Keadilan untuk UMKM
Terdapat 64,2 juta unit UMKM di Indonesia. Kontribusinya terhadap perekonomian nasional luar biasa, yakni 60,3 persen dari total produk domestik bruto (PDB) dan menyerap 97 persen dari total tenaga kerja
Oleh : Dewi Tenty Septi Artiany*
JERNIH—Judul di atas terlihat provokatif. Tapi, memang demikianlah faktanya. Sejak krisis ekonomi tahun 1998 dan tahun 2008, UMKM selalu menjadi penyelamat perekonomian Indonesia.
Hal yang berbeda justru terjadi pada krisis ekonomi tahun 2020 yang dipicu oleh pagebluk akibat merebaknya virus SARS-CoV2 penyebab Covid-19, UMKM bukannya menjadi penyelamat, tetap ikut terjerembab dalam krisis. Problemnya, upaya penyelamatan yang dilakukan oleh pemerintah malah jalan ditempat. Maka, diksi keadilan sebagaimana ditegaskan dalam judul tulisan ini menemukan relevansinya.
Data menunjukkan, terdapat 64,2 juta unit UMKM di Indonesia (BPS, 2020). Kontribusinya terhadap perekonomian nasional luar biasa, yakni 60,3 persen dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Selain itu, UMKM menyerap 97 persen dari total tenaga kerja, dan 99 persen total lapangan kerja.
Badai pandemi membuat UMKM layu, karena menurut Kementerian Keuangan, sektor tersebut adalah yang paling terdampak signifikan. Padahal, berkaca dari krisis ekonomi 1998, UMKM adalah sektor usaha yang paling cepat bangkit. Begitu juga dengan krisis keuangan tahun 2008. Kuncinya, tidak lain karena UMKM, meskipun dengan modal yang minim, ternyata tetap mampu menyerap tenaga kerja yang cukup tinggi sehingga dapat membantu meningkatkan pendapatan untuk kebutuhan dasar hidup masyarakat. Inilah yang oleh ekonom Prof. Mubyarto disebut sebagai ekonomi kerakyatan.
Kebalikannya pada saat krisis ekonomi saat ini, sektor UMKM mengalami tekanan akibat tidak dapat melakukan kegiatan usaha sehingga kemampuan untuk memenuhi kewajiban kredit terganggu,. Hal ini menaikkan Non Performing Loan (NPL) perbankan untuk UMKM, yang semakin memperburuk kondisi perekonomian. Belum lagi, pemberian jarak sosial (social distancing) untuk mencegah penyebaran Covid-19, membuat ruang gerak UMKM semakin sempit.
Para pelaku UMKM pun menjadi kelompok masyarakat yang rentan kena imbas dari resesi ekonomi. Dengan berkurangnya daya beli tentu akan mengakibatkan turunnya produksi; ditambah dengan bahan baku yang semakin sulit karena masih banyak produk yang bergantung pada bahan baku import. Di tengah ke khawatiran ini, ada celah bagi para pelaku UMKM supaya tetap berproduksi yaitu dengan jeli memanfaatkan peluang. Ketiadaan stok bahan baku import sebaiknya segera disiasati dengan cerdik, seperti misalnya mengganti bahan baku import sebisa mungkin menggunakan bahan baku lokal seperti kain yang biasa dipakai sebagai bahan baku fashion. Memang lebih murah apabila membeli dari produk luar dibanding lokal, tetapi persoalannya bagaimana caranya agar sebisa mungkin pelaku UMKM membeli produk kain lokal sebagai upaya menggerakkan roda produksi pengrajin kain.
Packaging plastik yang biasa dibeli dari negara lain diganti dengan kertas daur ulang yang dibuat sendiri atau daun pisang sebagai pembungkus makanan. Hal tersebut selain menurunkan biaya produksi juga akan lebih ramah lingkungan.
Ketiadaan dana segar (cash) juga dapat disiasati dengan pola barter antar pelaku UMKM; pola seperti ini sekarang sudah mulai dilakukan agar menjaga mata rantai konsumsi dan produksi tetap berjalan. Untuk korban PHK yang baru saja menganggur, bisa ditawarkan menjadi reseller atau dropshipper dari produk produk UMKM. Kegiatan tersebut memiliki dua manfaat, yaitu menjadi sumber pendapatan bagi pelaku reseller dan dropshipper, juga sebagai tambahan penghasilan serta produksi bagi UMKM. Yang terakhir dan paling penting adalah membangkitkan semangat dan kecintaan masyarakat untuk membeli produk produk lokal UMKM, supaya mereka tetap produktif dan menjaga mata rantai perekonomian agar tetap berputar di masa krisis.
Sebenarnya pemerintah pun tidak tinggal diam. Ada dana sekitar Rp 123, 46 triliun sebagai bagian dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk disalurkan kepada UMKM. Dana itu diharapkan mampu membuat pelaku UMKM bertahan di tengah pandemi Covid-19. Bantuan tersebut antara lain untuk subsidi bunga sebesar Rp 35,28 triliun, restrukturisasi kredit sebesar Rp 78,78 triliun, belanja imbal jasa penjaminan (IJP) sebesar Rp 5 triliun, penjaminan modal kerja Rp 1 triliun, ditanggungnya PPh Final UMKM Rp 2,4 triliun, serta pembiayaan investasi kepada koperasi melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) Kementerian Koperasi dan UKM sebesar Rp 1 triliun. Hanya saja, penyerapan dana tersebut masih kecil, yakni 38,42 persen atau setara Rp 47,44 triliun selama 6 bulan pandemi (Maret-September 2020).
