Ajip, bagi banyak orang, adalah pribadi yang keras. Ia yakin pada apa yang ia percayai, dan konsisten memegang dan menjalani keyakinan itu. Jangan salah, tidak melanjutkan sekolah formal, adalah keputusan besarnya di masa muda yang juga didasari kukuhnya Ajip kepada apa yang ia yakini.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH— Rasionalitas, bijak dan kesadaran, tak selamanya bergandeng erat dengan tingginya gelar pendidikan formal. Untuk kalimat di atas, Ajip Rosidi bisa dikedepankan sebagai hujjah yang susah dibantah.
Ia, yang pada Rabu (29/7) malam meninggalkan kita semua untuk selamanya, tak pernah menyelesaikan pendidikan formal sekolah menengahnya. Ajip yang dilahirkan di Jatiwangi, Majalengka, 31 Januari 1938—menurut Prof A. Teeuw, itulah salah satu yang membuat dirinya selalu mengingat Ajip: bersamaan hari lahir dengan mantan ratu Belanda, Ratu Beatrix–itu hanya tamat SMP Negeri VIII Jakarta pada 1953. Sempat melanjutkan sekolah di Taman Madya, Taman Siswa, di Jakarta, tapi tak pernah diselesaikannya.
Namun tak hanya tercatat sebagai seorang yang sukses membangun dunia literasi—baik dengan karya, pendirian sekian banyak penerbit buku, sokongan untuk pendidikan dan pelajaran, serta dukungan untuk hidup dan tumbuhnya sastra-sastra daerah—Ajip pun seorang yang sadar bahwa pada saatnya ia akan berpulang. Bahkan kesadaran yang barangkali terlalu awal untuk seorang remaja belasan tahun. Saat usianya 19 tahun, Ajip Rosidi sudah menulis buku berjudul “Sebuah Rumah Buat Haritua” (1957).
Tetapi Ajip memang seringkali terlalu awal untuk usianya. Pada usia dua tahun ia sudah harus menghadapi deraan hidup, manakala kedua orang tuanya berpisah. Ajip yang sejatinya dilahirkan sebagai keturunan seorang berada—kakeknya seorang kuwu atau kepala desa zaman itu, seketika hidup kekurangan karena tinggal di neneknya dari ibu. Di usia 12 tahun, karya Ajip mulai mengisi halaman media massa nasional.
Pada usia 14 tahun, manakala anak-anak lain masih bermain-main menghabiskan waktu, Ajip sudah mulai menulis dan mematrikan karya-karya sastranya pada sejarah sastra nasional, dengan mulai mengisi majalah-majalah sastra terkemuka saat itu, seperti Mimbar Indonesia, Gelanggang, Siasat, Indonesia, Zenith, Kisah, dan sebagainya.
Buku pertama Ajip—yang tentu tidak diterbitkan penerbit indie tanpa editor mumpuni—“Tahun-tahun Kematian”, terbit manakala usianya baru 17 tahun (1955). Buku itu, kemungkinan besar didasarkan pada pengalaman hidup Ajip yang seringkali getir, sebagaimana juga ditulisnya dalam “Di Tengah Keluarga”, yang terbit pada 1956, tatkala Ajip masih berusia 18 tahun.
Setelah itu, kreativitasnya deras mengalir dalam kumpulan sajak, kumpulan cerita pendek, roman, drama, kumpulan esai dan kritik, hasil penelitian, dan sebagainya. Karena Ajip pengarang dwi-bahasa—Indonesia dan Sunda, karya-karyanya berada dalam dua bahasa itu. Hingga sekarang jumlah karyanya itu tak kurang dari seratus judul. Wajar bila seorang peneliti sastra, Dr Ulrich Kratz, pada 1988 lalu mengatakan, sampai 1983 Ajip adalah pengarang sajak dan cerita pendek paling produktif, dengan 326 karya yang dimuat pada 22 majalah. Karya-karya itu kini banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain dalam bahasa Belanda, Cina, Inggris, Jepang, Prancis, Kroasia, Rusia, dan sebagainya.
Ajip, bagi banyak orang, adalah pribadi yang keras. Ia yakin pada apa yang ia percayai, dan konsisten memegang dan menjalani keyakinan itu. Jangan salah, tidak melanjutkan sekolah formal, adalah keputusan besarnya di masa muda yang juga didasari kukuhnya Ajip kepada apa yang ia yakini.
“Saya drop out dari Taman Madya (SMU). Ketika hendak ujian penghabisan saya memutuskan untuk tidak melakukannya karena terpengaruh oleh berita-berita tentang bahan ujian yang bocor di surat kabar. Menurut berita-berita itu, orang mengeluarkan uang untuk menyogok pejabat yang bersangkutan agar bisa memperoleh bahan ujian sebelum waktunya,” kata Ajip dalam sebuah tulisannnya di “Bukuku Kakiku”, sebuah bunga rampai tentang bagaimana buku memengaruhi kehidupan orang-orang terkemuka, sebagaimana juga dirinya.
