SolilokuiVeritas

Korupsi Pada Bangsa yang Dangkal dan Elit Durhaka

Bangsa yang dangkal adalah bangsa yang tidak mampu menempatkan korupsi dalam perspektif yang luas. Ketika wacana hanya berkutat pada pembuktian teknis, bangsa ini gagal melihat bahwa korupsi adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai dasar seperti keadilan, integritas, dan kepercayaan. Lebih buruk lagi, respons dangkal ini menciptakan ruang bagi korupsi untuk terus hidup.

Oleh : Radhar Tribaskoro*

JERNIH– Wacana tentang korupsi di Indonesia telah mencapai titik yang begitu memprihatinkan, tidak hanya karena tingginya frekuensi kasus yang mencuat, tetapi juga karena cara isu ini diperlakukan dalam percakapan publik. Ketika seorang pejabat dituduh terlibat korupsi, respons yang paling sering muncul adalah, “Silakan buktikan.”

Kalimat ini mungkin terdengar sederhana, tetapi menyimpan ironi yang dalam. Alih-alih menegaskan keinginan untuk transparansi, ucapan tersebut sering kali menjadi perisai untuk menghindari akuntabilitas. Wacana yang seharusnya menjadi ruang refleksi kolektif justru berubah menjadi ajang saling tuduh tanpa arah yang jelas. Dalam diamnya aparat dan kebingungan masyarakat, korupsi terus merajalela, sementara narasi publik yang ada tak mampu mencerahkan.

Ada sesuatu yang keliru dalam cara kita memahami dan merespons isu ini. Ketika seorang pejabat menggunakan kata-kata seperti “Silakan buktikan,” ia sedang memindahkan beban diskusi ke ranah legalistik, seolah-olah pengadilan adalah satu-satunya tempat untuk mencari kebenaran. Padahal, ada perbedaan mendasar antara akuntabilitas moral dan pembuktian hukum. Seorang pejabat publik, bahkan sebelum diputuskan bersalah di pengadilan, memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Namun, di tengah sistem hukum yang penuh kekurangan, respons seperti itu menjadi semacam pernyataan defensif yang sulit disentuh.

Di sisi lain, masyarakat sering kali menjadi korban dari permainan narasi ini. Tuduhan korupsi yang muncul biasanya disambut dengan emosi yang tinggi, tetapi jarang dengan analisis yang mendalam. Sementara itu, media, alih-alih berfungsi sebagai pemberi informasi yang akurat, sering kali justru memperkeruh suasana dengan sensasionalisme. Hasilnya adalah masyarakat yang terbelah, antara mereka yang dengan mudah mempercayai tuduhan tanpa berpikir kritis, dan mereka yang terlalu sinis untuk percaya bahwa keadilan bisa tercapai. Ruang publik, yang seharusnya menjadi tempat diskusi rasional, justru kehilangan fungsi dasarnya.

Dalam situasi ini, diamnya aparat penegak hukum menjadi elemen yang semakin memperburuk keadaan. Ketika tuduhan korupsi tidak direspon dengan cepat dan tegas, masyarakat semakin kehilangan kepercayaan terhadap institusi yang seharusnya melindungi mereka. Ketidakpercayaan ini memunculkan lingkaran setan: masyarakat merasa tidak ada gunanya melaporkan kasus korupsi, sementara aparat merasa tidak ada tekanan yang cukup untuk bertindak. Di sisi lain, ada pula kecurigaan bahwa aparat tidak benar-benar bebas dari intervensi politik atau kepentingan pribadi, sehingga mereka memilih untuk diam daripada bertindak melawan arus kekuasaan.

