POTPOURRI

UKUR

Baru saja ujung pedang itu lepas dari sarungnya, lebih cepat dari kedipan matanya, segaris sinar putih mengelus pangkal leher Ronggonoto. Ia masih melihat sosok Ukur berdiri di hadapannya, hanya berjarak satu hasta, gampang untuk ditebas dengan golok panjang yang telah ia tarik dari sarungnya

Oleh : Darmawan Sepriyossa

Pengantar:

Setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit, ratusan tahun kemudian kerajaan-kerajaan taklukan di seluruh Nusantara bangkit memupuk kekuatan. Yang paling mencorong adalah Kerajaan Mataram, pengklaim pewaris kekuasaan Majapahit. Sementara kekuatan asing yakni Portugis, Belanda dan Inggris, mulai pula datang menancapkan kuku kekuasaan mereka. Masing-masing dengan kerakusan dan kekejamannya sendiri. Pada saat itu, di Tanah Sunda muncul kekuatan yang mencoba menolak penjajahan, dipimpin seorang bernama Dipati Ukur.—

Episode -28

Ronggonoto meletakkan kedua telapak tangannya yang terbuka di dada, salah satu kakinya beringsut melebar, membuat kuda-kudanya tampak begitu kokoh. Lalu, setelah berkonsentrasi, ia merapal mantera. Ya, Ronggonoto langsung saja ke pertempuran penghabisan, tanpa merasa harus memainkan jurus-jurus awal.

“Hong,

Ingsun amatek ajiku si gelap ngampar,

Gebyar-gebyar ana ing dadaku,

Ula lanang guluku, Macan galak ana raiku,

Surya kembar ana netraku, Durga deglak ana pupuku..” 

Sekitar beberapa saat mulutnya melanjutkan rapalan manteranya. Lalu, dengan menjejak tanah tempatnya berdiri, Ronggonoto melompat menerkam Ukur. Kepalannya bulat ia simpan di sisi dada, siap dilontarkan kapan pun untuk menghantam Ukur.

Gelap Ngampar,” pikir Ukur cepat. Inilah salah satu ilmu kanuragan yang banyak dianut oleh para senapati Mataram. Ukur tahu karena sekian lama ia hidup bersama mereka, belajar banyak ilmu selain apa yang sudah ia timba di Tanah Sunda. Gelap Ngampar artinya kurang lebih ‘petir menyambar’. Siapa pun yang tak memiliki ilmu sejenis dalam ‘maqam’ keilmuan yang sama, dipastikan akan hangus manakala terkena pukulan seorang penganut ajian Gelap Ngampar.

Tapi bukan Ukur kalau harus segera keder menghadapi hal-hal seperti itu. Ia tahu, ajian Gelap Ngampar bisa dilawan dengan aji Lembu Sakilan yakni dengan cara mengelak terus menerus. Lembu Sakilan adalah ajian pengelak sebangsa Welut Putih, namun dianggap memiliki keampuhan yang lebih dahsyat. Apalagi seorang pemegang Welut Putih masih memerlukan bantuan adanya air sesedikit apa pun untuk bisa mengelak lebih baik.

Persoalannya, Lembu Sakilan meniscayakan pemegangnya berpantang makan daging sapi atau kerbau. Sesuatu yang membuat Ukur tak tertarik mempelajari, apalagi mengamalkannya. Bukan karena ia tak sanggup berpantang daging sapi atau kerbau. Ia bisa tak makan apa saja sebagaimana dia pun mampu memakan apa saja untuk bertahan hidup. Namun ia meyakini, manusia sebagai makhluk tak sepantasnya membuat aturan mengharamkan ini-itu ciptaan Gusti Allah, sementara oleh pencipnyanya pun hal itu sudah dihalalkan untuk dimakan. Apalagi di waktu yang lebih kemudian Ukur menemukan nash-nash tegas dalam Quran dan hadits tentang makanan yang dihalalkan, diharamkan, serta sesuatu yang berada di antara keduanya atau samar alias syubhat.

Namun ada sesuatu yang telah lama menjadi ‘pegangan’ Ukur, yang sebanding dengan Gelap Ngampar. Dialah Aji Braja Musti, yang tak hanya ia pelajari, melainkan telah berkali-kali teruji di berbagai palagan yang telah ia lalui. Karena itu, alih-alih berpikir untuk mengelakkan serangan Ronggonoto, Ukur hanya menarik kaki kanannya manakala Ronggonoto melompat memburunya. Langkah yang justru ia lakukan untuk melakukan persiapan serangan. Lalu manakala kepalan Ronggonoto jelas telah ia luncurkan dengan maksud menghantam dadanya, Ukur pun melakukan serangan pukulan mengarah ke kepalan tangan Ronggonoto. Kepalannya terlontar kuat mengarah bulatan ketupat Bengkulu milik Ronggonoto, membuat Sang Senapati kaget. Baru kali ini ada orang senekat itu melawan pukulan Gelap Ngampar-nya.

