5 PUISI AGUS BUCHORI

MALAM DI KAMPUNG
Tiada kafe dan kerlip lampu
Menjadi hiburan pengisi waktu
Hanya gubuk sederhana bukan saung di sudut taman
Tak ada janji untuk bertemu
Menghayati hari ini adalah titik kumpul
Orang kota menghitung harihari jam dan waktu
Kami menghayati hari ini
Menertawakan yang terlewat dan teraih
Hidup yang lambat sepanjang hayat
Sementara orang kota berlari cepat
Dengan nasi dan ikan asin musim disiasati
Angin malam dan rintik hujan
Adalah nada hari
Untuk hidup terus bernyanyi
CATATAN REDAKSIONAL
Hidup Lambat, Puisi Cepat
oleh IRZI Risfandi
Puisi Malam di Kampung karya Agus Buchori ini seperti warung kopi tua di tikungan jalan desa: lampunya redup, tapi percakapan di dalamnya menyala. Dalam bait-bait sederhana yang seolah tak punya ambisi puitik tinggi, puisi ini justru berhasil memotret dunia dengan kesadaran etnografis yang tajam—dan centil. Ia menulis desa bukan sebagai eksotisme untuk dikagumi dari kejauhan, melainkan sebagai ruang hidup yang betul-betul ia hirup dan kenal. Tak ada kafe, tak ada lampu kelap-kelip, tak ada janji temu dengan layar ponsel sebagai perantara. Di kampung, waktu bukan untuk dikejar—tapi untuk dihayati, ditertawakan, dan ya, dibiarkan lewat sambil ngudud di gubuk sederhana yang bahkan bukan “saung di sudut taman.”
Agus Buchori, penyair kelahiran desa nelayan Paciran, Lamongan, adalah salah satu suara yang pantas kita dengar dalam percakapan sastra hari ini. Sebagai Arsiparis di Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Daerah, ia barangkali terbiasa menyentuh dokumen dan sejarah, tapi dalam puisi-puisinya, yang ia arsipkan justru denyut hidup yang pelan, peristiwa kecil yang tak masuk berita, dan suara-suara kampung yang sering ditimpa kebisingan kota. Maka puisi ini bukan sekadar pengandaian “desa vs kota” yang sudah banyak dikunyah wacana romantik; ini semacam sindiran kalem namun nakal kepada gaya hidup serba cepat ala urban, yang katanya “efisien,” tapi sering tak sempat hidup.
Dan mari kita akui, ada kenakalan manis dalam bait-bait ini. Lihat bagaimana si penyair bilang, “kami menertawakan yang terlewat dan teraih”—kalimat itu seolah menampar halus mereka yang hidup dari notifikasi ke notifikasi. Bukankah ini cara kampung membalas kota, bukan dengan amarah atau iri, tapi dengan tawa dan nasi ikan asin? Bahkan musim pun cuma “disiasati,” bukan dilawan. Puisi ini bicara tentang ketahanan—bukan yang revolusioner, tapi yang membumi. Tentang bagaimana ritme bisa menjadi perlawanan, dan bahwa “lambat” tak berarti kalah. Dan ya, di tengah arus puisi yang sering ingin tampil seperti TED Talk atau presentasi di Twitter, Malam di Kampung terasa seperti slow-motion yang justru bikin kita melek.
Puisi ini juga menarik jika dibaca dengan pendekatan etnografis—karena yang dihadirkan bukan hanya narasi, tapi juga nilai-nilai yang hidup. Ada ekonomi subsisten yang sederhana tapi cukup, ada relasi sosial yang tak bergantung pada janji-janji digital, ada kosmologi waktu yang tak tunduk pada jam tangan atau kalender Google. Bahkan “angin malam dan rintik hujan” dijadikan soundtrack hidup. Puisi ini bukan nostalgia, tapi pengakuan akan cara hidup alternatif yang tak kalah sahih. Ia menolak gagasan bahwa “kemajuan” selalu berarti percepatan, bahwa “pertemuan” harus difasilitasi algoritma.