Fenomena ini membawa kita pada pertanyaan yang lebih besar: mengapa wacana korupsi di Indonesia begitu sulit untuk berkembang secara sehat? Secara filosofis, situasi ini menunjukkan kegagalan kita sebagai masyarakat dalam membangun apa yang disebut oleh Immanuel Kant sebagai “publik yang tercerahkan.” Dalam sebuah masyarakat yang tercerahkan, individu-individu tidak hanya mampu berpikir kritis, tetapi juga berani berdialog secara terbuka untuk mencari kebenaran. Sayangnya, di Indonesia, dialog semacam itu sulit terjadi. Setiap tuduhan korupsi hampir selalu dipolitisasi, menjadi alat untuk menjatuhkan lawan atau mempertahankan kekuasaan. Akibatnya, yang muncul bukanlah pencarian kebenaran, melainkan polarisasi yang semakin mendalam.

Lebih dari itu, ada persoalan moral yang jarang dibahas dalam wacana ini. Korupsi sering kali dipandang semata-mata sebagai pelanggaran hukum, tanpa memperhatikan aspek moral yang lebih luas. Padahal, korupsi adalah tindakan yang merusak kepercayaan publik, menghancurkan keadilan sosial, dan memperparah ketimpangan ekonomi. Ketika seorang pejabat publik korup, ia tidak hanya mencuri uang negara, tetapi juga mencuri kesempatan masyarakat untuk hidup lebih baik. Namun, dalam diskursus yang ada, aspek moral ini sering kali tenggelam dalam hiruk-pikuk pembuktian teknis dan perang narasi.

Dalam konteks ini, respons “Silakan buktikan” menjadi simbol dari kegagalan kolektif kita dalam memahami hakikat korupsi. Respons semacam itu tidak hanya menunjukkan kurangnya rasa tanggung jawab dari individu yang dituduh, tetapi juga mencerminkan lemahnya sistem yang memungkinkan hal tersebut terjadi. Jika pejabat publik dapat dengan mudah menghindar dari tuduhan dengan pernyataan seperti itu, dan jika aparat penegak hukum tetap diam, maka masyarakat pada akhirnya akan kehilangan harapan. Yang lebih mengkhawatirkan, apati ini bisa berubah menjadi normalisasi, di mana korupsi dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dan tak terhindarkan.

Namun, apakah situasi ini benar-benar tak dapat diubah? Tentu tidak. Kuncinya terletak pada bagaimana kita membangun kembali wacana tentang korupsi. Kita perlu keluar dari jebakan diskursus yang dangkal dan mulai mengedepankan dialog yang lebih substantif. Masyarakat harus didorong untuk berpikir kritis, tidak hanya menerima atau menolak tuduhan secara mentah-mentah, tetapi juga mempertanyakan konteks dan implikasinya. Media harus mengambil peran sebagai mediator yang obyektif, menyediakan informasi yang mendalam dan berbasis data, bukan hanya mengejar sensasi.

Selain itu, aparat penegak hukum harus menjalankan tugasnya dengan transparan dan independen. Dalam hal ini, reformasi institusi menjadi sangat penting. Aparat harus dibekali dengan sumber daya dan kebebasan yang cukup untuk menangani kasus korupsi tanpa takut akan tekanan politik. Di sisi lain, para pejabat publik harus diajarkan untuk memahami bahwa akuntabilitas moral adalah bagian tak terpisahkan dari tugas mereka. Mereka tidak bisa berlindung di balik retorika legalistik ketika kepercayaan masyarakat dipertaruhkan.

Pada akhirnya, wacana tentang korupsi bukan hanya soal siapa yang salah dan siapa yang benar, tetapi soal bagaimana kita sebagai masyarakat memahami nilai-nilai dasar keadilan dan kebenaran. Jika wacana ini terus berada dalam keadaan tidak sehat, maka kita tidak hanya gagal dalam memberantas korupsi, tetapi juga dalam membangun demokrasi yang sejati. Dengan memperbaiki cara kita berbicara tentang korupsi, kita sebenarnya sedang membangun fondasi bagi masyarakat yang lebih adil, lebih transparan, dan lebih tercerahkan. Itu adalah perjuangan yang tidak mudah, tetapi sangat mungkin untuk dicapai.

