POTPOURRI

Ukur

Di Sindangkasih memang terdapat pemandian jernih segar yang konon sering didatangi Prabu Siliwangi dan Sunan Talaga Manggung di masa lalu. Mereka berdua disebut-sebut sering tirakat, mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa berdasarkan tata cara yang mereka percaya pada zamannya.

Oleh  : Darmawan Sepriyossa

Pengantar:

Setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit, ratusan tahun kemudian kerajaan-kerajaan taklukan di seluruh Nusantara bangkit memupuk kekuatan. Yang paling mencorong adalah Kerajaan Mataram, pengklaim pewaris kekuasaan Majapahit. Sementara kekuatan asing yakni Portugis, Belanda dan Inggris, mulai pula datang menancapkan kuku kekuasaan mereka. Masing-masing dengan kerakusan dan kekejamannya sendiri. Pada saat itu, di Tanah Sunda muncul kekuatan yang mencoba menolak penjajahan, dipimpin seorang bernama Dipati Ukur.—

Episode-10

Penyergapan yang dilakukan Senapati Ronggonoto dan wadya balanya sangat berdampak terhadap perjalanan rombongan Ukur dan Rangga Gempol. Malam itu, saat hari beranjak petang, mereka masih berada di lebatnya hutan. Saat rombongan menemukan aliran sungai kecil yang jernih, Ukur mengajak semua berhenti, menambatkan kuda dan meratakan dataran untuk bermalam.

Sebagian menggunakan sarung untuk tidur, menggantung di antara dua dahan. Sebagian lagi yang tak terbiasa tidur dengan cara itu terpaksa di bawah, mengelilingi unggun api yang segera disulut untuk melawan gelap dan dinginnya malam.

“Kalau besok pagi mau sarapan agak beda, siapkan saja pembagian regu untuk berjaga. Sampai berjaga, sesekali jenguklah tepian sungai. Tak mungkin tak ada binatang yang datang untuk minum. Barangkali saja jadi rejeki kita,” kata Ukur. Para pengawal segera mematuhi saran itu.

Paginya, usai shalat subuh berjamaah dengan Ukur sebagai imam, seorang penjaga mengabarkan semalam mereka berhasil menombak empat ekor kancil. Hasil yang tentu sangat bagus, mengingat mereka tak serius datang ke sini untuk berburu.

“Wah, mencek[1]nya gemuk-gemuk. Bakarlah, kalau tak salah ada yang membawa kecap Cirebon kan?” tanya Ukur. Salah seorang di antara pengawal mengiyakan.

Jadilah pagi itu mereka sarapan daging mencek bakar. Bau bakar daging segar segera meruap ke seantero hutan, mungkin saja merangsang kawanan si belang datang.

Setelah berkuda sekitar sepeminuman empat batang klembak, keluarlah mereka dari alas angker tersebut. Di depan kini terbentang simpang jalan. Satu jalan menuju pesisir Tegal, yang nantinya tembus ke Cirebon, menyusuri yang terus ke arah Sumedang Larang. Satunya lagi ke selatan melalui jalan pedalaman. Jalan itu bila disusuri akan membawa orang ke wilayah Galuh, wilayah bekas kerajaan tua Galuh yang kini telah tiada.

Di simpang jalan itu rombongan berpisah. Rangga Gempol memilih jalan ke Cirebon karena hendak bertemu ayahnya, Panembahan Ratu. Tak elok seorang putra tak mengunjungi ayahandanya saat perjalanannya lewat ke tempat tinggal sang ayah, tentu. Selain itu jalan pesisir pun lebih ramai dan jarang rampok.

Sementara Ukur memilih jalan ke Galuh. Selain memang wilayah Ukur ada di sekitar itu, ia pun sudah sangat ingin sekadar berziarah ke Kabuyutan Gede Kawali yang tak jauh dari sana. Sudah lama Ukur tak berziarah ke tempat-tempat para karuhunnya berkiprah di masa lalu.

Apalagi jalan ke sana harus melewati wilayah Rajagaluh dan Sindangkasih, wilayah penghasil durian terbaik di tatar Parahyangan. Air liurnya seakan tumpah memikirkan daging durian Sindangkasih yang manis dan lengket itu berada di lidahnya.

“Aing juga sudah lama tak berziarah ke Pancuran Cikahuripan di Sindangkasih. Mungkin sehari dua hari aing bisa menginap di sana, bertapa ala kadarnya mengkhidmati perjuangan karuhun, terutama perjuangan Prabu Siliwangi,” kata Ukur, membatin.

Di Sindangkasih memang terdapat pemandian jernih segar yang konon sering didatangi Prabu Siliwangi dan Sunan Talaga Manggung di masa lalu. Mereka berdua disebut-sebut sering tirakat, mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa berdasarkan tata cara yang mereka percaya pada zamannya.

“Ya, aing juga barangkali bisa mendekatkan diri kepada Allah di sana. Tempatnya sempurna untuk merenung, caranya mungkin berbeda karena aing bisa melakukannya dengan shalat sesuai ajaran Kanjeng Nabi.”