Ronggonoto tak punya waktu untuk menarik kembali tangannya. Dan memang kalau pun sempat, ia sama sekali tak akan melakukan hal itu. Senapati Mataram itu terlalu yakin dengan keampuhan pukulannya, keyakinan yang didapatnya dari berpuluh kali pertarungan di berbagai wilayah.

“He he, sinting Kau Ukur. Kau ingin tanganmu hancur oleh pukulanku, heh?” Ronggonoto membatin. Ia sudah membayangkan lawannya akan berguling-guling, menggelepar kesakitan dengan tangan kanan hancur luluh tak beraturan.   

“Duaaaarr!”

Sulit dipercaya, benturan dua tangan kedua senapati sakti itu tak dinyana akan menimbulkan suara yang dahsyat. Di pinggiran arena, beberapa prajurit, terutama prajurit Mataram yang lebih dekat kepada kedua orang yang tengah menyabung nyawa terlempar ke belakang. Sebentar mereka ujat-ajet, lalu diam untuk selamanya. Mati. Dari telinga mereka darah keluar, bukan lagi merembes, tapi keluar bergumpal-gumpal, merah kehitaman. Beberapa perwira berilmu tinggi memejamkan mata kuat-kuat, menahan denging tak berkeputusan seiring benturan tersebut.

“Tobaaaaat!”

Tiba-tiba Senapati Ronggonoto berteriak. Tangan kirinya erat memegangi pergelangan tangan kanan tempat Sang Gelap Ngampar tadi ia salurkan. Tangan itu masih utuh. Jumlah jari jemarinya masih lengkap, lima. Jelas terlihat karena telapak tangan kanan yang pergelangannya dipegangi karena sakit itu mengembang membentuk formasi jemari yang lazim dilakukan saat seseorang menempeleng. Tetapi, kini kelima jari tangan kanan Ronggonoto itu hitam mengepulkan asap berbau sangit. Bau daging terbakar! Bau sate!

Kepalan tangan kanan Ronggonoto terbakar Gelap Ngampar-nya sendiri! Jelaslah, Aji Brajamusti yang dipegang Ukur berada pada tahap kesempurnaan. Jelas pula, tidak bisa orang mengatakan satu jurus lebih hebat dibanding jurus lain; karena sesungguhnya yang menentukan keampuhannya bukanlah hanya jurus itu sendiri, melainkan bagaimana seseorang menekuni, menggali dan terus mencari keampuhan jurus itu untuk kemudian mengembangkannya.

Hal yang sama juga terjadi pada aji-aji kanuragan. Dua orang mungkin saja menekuni ajian yang sama, dengan masa pelatihan yang sama. Tetapi tentu saja orang yang lebih sering melatihnya, lebih aktif melakukan riyadah guna mencari kelemahan dan mengembangkan keutamaan ajian itu, tetap akan lebih maju satu dua langkah, bahkan mungkin lebih, dibanding pemilik ajian satunya yang kurang berlatih.

Apalagi bila dua orang berbeda dengan ajian berbeda, plus penggalian, latihan dan pengembangan ilmu yang juga berbeda. Pada saat itu, tak bisa kita mengatakan bahwa ilmu golok lebih hebat, atau sebaliknya, dibanding ilmu pedang, misalnya.

“Tobaaaaaaat!”

Kembali Ronggonoto berteriak, keras membelah rembang petang, mengalahkan bunyi bang maghrib yang lamat-lamat berkumandang dari arah Amparan. Benar kata orang. Mereka yang menguasai Gelap Ngampar, bahkan kalau pun belum mencapai taraf kesempurnaan, suara teriakan mereka laiknya Guntur, alias ‘gelap’ baik dalam bahasa Sunda atau pun Jawa.  Menggelegar.

Orang-orang menutup kedua telinga mereka, beberapa yang sedikit memiliki ilmu kanuragan di atas rata-rata membentengi telinga mereka dengan tenaga dalam. Yang bolostrong kosong tak memiliki apa pun selain berbekal nekat dan tombak, tak jarang terjungkal dan terampun-ampun memegangi telinga yang mengucurkan darah segar.

“Kurang ajaaar Ukuuuur!” Teriakan Ronggonoto kini lebih laiknya teriakan putus asa seorang pecundang. Tampak jelas senapati Mataram itu merasakan sakit tak terhingga di tangan kanannya.

Tapi putus asa hanya bersebelahan kamar dengan nekat. Dengan tangan kiri yang tak lagi memegangi tangan kanannya, Ronggonoto mencabut golok panjangnya, senjata yang selama ini telah mengirimkan sekian banyak musuhnya sesama orang Wetan, orang Surabaya, orang Madura dan Bali, ke neraka. Sayang, baru saja ujung pedang itu lepas dari sarungnya, lebih cepat dari kedipan matanya, segaris sinar putih mengelus pangkal leher Ronggonoto. Ia masih melihat sosok Ukur berdiri di hadapannya, hanya berjarak satu hasta, gampang untuk ditebas dengan golok panjang yang telah ia tarik dari sarung.

