Solilokui

Covid-19 dan Lonjakan Penggunaan Teknologi Komunikasi

Pemerintah sebagai regulator punya tugas yang tidak kalah berat untuk meyakinkan tersedianya peraturan dan undang-undang yang cukup untuk melayani technology shifting yang sangat massif

Oleh : Tito Satya Rinaldi*

Sejak diberlakukannya anjuran social distancing baik oleh beberapa pemerintah daerah juga pemerintah pusat, gerakan #wfh (“work from home“), #stayathome dan #dirumahaja menjadi trending topic di sebagian besar media sosial. Anjuran tersebut jelas berimplikasi besar terhadap banyak sektor, baik sektor bisnis, sektor pendidikan, sektor sosial, bahkan di area kecil seperti kumpul-kumpul atau arisan. Dan tak bisa dihindari, penggunaan teknologi dan platform digital menjadi salah satu faktor terpenting yang perlu diaplikasikan secara masif.

Tito Satya Rinaldi

Pertama, bagaimana dengan sektor bisnis? Entitas bisnis dari berbagai skala (UMKM sampai multi-nasional) dan berbagai sektor jelas terkena imbasnya. Baik yang sudah menggunakan banyak teknologi atau yang hanya mengandalkan kalkulator, semuanya harus beradaptasi. Sepertinya tidak ada ruang untuk kegaptekan dalam menjalankan ekonomi.

Tanpa adanya keputusan lockdown oleh pemerintah, maka setiap entitas bisnis berasumsi bahwa roda usaha harus dapat terus berjalan dengan banyaknya keterbatasan, terutama dalam melakukan aktivitas tatap muka. Termasuk di dalamnya melakukan rapat skala kecil sampai skala besar, lokakarya, konsinyering, seminar atau sejenisnya. Hal ini cukup menarik, mengingat pelaku bisnis di Indonesia sangat gemar melakukan aktivitas tatap muka. Apalagi bila ada kaitannya dengan pejabat, baik pejabat negara maupun perusahaan, rapat sepertinya adalah salah satu pengejawantahan struktur kekuasaan dalam sebuah organisasi. Di luar efektivitas rapat-rapat tersebut, tapi tidak bisa dimungkiri hal tersebut sudah menjadi kebiasaan (mungkin juga hobi) dalam dunia usaha di Indonesia. Hal ini jelas membutuhkan alternatif penggunaan teknologi dan juga penyesuaian kebiasaan.

Belum lagi kebiasaan monitoring di banyak perusahaan yang masih sangat mengandalkan “sistem pengendalian melekat”. Dalam arti harfiah, “kalau tidak dilihat maka tidak ada”. Ditambah kebiasaan seorang bos untuk melihat karyawannya datang pagi pulang sore (atau malam) dan duduk di meja kerja, dibandingkan dengan hanya melihat hasil kerja (result oriented). Walaupun banyak perusahaan start up teknologi yang sudah menerapkan flexible working hour dan flexible working place, tapi dominasi perusahaan dengan pola kolonial ini masih jauh lebih tinggi.

Salah satu tools yang sangat pesat penggunaannya di era work from home ini adalah teleconference (audio) dan video conference, seperti Zoom, Google Meet dan Whatsapp. Bahkan aplikasi Zoom yang mungkin kurang populer mengalami kelonjakan penggunaan yang sangat tinggi diiringi harga sahamnya yang meroket lebih menjadi dua kali lipat sejak Januari 2020 hingga akhir Maret 2020. Per 27 Maret 2020, tercatat saham Zoom Video Communication di NASDAQ menjadi 151,7 dolar AS per lembar. Hal ini sebenarnya fenomena yang terjadi di seluruh dunia, namun di Indonesia jumlahnya sangat siginifikan.

Di dunia pendidikan, sejak social distancing, hampir semua lembaga pendidikan, baik formal maupun non formal, juga menerapkan pendidikan jarak jauh, #studyfromhome atau #homeschooling menjadi trend di dunia ini. Proses belajar mengajar di Indonesia yang sejatinya sangat mengandalkan pertemuan tatap muka dalam bentuk kelas, berubah total. Bahkan di tingkat sekolah dasar, yang mungkin dipengaruhi oleh motto “sayang anak” sehingga ketakutan penularan pada anak memicu tindakan preventif yang sangat cepat.

Penyedia platform pendidikan jarak jauh (remote learning) seperti Google Classroom jelas mendapatkan durian runtuh ketika aplikasi mereka digunakan oleh banyak lembaga pendidikan. Ditambah penyedia platform lokal seperti Ruang Guru, Kelas Online, Kelase dan lainnya juga mulai digunakan secara massif. Komunikasi via video conferece seperti yang digunakan di dunia bisnis juga lazim digunakan oleh pengajar dan murid. Para pengajar juga cukup kreatif dalam memberikan tugas-tugas dalam bentuk video yang di-upload ke YouTube maupun live streaming di Instagram Story.

