Kisah Ibrahim bin Adham dan Cermin di Lubang Kubur
“Kuduga engkau membeli kemelaratanmu dengan gratis,” komentar Ibrahim melihat hal itu. “Wah,” si pengemis takjub. “Apakah kemelaratan bisa dibeli?”
JERNIH— Abu Ishaq Ibrahim bin Adham lahir di Balkh dari keluarga bangsawan. Ibrahim adalah penerus keluarga tersebut, dan sempat mengenyam kekuasaan dan aneka kenikmatan dunia, sebelum kemudian ia bertobat dengan pertobatan yang total. Ibrajim kemudian memasuki dunia tasawuf dan menjadi seorang sufi terkemuka.
Banyak cerita tentang dan dari Ibrahim bin Adham. Beberapa di antaranya kami tulis ulang di bawah ini.
Suatu hari ada yang bertanya kepada Ibrahim bin Adham,” Apa yang terjadi kepadamu sehingga engkau meninggalkan kerajaanmu?”
“Suatu hari aku duduk di singgasanaku,” jawab Ibrahim. “Ada cermin yang didirikan di hadapanku; aku menatap cermin itu dan melihat bahwa aku tinggal di dalam makam, tanpa seorang pun yang aku kenal. Aku melihat perjalanan panjang di hadapanku, dan aku tak sedikit pun memiliki perbekalan. Aku melihat hakim yang adil, tetapi aku tak memiliki hujjah dan pembelaan. Aku mulai muak dengan statusku sebagai raja.”
“Mengapa engkau melarikan diri dari Khurasan?” tanya mereka.
“Di sana banyak kudengar tentang sosok sahabat sejati,” jawab Ibrahim.
“Mengapa engkau tak emngambil seorang istri?”tanya mereka.
“Apakah ada perempuan yang mau menerima suami yang terus membuatnya lapar dan telanjang?”
“Tidak,” jawab mereka.
“Itulah sebabnya aku tidak menikah,” kata Ibrahim. “Perempuan yang kunikahi akan terus lapar dan telanjang tanpa pakaian. Seandainya bisa, aku akan menceraikan diriku sendiri. Bagaimana mungkin aku membebani orang lain?”
Ibrahim berpaling kepada seorang pengemis yang ada saat itu, dan bertanya,” Apakah Engkau memiliki istri?”
“Tidak,” jawab pengemis.
“Punya anak?”
“Tidak,” kembali dijawab pengemis.
“Bagus…bagus,” kata Ibrahim.
“Mengapa engkau menanyakannya?”tanya pengemis.
“Pengemis yang menikah menaiki sebuah kapal. Ketika lahir anak, ia tenggelam.”
***
Suatu hari Ibrahim melihat seorang pengemis meratapi nasibnya.
“Kuduga engkau membeli kemelaratanmu dengan gratis,” komentar Ibrahim melihat hal itu.
“Wah,” si pengemis takjub. “Apakah kemelaratan bisa dibeli?”
“Tentu saja,” jawab Ibrahim. “Aku membelinya dengan kerajaan Balkh, dan aku dapat potongan harga.”
***
Di dalam kitab “Hilyat al-Auliya” karya Abu Nu’aim, Said bin Harb bercerita, “Suatu ketika, Ibrahim bin Adham tiba di Makkah dan bertamu kepada Ali Abdul Aziz bin Abi Rawad. Syekh Ibrahim membawa kantong yang terbuat dari kulit Biyawak. Kantong itu ia gantungkan di sebuah gantungan. Lalu ia pergi untuk thawaf.”
Pada saat bersamaan, Sufyan al-Tsauri, salah satu ulama perawi hadis juga sedang bertamu ke rumah Abdul Aziz. Syekh Sufyan melihat kantong milik Ibrahim bin Adham dengan pandangan heran. Ia bertanya kepada Abdul Aziz, “Kantong ini milik siapa?”
“Kantong itu milik salah satu sahabatmu. Ibrahim bin Adham, Syekh.”
Syekh Sufyan mendekati kantong lalu memegangnya. Ia penasaran dengan isinya. Ia terus melihat kantong itu dengan seksama lalu berkata, “Agaknya dalam kantong ini ada buah-buahan yang dibawa Ibrahim dari Syiria.” pikirnya.
Syekh Sufyan bertambah penasaran dengan isi kantong itu. Dia pun menurunkan kantong dan membukanya. Ketika dibuka, dia kaget dan heran. Bagaimana tidak? Kantong yang dikiranya berisi buah-buahan itu ternyata isinya hanya tanah.
Ya. Tanah. Entah untuk apa tanah itu. Maka Syekh Sufyan pun buru-buru menutup kantong lalu menggantungkannya lagi di tempat semula.
Ketika Ibrahim bin Adham selesai thawaf dan kembali ke penginapan, Abdul Aziz menceritakan perbuatan Sufyan kepada Ibrahim. “Tadi temanmu, Syekh Sufyan ke sini. Dia penasaran pada isi kantongmu. Dia mengintip apa isi di dalamnya. Dia melihat isinya hanya tanah. Apa benar demikian, Syekh?”
Ibrahim bin Adham menjawab, “Begitulah adanya.”
“Untuk apa, Syekh?” Abdul Aziz ikut penasaran.
“Itu adalah makananku sejak sebulan lalu.” Jawab Ibrahim. Abdul Aziz pun diam tak lagi bertanya.
Di dalam riwayat lain, Abu Muawiyah al-Aswad bercerita, “Aku pernah melihat Ibrahim bin Adham memakan tanah selama 20 hari. Setelah itu, Ibrahim berkata kepadaku: “Wahai Muawiyah, seandainya aku tidak takut jiwaku diketahui orang-orang, tentu aku hanya akan makan tanah sampai tutup usia ketika aku menemui Allah. Sehingga rezeki halal bagiku benar-benar bersih. Dari mana pun asalnya.”