“Kita berpisah di sini, Kakang,” kata Rangga Gempol, menyadarkan Ukur. Sedikit terperanjat karena terbangun dari lamunan, Ukur segera menerima tangan terulur Rangga Gempol. Keduanya bersalaman dengan hangat. Rangga Gempol bahkan menawarkan sebagian pengawalnya untuk mengantar Ukur sampai ke Tatar Ukur, namun ditolak Ukur dengan halus.

“Insya Allah Kakang bisa menangani sendiri kalau di jalan ada maung ngamuk gajah meta, sih,” kata Ukur.

“Maafkan Kakang, bukan maksud Rayi merendahkan. Rayi maksudkan para pengawal ini untuk menemani Kakang ngobrol sepanjang perjalanan.”

Ukur tersenyum. Dengan sikap hormat ia menolak tawaran itu. “Rayi tahu, Kakang jenis orang pemalu yang lebih senang berjalan sendiri,” katanya. Akhirnya Rangga Gempol pun tak lagi memaksa.

Sementara Ukur dan Rangga Gempol masih terlibat basa-basi sebelum berpisah, dua utusan dari Mataram telah memasuki Tatar Ukur. Mereka adalah utusan yang dikirim oleh jaringan Senapati Ronggonoto, entah siapa di atasnya di keraton. Ketiganya punya kemenangan waktu sekitar dua hari sebelum Ukur dan rombongannya berangkat pulang.

Begitu di internal keraton tersiar berita bahwa ada penggantian Bupati Tatar Ukur, dari Bupati Sutapura kepada Ukur, meski Sri Sultan belum melantik dan memberikan keris sebagai bukti penugasan, tiga utusan itu telah dikirim. Entah apa pesan yang dikirimkan, tetapi jelas kedatangan mereka ke Tatar Ukur jauh dari mendukung kepentingan Ukur.

Sampai di gapura keraton, ketiga utusan itu lantang menyerukan siapa mereka. Namun para penjaga tak begitu saja meloloskan mereka. Bukan tak hormat kepada Keraton Mataram yang mereka atas namakan. Tetapi siapa tahu itu sekadar atas nama untuk bertemu Bupati dengan kepentingan yang boleh jadi merugikan Bupati?

Penjaga menahan ketiganya di pos penjagaan, sementara seorang penjaga berlari menuju keraton untuk melaporkan kedatangan ketiga ‘utusan Mataram’ itu. Sempat ketiganya menolak diperlakukan birokratis seperti itu. Namun mau tak mau mereka menerima fakta bahwa mereka hanya bertiga, tak akan menang melawan sepasukan penjaga dengan tombak terhunus yang kini berjaga. Akhirnya, meski terus bersungut dengan bahasa Jawa, ketiganya mau juga duduk di pos, menanti jawaban istana.

Tak lama kemudian penjaga yang tadi berlari menuju keraton Tatar Ukur datang. Kali ini jauh lebih tergesa dibanding saat ia berangkat. Ia segera menemui pimpinan para penjaga, lalu mereka berbisik-bisik sejenak sambil sesekali melirik ketiga orang Mataram yang terlihat tak sabar menunggu.

“Heh, lama sekali kalian omong-omong. Kalian lupa kami ini tamu yang harus dihormati? Bahkan kopi tak kalian suguhkan,” kata salah seorang dari ketiga orang Mataram itu. Tampak sekali ia mulai gusar.

Uluh,” kata salah seorang penjaga. “Horeng jauh-jauh ti Mataram rek ngadon menta opieun, euy.” “Ternyata jauh-jauh datang dari Mataram, tak lebih hanya mau minta ngopi.”

Namun hasrat ngopi ketiga orang Mataram itu tampaknya harus mereka tahan. Selain para penjaga itu tampaknya cadu[2] menyajikan kopi di zaman belum adanya kopi instan sachetan itu, mereka juga diminta segera membawa orang-orang Mataram itu ngadeuheus, menghadap Bupati Sutapura, penguasa Tatar Ukur.

Sebenarnya para penjaga itu juga kuatir, jika menyajikan kopi Parahyangan yang terkenal harum dan mantap rasanya itu, orang-orang Mataram yang dikenal dokoh alias segala rupa disenangi itu bisa tergila-gila. Kian besar hasrat mereka untuk menguasai Tatar Ukur.

“Anda bertiga diminta segera menghadap Kanjeng Bupati, mari,”kata kepala penjaga.

Didahului mendengus karena urung minum kopi gratis, ketiga orang Mataram itu segera beranjak mengikuti langkah kepala penjaga. Empat orang penjaga segera mengikuti mereka, sesuai aturan protokoler Tatar Ukur saat itu.

