5 PUISI S. SIGIT PRASOJO

Rumah Tanpa Jendela
Aku pernah punya rumah
Yang tidak punya jendela,
Sebab dunia terlalu terang
Untuk dilihat langsung.
Di dalamnya,
Aku menulis hari-hari
Di dinding yang lembap,
Menggambar matahari
Dari ingatan kabur.
Tak ada pintu yang kukunci,
Tapi tak ada juga yang masuk.
Kesepian bukan datang dari sepi,
Tapi dari tak dikenalnya
Kehadiran.
Dan rumah itu masih ada—
Di dalamku,
Berdiri tegak,
Diam,
Dan tak berharap kembali dihuni.
*
CATATAN REDAKTURIAL
Rumah, Jendela, dan Gerilya Imajinasi dalam Puisi Sigit Prasojo
Oleh IRZI
Kita mulai dengan sebuah pengakuan polos tapi perlu: puisi Sigit Prasojo ini tidak ingin membuatmu nyaman. Ia menulis bukan untuk membuat kita duduk manis sambil menyeruput kopi sembari bersyukur atas hidup yang konon katanya “cukup-cukup saja.” Justru, lewat “Rumah Tanpa Jendela,” ia mengusik kita dari dalam, dengan nada yang tenang tapi mengendap seperti air rembesan dari dinding lembap rumah yang ia gambarkan—rumah yang, mari kita akui, terdengar seperti metafora yang lebih tepat untuk diri daripada bangunan fisik. Dan ya, jangan buru-buru kasihan—karena puisi ini tidak merayu iba. Ia terlalu santun untuk itu, tapi juga terlalu cerdas untuk sekadar curhat.
Sigit Prasojo, si anak muda dari Ponorogo kelahiran 25 Juli 2001 ini, seolah sedang bercanda sambil membedah dada sendiri. Dengan gaya menulis yang bisa dibilang gabungan antara renungan malam hari dan ngedumel jenaka ala anak kos idealis, Sigit menyajikan puisi ini seperti semangkuk rawon yang disajikan tanpa garam—pahitnya bikin mikir. Latar belakangnya yang aktif di komunitas sastra kampus, forum literasi, dan gemar berguru ke tokoh-tokoh seperti Gus Nas Jogja dan Fikar W. Eda, terlihat memengaruhi kepekaan tematiknya. Tapi tentu, Sigit tidak menjiplak gaya para gurunya. Ia memelintirnya dengan usil menjadi sesuatu yang sangat “Sigit”—ada aroma kesendirian, tapi dituturkan dengan senyum miring.
Kita tidak bisa tidak tergelitik dengan konsep “rumah tanpa jendela”—sebuah rumah yang sengaja dibiarkan gelap karena dunia terlalu terang. Nah, ini dia komedi sinisnya: bukannya takut pada gelap, ia justru meringis pada silau. Barangkali ini adalah sentilan pada zaman di mana segalanya harus ditampilkan, diunggah, dikomentari, dan dijual. Dalam dunia yang “terlalu terang,” Sigit memilih bersembunyi, bukan karena takut, tapi karena lelah. Dan ia menulis, tidak di buku catatan atau layar laptop, tapi “di dinding yang lembap”—karena kadang yang paling jujur justru yang paling tak layak tayang.
Namun, jangan terkecoh. Puisi ini bukan soal pengasingan. Sigit justru sedang menunjukkan betapa rapuh dan absurdnya koneksi manusia hari ini. “Tak ada pintu yang kukunci, tapi tak ada juga yang masuk.” Nah, ini dia punchline dari puisi ini. Seperti sedang bercanda dengan fakta sosial: kamu boleh terbuka selebar-lebarnya, tapi kalau orang lain tak tahu (atau tak peduli) caranya hadir, maka kesepian tetap menjadi raja. Sebuah kritik sosial yang dibungkus dalam selimut kontemplasi, bukan orasi. Dan tentu saja, tetap dengan gaya kalem khas penyair muda yang tahu cara menyindir tanpa menggurui.