Pendidikan di luar sekolah juga memanfaatkan teknologi untuk dapat terus berinteraksi dengan anak didiknya. Sekolah sepak bola, klub senam gymnastic, kelas yoga dan lain sebagainya juga memanfaatkan berbagai jenis platform teknologi. Ada perubahan cara mengajar/mendidik tapi tetap terlihat menarik dan jelas mengajak para pengajar untuk berinovasi dalam mempersiapkan materi. Bahkan beberapa layanan e-book juga memberikan akses gratis sementara untuk para penggemar buku, baik text book untuk pendidikan ataupun jurnal-jurnal ilmiah.

Fenomena yang terakhir adalah di hubungan sosial antar masyarakat. Walaupun penggunaan platform messagging (Whatsapp dan Line) dan media sosial (seperti Instagram, Twitter, Facebook) sudah booming digunakan untuk bersosialisasi di semua lapisan masyarakat, tapi anjuran social distancing sangat mempengaruhi tingkat penggunaannya. Traffic di WAG meningkat pesat, bahkan di beberapa group konflik “perkubuan” mulai muncul lagi karena mungkin kekurangan bahan untuk dibicarakan.   Belum lagi media sosial juga jauh menjadi lebih ramai, muncul permainan dan challenge di timeline sebagai pengusir kebosanan berdiam diri terlalu lama di dalam rumah. Kongkow-kongkow ibu-ibu (dan mungkin juga bapak-bapak) yang biasa dilakukan di cafe dan restoran berubah bentuk menjadi “kongkow virtual”.

Para selebritas (baik di dunia nyata maupu virtual) berlari kencang menciptakan konten-konten di laman media sosial mereka. Pengajian online dan kebaktian menggunakan platform video conference juga fenomena yang semakin berkembang. Belum lagi pemanfaatan e-commerce seperti Tokopedia dan Bukalapak ataupun jasa antar di GoJek dan Grab yang semakin dimanfaatkan dalam menyediakan banyak keperluan rumah tangga, terutama kebutuhan pokok seperti makanan dan alat rumah tangga.

Gerakan sosial untuk penggalangan dana dengan bentuk berbagai jenis tagar juga bermunculan. Meme yang mengajak kebaikan, menghibur bahkan yang tidak jelas juga semarak mengisi timeline di media sosial. Informasi yang beredar, baik yang sifatnya opini maupun faktual, baik yang benar maupun yang HOAX menghiasi hari-hari banyak orang yang rajin menjelajahi dunia maya.

Begitu banyak dampak negatif bencana wabah COVID-19 di banyak area, namun dari sisi teknologi dan digital banyak sekali nilai positif yang didapat dan diambil hikmahnya. Pertama, kita semakin sadar bahwa teknologi dapat menggantikan banyak sekali aktivitas tatap muka. Apakah ini lebih efektif dan efisien? Secara prinsip iya, tetapi apakah ini mengurangi sisi humanis? Ini yang masih jadi pertanyaan. Manusia akan berevolusi, tapi apakah di setiap evolusi adanya kebinasaan.

Kedua, dengan ketergantungan banyak sektor yang sangat tinggi terhadap teknologi, maka ketersediaan teknologi yang reliable dan juga aman perlu menjadi perhatian semua pihak. Di beberapa negara, peningkatan trafik internet naik dua kali lipat dikarenakan banyaknya akses menggunakan internet di semua sektor. Perlu juga ditekankan bahwa keamanan dan kerahasian data privasi yang masih sangat lemah dipahami oleh masyarakat luas. Pemerintah sebagai regulator punya tugas yang tidak kalah berat untuk meyakinkan tersedianya peraturan dan undang-undang yang cukup untuk melayani technology shifting yang sangat massif.

Ketiga, sebagai bangsa yang besar, pemahaman akan penggunaan teknologi di banyak sektor harus memicu nilai patriotisme untuk membangun platform digital milik anak bangsa yang bisa mudah digunakan dan menjangkau sebanyak mungkin lapisan masyarakat. Menjamurnya perusahaan teknologi di Indonesia saat ini, baik startup company maupun perusahaan yang sudah mapan, tampaknya masih belum cukup untuk dapat menyediakan platform-platform utama yang digunakan banyak pihak. Ini secara jangka pendek dan panjang menjadi ancaman yang serius bagi kedaulatan bangsa.

Jelas kebermanfaatan teknologi menjadi tantangan utama, sehingga kita dapat mematahkan apa yang disampaikan oleh John Cusack (aktor dari Amerika Serikat):

“I force people to have coffee with me, just because I don’t trust that a friendship can be maintained without any other senses besides a computer or cellphone screen.”

Mengakhiri tulisan ini, di dalam menghadapi bencana wabah COVID-19, mari kita berusaha untuk #stayathome dan #contributefromhome dengan berkarya. Siapa tahu pada era yang sangat berat ini, kita bisa merebut peluang untuk meningkatkan kualitas bangsa, negara dan rakyat di negeri ini. [  ]

*Chief Strategist at Veda Praxis

Minggu, 29 Maret 2020

Dalam “kesemarakan” #stayathome selama dua minggu

Back to top button