Setiba di balairung keraton, tampak Bupati Sutapura sudah menunggu. Kesan tak sabar terlihat di wajahnya yang kusut. Belum lagi ketiga orang itu dipersilakannya duduk, Bupati langsung bertanya,”Hei, utusan, jadi benar kabar burung yang aku dapat bahwa Sinuhun Mataram sudah melantik Si Ukur menggantikan diriku? Ladalah, cilaka tilu welas ini.” Yang dikatakan kabar burung oleh Bupati Sutapura benar-benar dalam pengertian harfiah, karena kabar itu memang dibawa merpati terlatih yang dilepas jaringan Senapati Ronggonoto, segera setelah pelantikan Ukur.

“Sendika, Kanjeng Bupati,” kata ketiga orang Mataram itu. Mereka berharap segera ada perintah dari Bupati untuk duduk. Bagaimana pun perjalanan panjang berkuda yang mereka lakukan sangat melelahkan. Duduk, bahkan jika mungkin berbaring leyeh-leyeh dengan kopi atau tuak hangat tersaji di dekat mereka, apalagi bila ada bakakak alias panggang ayam, wajit, dodol, jalabria yang manis legit, dan buah-buahan lengkap, tentu akan lebih memuaskan. Sajian yang tepat untuk pembawa kabar penting seperti mereka. Ini, bahkan dipersilakan duduk pun tidak.

“Kurang ajar, eh maksudku bukan Kanjeng Sultan Agung. Kurang ajar Si Ukur anak kemarin sore dipercaya jadi bupati, menggantikan aku lagi!” kata Bupati Sutapura.

Bupati bangkit dari duduknya, wajahnya gundah. Ia terlihat gusar, namun juga ketara sekali kebingungan. Berkali-kali ia bolak-balik di sekitar kursi pangcalikannya.

“Eee…Kanjeng Bupati, jadi bagaimana kami?” tanya pimpinan ketiga orang Mataram itu. Ia tak sabar untuk menerima upah mengantarkan pesan Senapati Ronggonoto.

“Ooh kalian, iya aku lupa. Kapan Si Ukur kira-kira tiba ke mari?”tanya Bupati.

“Sepertinya tak akan pernah tiba, Kanjeng Bupati. Kami sudah menyiapkan seratus tamtama terkemuka di bawah pimpinan langsung Kanjeng Senapati untuk menamatkan umur Si Wangsa Taruna di Hutan Larangan. Tak mungkin Ukur bisa lewat. Mohon maaf, Kanjeng Bupati, mungkin Raden Rangga Gempol pun harus kami sedikit bikin cidera agar sandiwara ini tak terbongkar.”

“Ha ha ha ha ha, bagus! Bagus! Sampaikan pesanku kepada Kanjeng Senapati Ronggonoto, bulan depan akan ada kiriman mojang Tatar Ukur buat Kanjeng. Juga sedikit hasil bumi kami dan emas perhiasan. Tamat sudah orang yang akan coba-coba menggantikan aku di sini. Dia kira gampang jadi bupati. Ha ha ha..” Bupati Sutapura tergelak-gelak penuh suka. Hilang sudah gundah yang tadi begitu jelas terbaca di wajahnya.

“Eee…Kanjeng Bupati, bagaimana kami-kami…ya, begitulah, Kanjeng Bupati..” Si pimpinan orang-orang Mataram itu kembali mengingatkan.

“Ooh, ya sudah. Tugas kalian berhasil gilang gemilang. Sampaikan salam bakti kami buat Kanjeng Senapati. Jangan lama-lama di sini, karena pasti Kanjeng Senapati rindu kepada kalian semua. Ayo, ayo! Pergilah, masih banyak pasti tugas menanti kalian dari Kanjeng Senapati.”

Bupati Sutapura tak sedikit pun mencerminkan sikap seorang nonoman Sunda yang tata titi penuh duduga peryoga. Tak ada sikap ‘kewes pantes tandang gandang, handap asor pamakena, nyaritana titih rintih, ati-ati tur nastiti. Mun nyaur diukur-ukur, nyabda diunggang-unggang, bubuden teu ieu aing. Tak ada sedikit pun upaya untuk tepa selira, merasakan bahwa pahit bagi orang tentu pula pahit bagi dirinya.

Namun tiba-tiba ia seolah terhenyak. “Hei, kalian orang Mataram, lupa aku,” kata Bupati. “Ini upah kalian bertiga. Bagi adil ya, jangan ada yang rakus. Kalau mau ngopi, ngopilah di jalan. Tapi jangan banyak berhenti, kalian ditunggu Kanjeng Senapati.”

Dirogohnya sesuatu di balik sabuk kulitnya yang lebar. Sebuah kantong uang kecil yang di tatar Sunda disebut kanjut kundang. Rupanya sudah ia persiapkan itu sejak tadi. Alih-alih dihampirinya ketiga orang Mataram yang berdiri dari tadi itu, kanjut kundang itu hanya dilemparkannya ke tengah-tengah ketiganya. [bersambung]


[1] Bahasa Sunda untuk kancil

[2] Rasa enggan yang sangat kuat, bahkan dekat-dekat kepada sumpah untuk tidak melakukannya.

Back to top button