Bangsa yang Dangkal

Korupsi, lebih dari sekadar tindakan kriminal, adalah cerminan dari kondisi moral dan intelektual suatu bangsa. Di Indonesia, wacana tentang korupsi telah kehilangan kedalaman yang diperlukan untuk menjadi bahan refleksi kolektif. Tuduhan-tuduhan besar yang seharusnya mendorong diskusi bermakna justru berujung pada respons-respons hampa seperti “Silakan buktikan.” Di sisi lain, masyarakat hanya menjadi penonton dalam drama penuh intrik, sementara aparat penegak hukum tetap diam. Situasi ini, jika dibiarkan, menunjukkan bahwa bangsa ini tengah menghadapi masalah yang lebih mendasar: kedangkalan berpikir yang menjangkiti semua lapisan.

Tiadanya wacana yang bermakna dalam isu korupsi adalah gejala dari bangsa yang sedang sakit. Sebuah masyarakat yang sehat akan menjadikan korupsi sebagai isu sentral untuk mengkaji ulang nilai-nilai bersama. Tetapi apa yang terjadi di Indonesia adalah kebalikannya. Tuduhan korupsi tidak memicu percakapan yang kritis, melainkan mengarah pada sikap defensif, serangan balik, dan polarisasi. Di ruang publik, diskusi tentang korupsi sering kali disederhanakan menjadi perang opini yang kosong, tanpa substansi. Di tingkat pejabat, sikap acuh yang tersembunyi di balik retorika hukum hanya mempertegas keterputusan antara mereka yang berkuasa dan mereka yang dipimpin.

Ketika pejabat publik menyatakan, “Silakan buktikan,” mereka tidak hanya menghindari tanggung jawab, tetapi juga memperkuat budaya diam yang sudah lama mengakar. Ini adalah refleksi dari bangsa yang dangkal, di mana masalah besar seperti korupsi hanya diperlakukan secara teknis tanpa menyentuh moralitas yang lebih mendalam. Dalam konteks ini, “kedangkalan” bukan hanya tentang kurangnya wawasan, tetapi tentang kegagalan kolektif untuk memahami bahwa korupsi adalah gejala dari ketidakadilan sistemik yang jauh lebih besar.

Bangsa yang dangkal adalah bangsa yang tidak mampu menempatkan korupsi dalam perspektif yang luas. Ketika wacana hanya berkutat pada pembuktian teknis, bangsa ini gagal melihat bahwa korupsi adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai dasar seperti keadilan, integritas, dan kepercayaan. Lebih buruk lagi, respons dangkal ini menciptakan ruang bagi korupsi untuk terus hidup. Jika masyarakat hanya pasrah menunggu hasil proses hukum yang lambat dan penuh ketidakpastian, dan jika aparat penegak hukum hanya bertindak jika ada tekanan, maka korupsi tidak akan pernah benar-benar diberantas.

Diamnya aparat penegak hukum adalah babak lain dalam kisah kedangkalan ini. Ketika institusi yang seharusnya menjadi benteng keadilan memilih untuk tidak bertindak, mereka secara tidak langsung menjadi bagian dari sistem yang membiarkan korupsi tumbuh subur. Ini bukan hanya soal ketidakmampuan, tetapi juga soal kehilangan visi moral. Dalam konteks ini, institusi penegak hukum tidak hanya gagal menjalankan tugas mereka, tetapi juga berkontribusi pada kerusakan yang lebih besar: hilangnya kepercayaan publik terhadap hukum.

Sementara itu, masyarakat juga berada dalam pusaran kedangkalan yang sama. Narasi tentang korupsi sering kali ditanggapi secara emosional, tanpa usaha untuk memahami akar masalahnya. Sensasionalisme media hanya memperparah situasi ini, menjadikan masyarakat semakin terpecah antara mereka yang percaya sepenuhnya pada tuduhan tanpa bukti yang jelas dan mereka yang sinis terhadap semua bentuk tuduhan. Dalam atmosfer seperti ini, ruang publik kehilangan fungsinya sebagai tempat untuk membangun kesadaran bersama. Sebaliknya, ruang publik menjadi medan perang opini yang tidak membawa kita mendekati solusi.