Ibrahim bin Adham makan tanah bukan berarti dia tak mampu mencari makanan lain yang lebih lezat. Dia tokoh yang ternama di zamannya. Dia bisa mendapatkan makanan yang lezat. Tapi mengapa Ibrahim sampai makan tanah?
Di dalam kitab Hilyat al-Auliya disebutkan alasannya. Dia berbuat seperti itu semata-mata agar apa yang dimakannya benar-benar dari sesuatu yang halal. Sebab dalam ajaran Islam, setiap makanan yang mengandung unsur haram kelak bisa menyalakan api di dalam neraka. Api itu akan membakar orang yang makan barang haram.
***
Selepas menunaikan ibadah haji, Ibrahim ingin melanjutkan perjalanannya ke Masjid al-Aqsha. Ketika di sebuah perjalanan ke Yerussalem, ia mampir ke pasar dekat Masjidil Haram untuk membeli kurma pada seorang pedagang tua untuk bekal di perjalanan.
Kurma yang selesai ditimbang lalu dimasukkan di keranjang Ibrahim. Setelah dirasa semua kurma sudah masuk di keranjang, Ibrahim melihat satu kurma tercecer persis di bawah timbangan. Ia mengira satu biji itu bagian dari kurma yang ia beli. Segera ia pungut dan memakannya. Setelah melahap ia berangkat menuju Masjid al Aqsha.
Selang empat bulan kemudian, Ibrahim bin Adham tiba di Masjid Al Aqsha. Ia memilih ruangan di bawah Kubah Sakhra sebagai tempat favorit beribadah. Ia salat, mendaras Alquran, bermunajat dengan khusyuk. Di sela-sela ketika ia beribadah, telinganya menangkap suara dua malaikat bercakap tentang dirinya.
“Itu dia Ibrahim bin Adham, seorang ahli ibadah, zuhud, dan wara yang doanya selalu dikabulkan oleh Allah Swt,” ujar satu malaikat.
“Tetapi sekarang tidak. Doanya tertolak. Sebab empat bulan yang lalu ia memakan sebutir kurma di meja seorang pedagang tua yang bukan haknya,” jawab malaikat yang lain.
Mendengar bisikan itu, seketika Ibrahim terkejut dan terhenyak. Ia teringat empat bulan yang lalu sebelum berangkat menuju Yerussalem, ia mampir membeli sekilo kurma di pasar dekat Masjidil Haram.
Merasa ada yang janggal di hati dan pikirannya, ia bangkit mengemasi barang-barangnya dan pergi kembali ke Mekah untuk mencari pedagang kurma dan meminta keikhlasan sebutir kurma.
Sesampainya di Mekah, di tempat pedagang tua berjualan dulu, yang ditemui bukanlah orang tua yang dulu berjualan, melainkan seorang pemuda belia. Ibrahim yang sedang mengalami kemelut di hati itu pun bertanya.
“Empat bulan yang lalu saya membeli kurma di sini kepada seorang pedagang tua. Sekarang di mana dia?”
“Itu Bapak saya, Syeikh. Dia meninggal sebulan yang lalu,”kata pemuda tersebut.
“Innalillahi Wainna ilaihi rooji’uun, saya turut berduka cita atas kematian Bapakmu wahai pemuda. Kalau begitu kepada siapa saya bisa meminta penghalalan?”
Ibrahim kemudian menceritakan detail peristiwa yang dialaminya. Sedang anak muda mendengarkan dengan seksama.
“Nah, begitulah. Engkau sebagai ahli waris orangtua itu, maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik ayahmu yang terlanjur kumakan tanpa izinnya?” kata Ibrahim bin Adham setelah bercerita.
“Bagi saya tidak masalah. Saya halalkan. Tapi saya masih memiliki saudara yang jumlahnya 11 orang yang mempunyai hak waris sama dengan saya,”ujar pemuda itu.
Ibrahim yang berkeras mendapatkan rido atas sebutir kurma tersebut, meminta alamat masing-masing saudaranya.
“Di mana alamat-alamat saudaramu, biar saya temui mereka satu persatu?”kata Ibrahim.
Setelah menerima alamat, Ibrahim bin Adham kemudian pergi menemui mereka. Masing-masing didatangi, mengetuk pintu, dan ditemui tepat di depan rumah. Setelah seluruh keluarga itu telah menghalalkan sebutir kurma, Ibrahim pun lega. Dirasa semua permasalahan telah terselesaikan, Ibrahim kembali ke Masjid al Aqsha.
Ia kembali menempuh empat bulan perjalanan ke Masjid Al-Aqsha. Sesampainya di sana, seperti biasa, ia memilih Kubah Sakhra sebagai tempat beribadah. Ia kembali bertakarub kepada Allah, dengan ritual salat, zikir, dan munajat.
Tidak menunggu lama, di sela-sela ia berdoa, tetiba Ibrahim mendengar dua malaikat yang dulu sedang berdebat.
“Itulah Ibrahim bin Adham yang doanya tertolak gara-gara makan sebutir kurma milik orang lain,” kata seorang malaikat.
“Oh tidak, sekarang doanya sudah kembali makbul. Ia telah mendapat penghalalan dari ahli waris pemilik kurma itu. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari kotoran sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang ia sudah bebas,”kata malaikat yang satunya lagi. [dsy]
Dari “Tadzkiratul Auliya”, Fariduddin Aththar, Penerbit Zaman, 2018