberi pengertian.
Jika hari-hari sebelumnya Yudo mengunjungi Pulau Sebaru menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) secara lengkap, hari itu ia datang tanpa APD, dan mengenakan pakaian loreng, pakaian dinas lapangan tentara. Lengkap (ketika itu) dengan pangkat tiga bintang di pundak kiri-kanan.
Dengan nada berat dan tatap mata tajam, kepada para ABK yang demo, Yudo meminta untuk menerima keadaan. Setidaknya selama 14 hari, sebelum mereka dinyatakan benar-benar sehat dan diperbolehkan pulang berkumpul bersama keluarga.
Berkat ketegasan dan pendekatan persuasif, sejak itu, tidak ada lagi masalah. Mereka semua menerima keadaan, dan menyadari posisi dan kondisinya.
Sebagai penutup tulisan, izinkan saya menyampaikan kenangan pribadi. Suatu hari ketika di Natuna, Februari 2020, Doni Monardo berkata, “Orang ini (yang dimaksud adalah Yudo Margono-pen) kerjanya sangat bagus. Suatu saat, beliau layak menjadi Kasal.”
Selamat, Laksamana! Jales veva jaya mahe! [ ]