Bangsa yang dangkal adalah bangsa yang tidak mampu menggunakan masalah besar seperti korupsi untuk belajar dan tumbuh. Di negara-negara yang lebih matang secara intelektual, tuduhan korupsi sering menjadi pemicu reformasi besar-besaran, baik dalam sistem hukum, budaya politik, maupun dalam kesadaran masyarakat. Namun, di Indonesia, setiap skandal korupsi hanya menjadi episode lain dalam siklus yang terus berulang, tanpa akhir yang jelas. Tidak ada refleksi mendalam, tidak ada keinginan untuk berubah, hanya sikap pasrah dan apati.

Dalam konteks ini, filosofi demokrasi yang mendasari pemerintahan modern menjadi tidak relevan. Demokrasi seharusnya menjadi alat untuk mendorong pencerahan, di mana setiap individu dan institusi bertanggung jawab untuk mencari kebenaran dan keadilan. Namun, demokrasi dalam masyarakat yang dangkal hanya menjadi arena bagi para elit untuk mempertahankan kekuasaan mereka, sementara masyarakat dibiarkan dalam kebingungan. Korupsi, yang seharusnya menjadi isu utama dalam demokrasi, hanya menjadi bahan obrolan tanpa makna.

Kedangkalan ini tidak hanya merusak wacana publik, tetapi juga memiliki dampak yang nyata terhadap kehidupan masyarakat. Ketika korupsi dibiarkan tanpa pengawasan yang serius, dampaknya adalah hilangnya kepercayaan pada institusi, meningkatnya ketimpangan sosial, dan melemahnya moral kolektif. Lebih dari itu, korupsi yang tidak pernah benar-benar dibahas secara substansial menciptakan generasi yang apatis, yang melihat korupsi sebagai sesuatu yang normal dan tak terhindarkan. Ini adalah kehilangan terbesar bagi sebuah bangsa: kehilangan harapan untuk perubahan.

Namun, harapan masih ada jika kita berani keluar dari lingkaran kedangkalan ini. Bangsa yang dangkal bisa menjadi bangsa yang tercerahkan jika kita mulai memandang korupsi bukan hanya sebagai masalah hukum, tetapi sebagai tantangan moral dan intelektual. Kita membutuhkan diskursus yang lebih dalam, yang melibatkan semua lapisan masyarakat, dari akademisi hingga masyarakat biasa. Kita juga membutuhkan institusi yang berani bertindak, yang tidak hanya diam ketika keadilan dipertaruhkan.

Korupsi adalah cermin dari siapa kita sebagai bangsa. Jika kita hanya meresponsnya dengan sikap dangkal, maka kita telah gagal sebagai masyarakat. Tetapi jika kita mampu menjadikannya sebagai momentum untuk belajar, bertindak, dan berubah, maka kita bisa keluar dari keterpurukan ini. Bangsa yang dangkal tidak perlu selamanya dangkal. Dengan refleksi yang mendalam dan tindakan yang nyata, kita masih memiliki kesempatan untuk membangun bangsa yang adil, berintegritas, dan bermartabat.

Tanggungjawab Elit Bangsa

Kedangkalan bangsa ini tidak dapat dilepaskan dari peran para elit yang sibuk mempertahankan jabatan dan mengumpulkan uang, sementara kewajiban mereka kepada publik terabaikan. Korupsi di Indonesia bukan hanya soal individu yang tergoda oleh kekuasaan, tetapi merupakan gambaran sistemik dari kegagalan kolektif elit politik untuk menjalankan amanah yang seharusnya mereka emban. Dalam hiruk-pikuk kekuasaan, mereka yang diberi kepercayaan untuk memimpin justru menggunakan posisi mereka untuk keuntungan pribadi, mengorbankan kepentingan rakyat banyak.

