Solilokui

Jalan Cahaya

Bahasa Indonesia memiliki sebutan yang pas untuk kata iman itu, yakni “percaya”. Berasal dari kata “bercahaya”. Tersirat pengertian bahwa orang beriman itu hatinya harus memancarkan cahaya (pencerahan); bahwa cermin hati yang kotor tak bisa memantulkan nur Ilahi dan tak bisa jadi wahana bercermin diri.

Oleh   :  Yudi Latif

JERNIH– Saudaraku, iman itu ibarat lampu senter yang memberi kita keyakinan untuk mengarungi gelap malam. Namun, sehebat apa pun senter, kemampuannya menuntun kita  meniti jalan benar tergantung daya baterai yang dikandungnya. Baterai itu adalah ilmu pengetahuan.

Yudi Latif

Iman dan ilmu harus dihela dalam satu tarikan nafas, sebagai dua entitas yang tak boleh terpisah. Kitab suci merujuk keduanya sebagai sumber ketinggian kemuliaan manusia. Hanya dengan keterpaduan iman dan ilmu, manusia bisa menempuh kehidupan di jalan cahaya.

Bahasa Indonesia memiliki sebutan yang pas untuk kata iman itu, yakni “percaya”. Berasal dari kata “bercahaya”. Tersirat pengertian bahwa orang beriman itu hatinya harus memancarkan cahaya (pencerahan); bahwa cermin hati yang kotor tak bisa memantulkan nur Ilahi dan tak bisa jadi wahana bercermin diri.

Untuk membersihkan hati yang kotor diperlukan jalan spiritualitas. Dari bahasa Latin, ‘spiritus‘, yang artinya ‘menyala’ (menyalakan cahaya hati) atau ‘bernafas’ (menyegarkan rongga jiwa).

Dalam kosmologi Nusantara, cahaya jiwa itu dinyalakan melalui konektivitas yang dipancarkan ke tiga arah (triadik). Dalam kosmologi Batak Toba dan “I La Galigo” Makassar, relasi triadik itu diarahkan untuk membangun relasi harmonis dengan “Dunia Atas” (Tuhan), “Dunia Tengah” (manusia) dan “Dunia Bawah” (alam).

Dalam kosmologi “Tritangtu” (tiga kepastian) Sunda, relasi triadik itu dikembangkan dalam kerangka “Aji Luhung” (asah keluhuran ketuhanan), “Aji Komara” (asah aura antarmanusia) dan “Aji Wiwaha” (asah perawatan alam semesta).

Dalam kosmologi Hindu, relasi triadik itu bernama “Tri Hita Karana” (tiga penyebab kebahagiaan): keharmonisan hubungan “manusia dengan Tuhannya” (Sanghyang Jagatkarana), “manusia dengan alam sekitar” (bhuana), serta “manusia dengan sesamanya” (manusia).

Dalam kosmologi Islam, relasi triadik ini diarahkan untuk menguatkan ikatan kasih “manusia dengan Allah” (hablun min-Allah), dengan “sesama manusia” (hablun min al-annas), dan dengan “alam semesta” (hablun min al-alam).

Poros tengah yang mempertemukan ketiga relasi itu bernama “manunggaling kawula Gusti“; bersatunya mikrokosmos dan makrokosmos dalam harmoni semesta kasih. [  ]

Back to top button