SolilokuiVeritas

Gaji Ludes di Jalan, Guru Nur Aini Dipecat karena “Jarak”

Guru Nur Aini harus menempuh 114 km setiap hari demi mengajar di kaki Gunung Bromo. Saat fisiknya tumbang dan dompetnya kering karena ongkos, negara bukannya memberi solusi mutasi, malah menghadiahi surat pemecatan.

WWW.JERNIH.CO –  Kasus pemecatan Nur Aini, seorang guru di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, di penghujung tahun 2025, sulit jika hanya semata-mata menggunakan kacamata sanksi disiplin seorang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Ini adalah potret duka tentang bagaimana kaku dan dinginnya mesin birokrasi saat berhadapan dengan realitas kemanusiaan yang getir di lapangan. Di balik SK pemberhentian yang ditandatangani Pemerintah Kabupaten Pasuruan, tersimpan kisah perjuangan seorang pendidik yang terhimpit antara kewajiban negara dan keterbatasan daya hidup.

Bayangkan setiap pagi, sebelum matahari menyentuh puncak Bromo, Nur Aini harus menempuh perjalanan 57 kilometer ke sekolah, Artinya saban hari  114 kilometer pulang-pergi dari Bangil menuju SDN II Mororejo, Tosari.

Kalau Anda masih sulit membayangkan, kira-kira bu guru Nur Aini harus menempuh perjalanan Jakarta – Bogor atau Jakarta – Karawang, yang tentu akses kendaraan dan jalannya tidak tersedia tol. Pulang-pergi.

Jarak ekstrem ini bukan sekadar angka; ia adalah kelelahan fisik yang menumpuk, risiko keselamatan di jalanan pegunungan, dan beban finansial yang tidak masuk akal.

Dengan pengeluaran transportasi mencapai Rp135.000 per hari—sementara gaji pokok ASN golongan awal hanya berkisar Rp2,5 juta hingga Rp3,5 juta—pendidikan yang ia berikan secara harfiah “memakan” hidupnya sendiri. Ironisnya, di tengah himpitan itu, ia masih harus menghadapi dugaan potongan gaji ilegal dan konflik internal yang menguras sisa-sisa kewarasan mentalnya. Yakni, pemotongan gaji sekitar Rp600.000 per bulan karena dugaan pemalsuan tanda tangan pinjaman koperasi oleh pihak sekolah, yang menambah beban finansialnya.

Pemerintah hanya berpegang teguh pada PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS, menyatakan bahwa absennya Nur Aini selama lebih dari 28 hari secara kumulatif adalah pelanggaran berat yang tak termaafkan.

Namun, dari perspektif kemanusiaan, kita patut bertanya: Di mana negara saat permohonan mutasi yang ia ajukan demi kesehatan dan kewarasan finansialnya diabaikan?

Hukum memang harus ditegakkan, tetapi hukum yang buta terhadap konteks hanyalah alat penindas. Pemecatan ini menjadi bukti betapa mahalnya harga “pengabdian” di Indonesia, di mana seorang guru dipaksa memilih antara ketaatan mutlak pada aturan atau bertahan hidup secara layak.

Tragedi Nur Aini hanyalah puncak gunung es dari karut-marut tata kelola guru di Indonesia. Mulai dari fenomena cleansing guru honorer yang dibuang tanpa kompensasi, hingga kesenjangan penempatan yang mengabaikan aspek domisili dan kesejahteraan.

Kita melihat sebuah pola yang mengkhawatirkan: guru dituntut menjadi pahlawan tanpa tanda jasa, namun ketika mereka berteriak meminta keadilan atau sekadar efisiensi jarak tempuh, mereka justru dijatuhi hukuman. Profesionalisme tidak boleh dijadikan tameng untuk membenarkan sistem yang tidak manusiawi.

Payung Hukum

Hukum di Indonesia sebenarnya sudah menyiapkan “payung” pelindung bagi guru, agar mereka tidak mudah dijatuhi sanksi berat saat menghadapi kendala di lapangan. Jika kita membedah kasus pemberhentian Ibu Nur Aini, ada tiga instrumen hukum utama yang seharusnya bisa menjadi bahan pembelaan sebelum keputusan pemecatan diambil.

Pertama, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Undang-undang ini menegaskan bahwa guru berhak atas rasa aman dan perlindungan kesehatan kerja. Jarak tempuh 114 km pulang-pergi dengan medan ekstrem bukan sekadar masalah jarak, tetapi sudah menyentuh aspek keselamatan nyawa dan kesehatan fisik.

Selain itu, Pasal 14 secara jelas memberikan hak kepada guru untuk mengajukan mutasi (pindah tugas) jika kondisi geografis atau finansial sudah tidak lagi memungkinkan untuk menunjang kesejahteraan mereka.

Kedua, meninjau ulang aturan disiplin dalam PP No. 94 Tahun 2021. Memang benar aturan ini mengatur sanksi bagi ASN yang bolos kerja, namun hukum juga mengenal asas proporsionalitas. Artinya, pemecatan seharusnya menjadi pilihan paling terakhir (ultimum remedium) setelah teguran dan solusi lain buntu.

Jika ketidakhadiran guru disebabkan oleh “keadaan memaksa” (force majeure)—seperti kelelahan kronis atau akses jalan yang membahayakan—hal ini bisa menjadi alasan pemaaf yang kuat dalam pemeriksaan internal.

Ketiga, adanya Permendikbud No. 10 Tahun 2017. Peraturan ini khusus dibuat untuk melindungi profesi guru dari tekanan atau laporan yang bias. Jika seorang guru merasa dipojokkan oleh atasan atau ada ketidakadilan dalam proses laporan disiplin, mereka berhak mendapatkan bantuan hukum dan perlindungan profesi agar tidak diberhentikan secara sepihak tanpa pemeriksaan yang objektif.

Menghukum ketidakhadiran memang mudah, namun memperbaiki sistem mutasi yang macet dan memberikan perlindungan profesi yang nyata jauh lebih sulit.

Kasus Nur Aini adalah alarm keras bagi pemerintah agar tidak hanya mengejar angka kehadiran di atas kertas, tetapi juga memastikan bahwa mereka yang bertugas mendidik anak bangsa tidak sedang “sekarat” secara finansial dan mental di tengah jalan.

Tanpa empati dalam birokrasi, pendidikan kita hanya akan melahirkan barisan pendidik yang bekerja dalam ketakutan, bukan dalam ketulusan pengabdian.(*)

BACA JUGA: Ini Penyebab Pensiunan ASN Mengeluhkan Kegagalan Otentikasi Bulanan

Back to top button