Sigit Prasojo jelas bukan penyair biasa-biasa. Ia adalah produk dari generasi yang melihat terlalu banyak, tahu terlalu banyak, tapi merasa terlalu sedikit didengar. Maka ia menciptakan rumah dalam dirinya sendiri—tak berjendela, tak berpintu, tapi penuh coretan-coretan hari yang tak ingin dilupakan. Dalam rumah itu, ia berdiri, diam, dan tidak berharap kembali dihuni. Karena mungkin, dalam sunyi yang ia ciptakan, justru di sanalah ia paling lantang bersuara. Sebuah pilihan eksistensial yang jenaka, getir, dan—anehnya—membebaskan. Sudah siap mengetuk rumahnya? Jangan harap dibukakan. Tapi siapa tahu, kamu bisa melihat pantulanmu sendiri di tembok lembap itu.
2025
*
Akar yang Tak Terlihat
Luka ini telah jadi tanah,
Dan aku tak sadar
Aku telah tumbuh darinya.
Bukan jadi bunga,
Bukan jadi pohon rindang,
Tapi sesuatu
Yang bertahan—
Meski tak diinginkan.
Kadang hidup bukan tentang mekar,
Tapi tentang bertahan
Agar tak rebah
Setiap kali angin mengingatkan
Bahwa dulu
Kau pernah nyaris patah.
*
Sungai yang Membawa Namaku
Di suatu tempat dalam diriku,
Ada sungai kecil
Yang terus mengalir
Tanpa pernah bermuara.
Airnya membawa nama-nama
Yang dulu kupanggil dalam doa—
Nama ibu, nama adik,
Nama diriku yang tak sempat tumbuh.
Aku biarkan sungai itu hidup,
Meski ia tak menyegarkan,
Meski kadang ia banjir
Dan menenggelamkan mimpi-mimpi kecil
Yang belum sempat lahir.
Dan sungai itu terus mengalir,
Membawa aku ke masa lalu
Yang tak pernah ingin
Kutemui lagi.
*
Langit Tidak Selalu Menjawab
Aku pernah bicara pada langit
Dengan suara paling jujur
Yang kupunya.
Tapi langit hanya diam,
Seperti ayah
Yang tak pernah tahu
Cara memeluk anaknya.
Barangkali,
Tuhan pun kadang bingung
Bagaimana cara menjawab manusia
Yang hanya ingin dimengerti
Tanpa perlu diberi pelajaran lagi.
Jadi aku berhenti bertanya.
Bukan karena tak ingin tahu,
Tapi karena aku ingin belajar
Menerima sunyi
Sebagai bentuk lain dari kasih.
*
Lambat Tapi Bangkit
Tidak ada yang tiba-tiba sembuh,
Tak ada yang serta-merta kuat.
Semuanya lambat—
Seperti dedaunan yang luruh
Dan kembali tumbuh
Tanpa suara.
Aku tidak tahu kapan
Aku mulai bisa tertawa lagi
Tanpa merasa bersalah.
Mungkin bukan karena luka hilang,
Tapi karena aku tak lagi
Memberinya makan
Dengan ingatan.
Dan begitulah akhirnya aku bangkit:
Bukan sebagai pemenang,
Tapi sebagai seseorang
Yang memilih untuk tidak
Tertidur terlalu lama
Di pelukan gelap.
Ponorogo, 10 April 2025
*
S. Sigit Prasojo, lahir 25, Juli 2001 di Ponorogo. Aktif dalam Himpunan Penulis Mahasiswa.Karyanya telah dipublikasikan di berbagai media kampus dan forum literasi. Ia telah meraih banyak kejuaraan kepenulisan tingkat nasional. Ia juga aktif di komunitas Partey Penulis Puisi Berproses belajar kepada: Gus Nas Jogja, Fikar W. Eda, Hasan Aspahani, dan sastrawan besar lainnya.
Nomor WhatsApp: +62 831-2029-9983
Akun Instagram: @maz_prasojo