Namun segera Ronggonoto merasakan perih di lehernya. Saat tangan kanannya yang hangus ia pakai untuk mengelus leher itu, meski telah hangus pun tangan itu merasakan rembesan darah mulai membasah. Kurang dari dua detik kemudian tubuh senapati pilihan Keraton Mataram itu jatuh berdebum tumbang ke tanah. Darah mengalir deras dari leher yang hampir terputus. Ronggonoto telah perlaya, di Amparan, tempat yang ratusan tahun kemudian disebut orang sebagai Cimahi.

Ukur belum lagi menyarungkan duhungnya yang berlumur darah. Ia tahu, banyak senapati Wetan yang tak merasa rugi bersekutu dengan setan dan memelihara Aji Rawarontek. Kadang pula Aji Pancasona, yang perbedaan keduanya hanya sebatas laiknya padi Rojolele dan padi Bulu.  Sama sama hitam, sama-sama membuat pemegangnya bisa hidup kembali asalkan jasad lengkap itu menyentuh bumi.

Teriakan membahana terdengar riuh, campuran antara sorak-sorai dari para prajurit Sunda dengan lengking kesedihan para tentara Mataram. Tapi tak lama, para tentara Mataram segera berlarian menyelamatkan diri. Saat para prajurit Sunda mau mengejar, Ukur memberikan isyarat melarang.

Ukur segera teringat pengalamannya bertarung dengan Bupati Sukapura. Bupati itu pun seorang pemegang Aji Rawarontek, atau mungkin pula Pancasona. Karena itu, dengan menyisihkan kemungkinan dirinya dianggap manusia keji, segera dipegangnya rambut Senapati Ronggonoto. Diangkatnya kepala Senapati yang sudah tak bernyawa itu.

Sret!

Dengan segera diperintahkannya dua orang prajuritnya membawa kepala itu ke suatu tempat di seputaran Gunung Burangrang. Ia meminta mereka menancapkan kepala itu dengan paku di puncak sebuah pohon besar.

“Yang kuat, pastikan agar angin, hujan dan apa pun tak membuat kepala ini jatuh sebelum ia busuk dan rusak. Pada saatnya, mungkin saja pohon itu akan menelan kepala ini ke dalam batangnya,” kata Ukur.

Sementara ia meminta para prajuritnya memakamkan jasad tanpa kepala Senapati Ranggonoto. Ia perintahkan agar jasad itu dipulasara dengan baik. Ia tahu, sebagaimana kebanyakan orang Mataram, senapati itu seorang Muslim, bagaimana pun rusaknya akhlak yang ia pertontonkan ke khalayak.

“Perlakukan sebagai seorang Muslim yang gugur di medan perang. Hanya saja shalati dan pulasara semestinya.”  Maksud Ukur, sebaiknya perlakuan itu biasa saja, tak harus memandang jenazah tersebut syahid hingga tak harus dikafani dengan baik.

Pada selokan berair jernih yang ada di pinggir jalan tersebut, Ukur mencuci duhungnya. Mengelapnya dengan cermat dengan ujung selendang yang membelit pinggangnya, sebelum duhung Culanagara itu kembali masuk sarung di pinggangnya.

Perintah Ukur pun segera dilaksanakan. Mayat Ronggonoto dibawa para prajurit ke Amparan. Segera warga yang baru saja selesai shalat maghrib geger, ada mayat tanpa kepala yang harus mereka pulasara. Tua kampung[1] segera meminta serombongan orang menggali kuburan. Bukan di pemakaman umum. Tua kampung tahu, orang yang mati adalah seorang bangsawan Wetan, melihat pakaian dan segala yang ia kenakan. Menurut dia lebih baik mayat itu dikuburkan di tengah kampung agar kalau ada sanak kadangnya dari Wetan datang, warga kampung Amparan tak disalahkan karena mengebumikan seorang bangsawan secara semberono, bersama orang-orang cacah kuricakan[2]. Setelah dimandikan, dikafani dan dishalatkan, mayat Senopati Ronggonoto pun kemudian ditanam di pusat Kampung Amparan.

(Hingga kini makam Ki Ronggonoto itu masih ada di Amparan, nama lama untuk Cimahi saat ini. Makam yang terletak di Jalan gandawijaya itu sering diziarahi orang, terutama orang-orang suku Jawa dan keturunannya. Namun tak jarang pula orang-orang Sunda datang berziarah. Mereka hanya tahu, di sana dimakamkan seorang sakti dari masa lalu. Barangkali, sikap itu bahkan tak bisa disalahkan. Berziarah, mendoakan siapa pun arwahnya, adalah hal yang baik. Yang mungkin kadang dipersoalkan adalah manakala orang datang ke makam tua justru untuk meminta. Kemana saja dia, apa belum pernah dengar dan hayati lagu ‘Keramat’ dari Bang Haji Oma Irama?–penulis). [bersambung]


[1] RW kalau saat ini

[2] Orang kebanyakan, bukan bangsawan

Back to top button