Berita itu memberi Ajip kesimpulan, orang-orang itu menggantungkan hidup kepada ijazah, dan untuk itu rela bermain curang. Ia kemudian melakukan hal yang hingga meninggal pun tampaknya tak pernah ia sesali. “Saya menulis surat kepada guru saya Abdurrachman Soerjomihardjo (kemudian menjadi doktor sejarah), di atas sehelai kartu pos. Saya ingin membuktikan bahwa saya bisa hidup tanpa ijazah. Untuk memenuhi niat itu, saya berpendapat bahwa saya harus membaca buku sebanyak-banyaknya, lebih daripada yang dibaca oleh mereka yang bersekolah,” tulis Ajip.
Ketegasan sikap itu kembali dibuktikan Ajip saat ia mengembalikan Habibie Awards. Pada 11 November 2009, Ajip menerima penghargaan Habibie Awards atas karya-karyanya dalam bidang ilmu kebudayaan. Pada 2016, ia mendatangi The Habibie Center untuk mengembalikan penghargaan tersebut bersama hadiah sekitar Rp 206 juta. Semua itu dilakukan Ajip sebagai protes manakala Habibie Award 2015 diberikan kepada seorang guru besar sebuah PTN di Jawa Barat yang dinilainya sebagai seorang plagiator. Ajip mengatakan penghargaan itu lebih pantas diberikan kepada Sapardi Djoko Damono atau Zawawi Imron yang saat itu juga menjadi nominator. “Habibie Award kecolongan. Saya menghormati Pak Habibie, makanya saya kembalikan,” ujar Ajip, saat itu.
Saya yakin, pembentukan kepribadian yang tegas, konsisten dan komit pada jiwa Ajip Rosidi itu tak lain karena tempaan penderitaan hidup dan kesedihan. Alih-alih membuatnya lembek, lemah dan bahkan jatuh, derita di masa muda justru membuat Ajip yang secara badani tergolong kecil dan terlihat ringkih, memiliki jiwa yang kuat, ulet, liat dan penuh semangat.
“Aku anak ayahku yang sulung. Aku anak ibuku yang sulung. Aku lelaki. Ya, aku lelaki. Ini penting kujelaskan…”tulis Ajip dalam “Kekayaanku”, tulisan pertama kumpulan cerpen yang diterbitkan saat ia berusia 18 tahun, “Di Tengah Keluarga”.
“Yang harus kujelaskan lagi ialah bahwa sejak bisa berpikir panjang, aku mendapati ayah telah bercerai dengan ibuku. Ini patut dan penting dijelaskan, karena kemudian seumur hidupku selalu dirundung soal ini saja: perceraian mereka. Banyak benar pengaruh perceraian itu padaku,” tulisnya, pada cerpen yang sama.
Saya sendiri menemukan sikap tegas itu pada perjumpaan pertama dan sekali-kalinya saya dengan Kang Ajip, sekitar 1999-2000. Saat itu Kang Ajip baru kembali dari puluhan tahun merantau di Jepang, menjadi pengajar di beberapa perguruan tinggi di sana.
Saat saya mengenalkan diri sebagai wartawan Majalah TEMPO, ada yang lain pada sorot mata Kang Ajip.
“TEMPO ya?” katanya, tanpa ada nada bertanya di situ. “Sampaikan salam saya pada Goenawan, ya.” Tentu saja saya berjanji untuk menyampaikan salam tersebut. Baru setelah wawancara usai, Kang Ajip bercerita tentang hubungannya yang sempat cedera dengan Goenawan Mohamad, sesama sastrawan, gara-gara tudingan Goenawan tentang sesuatu yang berhubungan dengan Dewan Kesenian Jakarta. Kalau tak salah, tudingan “Sundanisasi” di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Gesekan itu terjadi sangat dekat dengan rencana keberangkatannya ke Jepang, memenuhi undangan untuk menjadi pengajar di sana.
Sekitar tiga tahun lalu, baru saya sempat membaca tulisan panjang Ajip tentang persoalan tersebut. Bagi saya, apa yang diuraikan Ajip dalam tulisan itu jelas. Clear. Banyak fakta yang diangkat Ajip membuktikan tudingan tersebut sangat mengada-ada.