Agus Buchori, dalam puisi yang tenangnya mencibir ini, mengingatkan kita bahwa ada tempat di mana hidup tidak harus selalu menjadi proyek. Kadang cukup jadi hari yang dihayati dan dinyanyikan, meski dengan nada seadanya. Dan siapa bilang kampung itu diam? Di puisi ini, justru kota yang terlihat gaduh tapi kehilangan suara. Maka Malam di Kampung adalah puisi yang pelan tapi jelas, sederhana tapi kritis, tradisional tapi sadar zaman. Kalau hidup memang sebuah lagu, puisi ini membisikkan: tidak semua orang harus bernyanyi dalam tempo cepat. Beberapa dari kita, cukup bergumam di bawah atap seng, ditemani nasi hangat dan suara hujan.
2025
ANGIN BARAT
Sebagaimana musim musim telah menyapa
Kala ombak berbaur angin dari barat
Dan nelayan mengisi pagi dan sore
Dengan keluhan dan sebagian menabung harapan
Mereka yang mengeluh digerus nasib
Pendapatan terbuang tanpa menghitung peluang
Dan yang menabung harapan
Memahami lautan ada musim tanam
Laut adalah sawah tak harus selalu dipanen
Kala muson barat datang itu adalah jeda
Bagi ikan untuk bertelur
Deburan ombak menyanyikan pujian
Bagi nelayan yang berpengharapan
Dan menjadi umpatan
Di telinga mereka yang terjebak keserakahan
Kala lautan tak bisa diajak berteman
Benahilah lubang di jala dan sampan
Sambil merapal dan menabur doa
Semoga terjawan kala teduh di lautan
2025
DIALOG HUJAN
Ketika malam ini kau datang
Aku sedang banyak berharap
Rintikmu membawa cerita dari balik awan
Cerita tentang kesabaran
Menjumput uapan air itu
Aku di sini menampung tiap rintik
Berbisik lirih bercerita
Tentang luruh
Tentang jatuh
Dan memberi arti pada semua
Ketika guntur bergemuruh
Katamu itu adalah penanda
Ceritamu hampir usai
Dan kau tinggalkan kesabaran untukku.
Aku pasti kembali, pamitmu.
MEMBASUH TANAH KERING
Tumbuhlah memenuhi hasratku
Kusiram dengan gairah penuh
Kesetiaanku tak luruh oleh waktu
Mekarlah jiwa harapanku
Senandung doa kukirimkan
Membasuh tanah kering
Membuai peluh resapkan lelahku
Tumbuhlah tumbuh benih kehidupan
Menghijau di lahan gersang
Agar harapan tak akan melayang
JUMUD
Tetaplah hijau sawah itu
Meski kemarau belum berlalu
Ada air selalu
Dari tubuh yang tak pasrah pada nasib
Dan benih selalu mengganti
Yang habis dipanen pagi tadi
Bilakah hidup jumud
Hanya dari mulut yang bersungut-sungut
Tanpa raga yang bicara
Waktu melenggang lurus
Dari pagi ke sore
Kitalah yang mengubahnya
Di tiap jeda
Bergerak adalah inti jiwa
Diam mengunyah kepasrahan
Jadikan doa doa
BIODATA :
Agus Buchori lahir di desa nelayan Paciran, pesisir utara Kabupaten Lamongan, pada 17 November 1975. Sehari-hari ia bekerja sebagai Arsiparis di Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Lamongan. Karya-karyanya berupa puisi dan gurit telah dipublikasikan di berbagai media, seperti Kompas.id, KBAnews.com, Bali Post, Radar Bojonegoro, Balai Bahasa Jawa Timur, Pustakaekspresi.com, Panyebar Semangat, Jayabaya, Djaka Lodang, dan Solo Pos. Ia telah menerbitkan antologi cerpen Muson (Boenga Ketjil, Jombang, 2019) serta antologi puisi Muasal Puisi (Pustaka Ilalang, 2020).