POTPOURRIVeritas

Pengalaman Seorang Pasien Corona di Masa Tergelap Wuhan

Untuk membuat aman pakaian pelindung mereka, para staf medis tidak makan, tidak minum atau ke toilet selama shift mereka. Kacamata mereka berkabut dan pakaian pun basah oleh keringat, yang menurut Xiao Ya sangat menyentuh.

WUHAN–Seorang guru sekolah dasar dan orang tuanya yang telah lanjut usia jatuh sakit manakala sistem kesehatan mulai ambruk. Guru SD yang bernama Xiao Ya itu  kadang-kadang masih merasakan nafasnya sesak, meski saat ini telah berminggu-minggu keluar dari rumah sakit tempat dia menghabiskan waktu sebulan, dirawat secara intensif untuk untuk Covid-19, penyakit yang disebabkan virus corona.

Ia masih belum bisa beraktivitas seperti biasa. Bahkan memasak bubur sederhana pun sulit. Jadi guru berusia 40 tahun itu masih mengandalkan makanan dari delivery order, atau sesuatu yang instan yang bisa membuatnya bertahan hidup sampai ia menyelesaikan masa isolasi wajibnya.

Salah satu kamar penanganan Corona, saat virus mewabah di Wuhan

Tapi bagaimana pun, Xiao Ya menganggap dirinya beruntung. Dia mampu bertahan hidup—begitu pula orang tuanya yang manula, yang saat ini tinggal di tempat isolasi, di sebuah hotel yang disediakan pemerintah, setelah perawatan di rumah sakit itu. Dia berharap pada saatnya bisa kembali menyatu bersama mereka.

Keluarga itu telah berpisah sepanjang pekan-pekan manakala mereka sakit, masing-masing dirawat di fasilitas yang berbeda. “Saya tinggal di rumah sakit darurat Fangcang, yang diubah dari semula sebuah exhibition center . Dari waktu ke waktu sering sekali tiba-tiba terdengar ratapan keras. Lama-lama saya tahu, itu jeritan seseorang yang diberi tahu dokter bahwa keluarganya telah meninggal,” kata Xiao Ya.

“Kami para pasien saling berbicara, dan itu membuat saya sadar bahwa saya beruntung. Orang tua, juga saya, selamat. Itu yang paling penting.” Untuk tetap bisa berpikir positif dan bisa melalui perawatannya, juga agar bisa lebih nyaman, Xiao Ya memutuskan untuk banyak berbagi dengan sesama pasien dan staf medis rumah sakit, bila memungkinkan.

Mereka awalnya tak menyadari telah tertular. Ayahnya yang berusia 70 tahun telah batuk-batuk selama 10 hari, sementara ibunya yang berusia 68 tahun baru saja bisa makan selama satu minggu, ketika pada akhir Januari Xiao Ya kehilangan nafsu makan dan mengalami sedikit demam. Dia memeriksa suhu orang tuanya, keduanya ternyata juga sedikit demam.

Pemindaian CAT menunjukkan kedua orang tuanya mengalami infeksi paru-paru serius. Xiao Ya tidak melakukan pemindaian pada saat itu. Pikiran pertamanya adalah membuat orang tuanya segera dirawat di rumah sakit.

Orang tua Xiao Ya terlalu lemah untuk bergerak, jadi dia pertama-tama pergi ke beberapa rumah sakit untuk mendapatkan tempat yang memungkinkan mereka menjalani tes virus corona, membuat mereka sebagaimana disyaratkan Komite Lingkungan Masyarakat untuk mengantre ranjang di rumah sakit.

Setelah itu baru dia pergi mencari rumah sakit yang bisa menerima mereka. Kadang-kadang itu perlu antre sampai lewat tengah malam. Dia ingat, ia mengisi banyak sekali formulir aplikasi, apa saja untuk mendapatkan kesempatan mendapatkan perawatan.

Itu terjadi pada awal Februari, ketika 11 juta orang di Wuhan di-lock down ketat dan sistem perawatan kesehatan kota itu ambruk oleh membludaknya antrean jumlah pasien di klinik dan rumah sakit. Sering kali orang-orang mengantre semalaman tanpa berhasil mendapatkan ranjang. Sementara saat itu rumah sakit penampungan pun belum dibuat.

Wabah itu–yang dimulai pada awal Desember, saat ditelusuri berawal dari pasar seafood dan pasar grosir di Wuhan, ibukota Provinsi Hubei di Cina tengah. Ketika infeksi melonjak pada bulan-bulan berikutnya, dua rumah sakit dibangun dalam beberapa pekan, dan fasilitas ‘Fangcang’ didirikan di gedung pusat pameran.

“Begitu pahit. Rasanya sangat tidak adil bahwa semua keluarga saya terinfeksi. Kami menjalani rutinitas yang sangat sederhana, pulang pergi toko kelontong-rumah. Kami tidak makan hewan liar, apalagi kampret, cebong atau biawak. Kami bahkan tidak tahu di mana pasar seperti itu,” kata Xiao Ya.