Dari obrolan panjang di sebuah rumah di Pasar Minggu itu, kemudian saya tahu sumbangan besar Kang Ajip pada berdirinya Taman Ismail Mardjuki (TIM). Yang saya kagumi, selama obrolan tak sedikit pun, baik dari nada bicara maupun gestur Kang Ajip yang mengesankan orang untuk berpikir bahwa dirinya tengah bicara tentang siapa dia serta apa saja jasa-jasa yang telah ia berikan. Santai dan tak sedikit pun ada kesan menonjolkan diri.
Belakangan, kesan serupa saya temukan juga menjadi kesan Henri Chambert-Loir saat mengantar buku otobiografi Ajip,”Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam dalam Kenangan”.
“Yang mengesankan dalam buku Ajip Rosidi ini,” tulis Chambert-Loir yang kemudian menerjemahkannya ke dalam bahas Prancis,” Justru tidak ada nostalgia, tidak ada keangkuhan, tidak pula ada ambisi. Ceritanya polos dan bersahaja, seakan-akan laporan hasil penelitian, atau biografi orang lain.”
Dalam buku itu, kata dia lebih lanjut, Ajip tidak berusaha membangkitkan rasa sayang dan simpati para pembaca ataupun rasa rindu pada dirinya sendiri. “Dia rupanya tidak kagum pada ‘anak ajaib’ dari masa kanak-kanaknya,” tulis pemerhati sejarah dan sastra dari Prancis itu.
***
Meski hanya berjumpa sekali-kalinya—di tengah sekian banyak niat untuk berkunjung ke Pabelan yang kemudian dipilih Kang Ajip sebagai ‘rumah hari tua’ atau datang ke Jalan Garut di Bandung, tempat Perpustakaan Ajip Rosidi berdiri—saya mengenal Kang Ajip sejak SD. Dari “Mangle”, majalah Sunda yang dilanggani SD tempat ibu saya mengajar.
Di majalah itu terdapat rubrik mingguan, “Surat ti Kyoto”, berisi surat yang ditulis Kang Ajip tentang segala hal tentang Jepang sebagaimana yang ia lihat dan rasakan. Saya membacanya sesekali, karena minat saya sebagai anak SD saat itu lebih condong kepada rubrik lucu “Pangalaman Para Mitra”, atau “Puriding Puringkak” yang menceritakan hal-hal gaib yang membuat saya menjelma menjadi penakut hingga hari ini. Tetapi bukan tak pernah saya baca. Saya membacanya bila rubric lain sudah tandas saya baca, sementara bacaan waktu itu begitu terbatasnya. Dari sana, benak bocah saya pun sudah bicara, betapa besar kecintaan Kang Ajip kepada (warga) Sunda, hingga di tengah himpitan kesibukannya, setiap pekan ia masih bisa menulis surat panjang buat mengisi Mangle. Pertengahan tahun 2000-an saya lihat surat-surat itu sudah dikumpulkan dalam dua jilid buku, “Surat ti Jepang”.
Kepedulian itu tak hanya berhenti di sisi budaya. Belakangan, dari kumpulan surat-surat Kang Ajip lainnya,”Trang-trang Kolentrang”, saya mengetahui bahwa Kang Ajip pun sangat peduli kepada perpolitikan nasional. Sebagai seorang cendikiawan, ia tentu banyak menyimpan keprihatinan tentang Orde Baru. Keprihatinan, tukar-menukar informasi serta upaya berbagi kepedulian itulah yang menjadi isi “surat-surat politik” Kang Ajip kepada para sahabatnya di Tanah Air. Ada banyak nama yang dikirimi “surat politik” oleh kang Ajip, misalnya Eddi S Ekajati, Nano S, Endang Saifuddin Anshari, Duduh Durahman, Tjetje Hidayat Padmadinata, dan sebagainya.
Tak hanya itu. Ternyata Kang Ajip pun saat itu bukan sekali dua berkirim faks ke Amien Rais dan Abdul Qadir Jaelani, untuk berbagi informasi.
Buku itu sendiri isinya sederhana. Kebanyakan prediksi dan usulan tentang langkah Indonesia ke depan (saat itu) seandainya Rezim Orde Baru yang saat itu telah terlihat goyah, runtuh. Hanya, karena buku itu terbit ‘post-factum’, terbit setelah jatuhnya Orde Baru, memang isinya terasa ‘kurang menggigit’.
***
Pada 18 Juli lalu, dalam rapat redaksi Jurnal Populer Pemikiran Ekonomi Islam “Kasyaf” yang diterbitkan sebuah lembaga di FEB Unpad, kami sepakat untuk mewawancarai Ajip Rosidi di rubrik budaya. Atau setidaknya menuliskan pemikiran-pemikiran Kang Ajip tentang budaya, literasi dan peradaban. Sepekan lebih hasil rapat tersebut belum juga kami tindak lanjuti karena setiap awak redaksi memiliki tanggung jawab ganda, bahkan lebih.