Inilah yang kemudian membuat praksis keadilan menjadi hal sulit untuk UMKM. Di satu sisi, UMKM dituntut bangkit, namun di sisi lain pemerintah seperti setengah hati mengeluarkan UMKM dari krisis. Maka, tak salah bila berkembang ungkapan bahwa UMKM kuat, UMKM naik kelas adalah sekadar jargon di saat krisis, tetapi minim bukti dan hanya menjual mimpi.
Yang diinginkan UMKM adalah kemudahan berusaha, keringanan pajak, dan umpan-umpan kebijakan lain yang sifatnya mendidik untuk menjadi besar, bukan sekadar dana yang sifatnya charitable yang justru meninabobokan karena sifatnya sesaat dan melemahkan.
Dari situlah kemudian arti penting prinsip keadilan, sebagaimana yang selama ini selalu didengungkan. Keadilan (fairness) pada dasarnya menempatkan aspek kesamaan, baik secara umum maupun persamaan kesempatan dan ketimpangan atau ketidaksamaan secara fair. Keadilan pada hakikatnya adalah dengan sukarela tetap dan mantap terus-menerus memberikan kepada setiap orang apa yang memang menjadi bagiannya atau haknya, dan inilah yang belum dinikmati UMKM karena selalu dipandang sebagai anak tiri, berbeda dengan korporasi besar yang selalu dianakemaskan.
Hakikat keadilan sangat dibutuhkan dalam mengatur dan menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan perekonomian sebagai sarana utama kehidupan manusia. R. Soepomo pernah mengusulkan agar dalam lapangan ekonomi digunakan sistem sosialisme negara. Cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak harus berdaya guna demi kesejahteraan bangsa. Oleh karena itu, negara tidak dipandang dari kacamata liberal-individualistis, termasuk dalam pengertian sebagai pribadi-negara yang abstrak berikut perlengkapan negaranya yang berdiri terpisah dari dan berada di atas individu. Dengan demikian, konsep negara Indonesia adalah nasional sosialisme yang bertumpu pada gagasan tentang komunitas politik kebangsaaan.
Dengan demikian, untuk pemerintah, adil terhadap UMKM artinya memberi peluang, kemudahan dan kesempatan untuk menjadi besar bukan sibuk dengan jargon UMKM kuat, atau UMKM naik kelas di saat krisis tetapi di balik semua itu karpet merah tetap berpihak kepada konglomerasi dan menjadikan UMKM sebagai lembaga charity; tetap dikerdilkan dan hanya menjadi penampung CSR.
Untuk masyarakat, bersikap adil memiliki makna dengan menjadikan produk UMKM sahabat baik dalam suasana krisis maupun era normal; bangga dengan produk lokal, memakainya walau sedikit mahal karena apa yang kita keluarkan akan menjadi modal bagi UMKM untuk tetap berproduksi.
Pada akhirnya, UMKM tentu saja tidak akan bisa bertahan sendiri pada krisis global kali ini yang begitu kompleks karena ketidakpastian yang sangat tinggi. Maka diperlukan dukungan semua stakeholder bisnis yaitu pelaku usaha, investor, kreditur, masyarakat dan pemerintah untuk bersama-sama bangkit bersatu bersama melawan pandemi Covid-19 dan efek krisis global yang dibawanya.
UMKM dituntut untuk terus berusaha berkarya lebih kreatif dan inovatif. Misalnya saja dengan memanfaatkan keunggulan dunia digital untuk mencari dan memperkuat pangsa pasar. Selain itu, UMKM mau tidak mau harus mencari sumber permodalan murah dan restrukturisai kredit, serta yang juga tidak kalah pentingnya melalui komunitas sosial membentuk kekuatan ekonomi, seperti yang dilakukan komunitas UMKM Alumni Unpad yang tergabung dalam Perkumpulan Bumi Alumni. Tidak dapat disangkal lagi bahwa jejaring komunitas menjadi suatu oase yang sedikit menyegarkan ditengah pandemi ini. Konsep saling asih, asah, asuh kembali diterapkan, saling support, saling kolaborasi, saling endorse, dan yang terpenting saling membeli dari alumni mejadi geliat tersendiri bagi komunitas ini.
Ke depan, keberadaan komunitas seperti ini dapat menjadi batu-batu pelintas dasar kemandirian UMKM. Sehingga kalimat UMKM kuat, UMKM naik kelas, UMKM mendunia tidak hanya sekedar jargon yang dipekikkan di saat sulit. Selain itu keadilan bagi UMKM menjadi suatu keniscayaan dalam laju perekonomian nasional. [ ]
Dr. Dewi Tenty Septi Artiany, SH, MH, M.Kn adalah doktor ilmu hukum, alumnus Universitas Padjadjaran Bandung, seorang notaris, pegiat koperasi dan UMKM