Dia tahu peluang kesembuhan orang tuanya kecil. Selama pencariannya, salah satunya dengan sesama guru berusia 28, yang dirawat jalan setiap hari untuk memperoleh  cairan IV yang bisa sampai larut malam karena antrean.  “Banyak orang mencoba membantu kami dengan membagikan semua jenis informasi. Media pemerintah menyiapkan saluran khusus. Saya sangat lemah sehingga saya tidak bisa memegang telepon dengan stabil. Saya meminta kolega saya untuk membantu saya,” kata Xiao Ya mengenang.

Setelah tiga hari dalam antrean untuk memperoleh tempat tidur, orang tuanya dirawat di rumah sakit yang berbeda. Baru Xiao Ya akhirnya bisa memeriksakan paru-parunya sendiri. Saat itulah Rumah Sakit Fangcang sudah siap dan berjalan. Xiao Ya salah satu pasien pertama RS yang diubah dari gedung pameran itu.

“Tiga hari pertama adalah kekacauan total. Staf medis, semuanya dari provinsi Shandong, tidak yakin apa yang harus dilakukan. Pasien bergegas mengambil kotak makanan mereka dan mereka justru makin terkontaminasi dengan sisa makanan. Tidak ada staf kebersihan, sehingga dokter dan perawat harus mencuci semuanya sendiri.”

Ketika lebih banyak staf pendukung tiba dan rumah sakit mulai teratur, Xiao Ya—yang menderita depresi, mulai belajar untuk merasa santai, dengan bantuan konseling dari tim medis. “Mereka mencoba mengajari kami untuk menjadi positif dan menyalakan suasana hati. Mereka membimbing kami melalui latihan ringan dan menari. Mereka bahkan membikin origami bangau kertas dan menulis kata-kata penyemangat di dinding,” kata dia.

Orang tuanya, sendirian di bangsal terpisah, tidak pernah berhenti khawatir. Xiao Ya harus menelepon mereka setiap hari.

Kembali ke belakang, Xiao Ya mengatakan banyak yang telah membantu keluarganya, tetapi bantuan terbesar dalam menemukan tempat tidur rumah sakit berasal dari pemerintah. Dia sangat berterima kasih kepada staf medis yang telah melakukan perjalanan dari Provinsi Shandong, Cina timur, untuk membantu mereka.

“Para dokter dan perawat ada di sepanjang waktu. Setiap kali saya bangun, saya melihat mereka memeriksa pasien. Ketika saya pergi ke toilet di tengah malam, saya melihat mereka, masih duduk dan mengawasi pasien. Saya merasa sangat aman di sekitar mereka,”kata Xiao Ya.

Untuk membuat aman pakaian pelindung mereka, para staf mefis tidak makan, minum atau ke toilet selama shift mereka. Kacamata mereka berkabut dan pakaian basah oleh keringat, yang menurut Xiao Ya sangat menyentuh.

love in the time of Corona

“Suatu kali, saya berjalan dengan seorang perawat, dan dia mengatakan kepada saya untuk memperlambat jalan karena dia kehabisan napas. Dia tidak bisa berjalan dengan mantap di bawah setelannya yang berat,” kata Xiao Ya.

Setiap dokter dan perawat yang ditemuinya ditambahkan ke WeChat-nya—WA-nya warga Cina (Jernih.co), sementara ibunya mengambil foto semua staf medis yang membantunya, mempostingnya di grup WeChat keluarga.

“Ibuku bilang dia ingin mengingat mereka semua, meskipun dia tidak bisa mengenalinya dengan pakaian pelindung mereka. Setiap hari dia memposting pesan, seperti “Perawat ini yang namanya si Ini, benar-benar merawatku…”

Ketika Xiao Ya dan rekan-rekan pasiennya dipindahkan ke Rumah Sakit Huoshenshan, mereka membungkuk berulang kali kepada staf yang berjalan bersama mereka dari zona merah ke pintu masuk. Dia menangis sepanjang perjalanan.

Xia Ya akhirnya dipulangkan pada 10 Maret, disusul ayahnya tiga hari kemudian. Xiao Ya kembali ke rumah selama 14 hari isolasi, setelah menghabiskan 14 hari pertama di sebuah hotel, seperti orang tuanya. Ibunya keluar pada 21 Maret dan saat ini berada di hotel lain. Tak satu pun dari mereka harus membayar.

Dari balkon hotel tempatnya diisolasi, ayah Xiao Ya mengaku dapat melihat rumah meeka di kejauhan. Pekan depan dia akan berada di sana, bersatu kembali dengan istri dan putrinya.

“Ayah saya mengatakan, yang ingin dia lakukan hanyalah membuat sepanci sup akar teratai, yang merupakan hidangan khusus Wuhan, untuk dinikmati bersama keluarga. Dia mengatakan itu setiap hari,” kata Xiao Ya. [Zhuang Pinghui/ South China Morning Post]

Check Also
Close
Back to top button