Sampai Rabu (29/7) pagi, saat Pimpinan Redaksi “Kasyaf”, Kang Syaiful Rahman, mengingatkan saya untuk mencari waktu, berangkat ke Pabelan. Saat itu, seiring berita yang kemudian mencuat, kami sadar, mungkin saja keberangkatan kami hanya untuk melayat.
Pagi itu pun saya mengontak banyak sahabat, termasuk Kang Hawe Setiawan dan Teh Chye Retti Isnendes di Bandung, yang kami kenal dekat dengan Kang Ajip dan keluarga. Dari Teh Chye kami peroleh nomor salah seorang putri Kang Ajip.
Dengan Kang Hawe, saya bahkan sempat bertukar pesan WA cukup lama.
“Aya jorojoy hoyong ngalongok Kang Ajip di RS…kinten kinten tiasa teu nya? Ada keinginan untuk menengok Kang Ajip di RS. Apakah mungkin?” tanya saya.
“Puguh abdi ge hoyong. Mung kumaha nya saena: ka Magelang, paling henteuna kedah kana kareta heula ka Yogya. Moal ribet kitu nya? Justru saya pun ingin. Hanya bagaimana bagusnya ya? Ke magelang paling tidak harus naik kereta dulu ke Yogya. Apa tidak bakal ribet?” jawab Kang Hawe.
“Pami teu barang candak seueur mah sigana henteu, Kang. Kalau nggak bawa banyak barang, ya nggak bakal ribet, Kang.” Masih saja saya mencoba berkelakar.
“Saurna kedah diparios heula kesehatan nya pami kana kereta mah. Kabarnya harus menjalani tes kesehatan kalau mau naik kereta.”
“Ooh…Ah, atuh nyandak mobil we… Ah, kita bawa mobil sajalah..”
“Enya sigana nya. Ke atuh urang emutan. Tampaknya begitu. Nanti kita pikirkan..”
Senyampang itu, baik saya maupun Syaiful mencoba meminta izin kepada keluarga Kang Ajip untuk ikut menengok. Sekitar 30 menit kemudian, siang itu kepada masing-masing telepon seluler kami datang pesan WA dari Teh Evi Dewi Deigrita, puteri Kang Ajip.
“Alaikumussalam wr wb.
Bapak sekarang sdg dirawat di ruang ICU RS. Tidar magelang. Perkembangan terakhir tadi pagi bapak sudah dipasang alat bantu nafas, karena menurut dokter beliau sudah masuk kategori gagal nafas. Mohon doa terbaik utk bapak, semoga beliau mendapatkan keajaiban dariNya, aamiin…”
Deg! Seolah ada yang menonjok ulu hati. Saya menjawab pesan WA itu dengan doa. Malam tadi, saya merasakan gelisah, meski akhirnya tertidur. Tadi pagi, sebuah pesan WA membuat saya lunglai. Kang Ajip telah berpulang semalam. Pesan itu datang dari Teh Evi.
“Innalillahi wa inna ilaihi raajiuun..Telah meninggal, bapak Ajip Rosidi, tanggal 29/07/2020, pukul 22.20 di RSUD Tidar Magelang. Mohon dimaafkan segala salah dan khilaf..”
Begitu pesan tersebut secara verbatim. Untuk kesekian kalinya, saya merasa upaya silaturahmi saya kalah telak dengan pastinya kepatuhan Izrail menemui orang-orang yang diminta Allah pulang ke Kampung Halaman.
“Akang keur nulis roman. Akang sedang menulis roman,”kata kang Ajip dalam sebuah percakapan telepon dengan seorang juniornya di bandung, baru-baru ini. Pernyataan yang menegaskan bahwa almarhum tak pernah berhenti berkarya.
Mata saya pun tertumbuk sebuah sajak Kang Ajip, dari sebuah kumpulan yang saya buka barusan untuk mengenangnya,” Terkenang Topeng Cirebon”.
“…Dan pabila giliranku tiba, terlentang
Dengan kedua belah tangan bersilang
Sebelum Sang Maut menjemput
Sekali lagi namamu ‘kan kusebut, lalu diam. Mati.”
–“Hari Tuaku”
Saya kontan bergumam,”Kini kami semua yang menggumamkan namamu,Kang Ajip. Menyebutmu dalam ingatan akan semua kebaikan dan kepedulianmu. Dan hari ini, di hari Arafah ini, langkah pertamamu menuju Dia Yang Kita Kasihi, diiringi sekian doa dari bibir-bibir yang tengah menahan lapar di Puasa Arafah. Insya Allah, jalanmu menuju-Nya adalah jalan lempang, mulus dan lancar…” [dsy]