Para elit ini telah menciptakan sebuah ekosistem politik yang tidak hanya korup secara finansial, tetapi juga dangkal secara moral dan intelektual. Obsesi terhadap kekuasaan telah membuat mereka melupakan tugas utama mereka: melayani publik. Jabatan publik tidak lagi dipandang sebagai alat untuk membawa perubahan, melainkan sebagai komoditas yang harus dijaga dengan segala cara, termasuk dengan menyalahgunakan sumber daya negara. Ketika fokus mereka hanya pada cara untuk tetap berkuasa, nilai-nilai keadilan, integritas, dan tanggung jawab sosial menjadi sekadar jargon kosong yang dipakai untuk mempertahankan citra di mata masyarakat.

Sikap elit ini menciptakan jarak yang semakin lebar antara mereka dan rakyat. Ketika tuduhan korupsi muncul, respons yang diberikan sering kali hanyalah defensif: “Silakan buktikan.” Ungkapan ini adalah perwujudan nyata dari kedangkalan. Ia tidak mencerminkan keinginan untuk menjawab tuntutan publik atau menyelesaikannya masalah, melainkan sebuah strategi untuk mengulur waktu, menunggu isu reda, atau mencari celah untuk melepaskan diri. Dalam narasi ini, tanggung jawab kepada publik bukanlah prioritas. Yang penting adalah mempertahankan kedudukan, bahkan jika itu berarti membiarkan wacana publik tenggelam dalam kebingungan dan kekecewaan.

Elit yang terjebak dalam pola pikir sempit ini adalah cerminan dari penyakit kronis bangsa: ketergantungan pada kekuasaan sebagai sumber utama keberhasilan pribadi. Dalam sistem seperti ini, nilai-nilai luhur demokrasi hanya menjadi formalitas. Partisipasi publik tidak dihargai, karena mereka yang berkuasa lebih sibuk menjaga posisinya dari ancaman internal maupun eksternal. Bahkan, isu sebesar korupsi, yang seharusnya menjadi perhatian utama dalam tata kelola negara, hanya dijadikan alat untuk menyerang lawan atau memperkuat dominasi.

Kondisi ini menjadikan bangsa ini semakin terpuruk. Ketika para pemimpin tidak menjalankan tanggung jawabnya, masyarakat dibiarkan menghadapi dampak nyata dari korupsi: layanan publik yang buruk, ketimpangan sosial yang semakin tajam, dan hilangnya kepercayaan terhadap institusi. Di saat yang sama, masyarakat juga terjebak dalam apati. Mereka lelah dengan janji-janji kosong dan sandiwara politik yang tidak pernah membawa perubahan nyata. Akibatnya, korupsi dianggap sebagai sesuatu yang normal, bagian dari kehidupan sehari-hari yang tidak bisa dihindari.

Kedangkalan ini juga mencerminkan kegagalan bangsa dalam memaknai konsep kepemimpinan. Dalam filsafat politik, pemimpin sejati adalah mereka yang mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Namun, di Indonesia, jabatan sering kali dilihat sebagai kesempatan untuk mengamankan kekayaan dan memperluas jaringan kekuasaan. Ketika pemimpin melupakan tanggung jawab moralnya kepada publik, maka mereka tidak hanya mengkhianati rakyat, tetapi juga merusak fondasi demokrasi itu sendiri.

Dalam kondisi seperti ini, aparat penegak hukum sering kali tidak berdaya. Diamnya aparat bukan hanya soal ketidakmampuan, tetapi juga soal bagaimana mereka sendiri terjebak dalam sistem yang sama. Ketergantungan institusi penegak hukum pada elit politik membuat mereka kehilangan keberanian untuk bertindak tegas. Ketika hukum tunduk pada kekuasaan, korupsi menjadi sulit diberantas, dan wacana tentang pemberantasan korupsi hanya menjadi basa-basi yang tidak pernah menghasilkan perubahan.

Siklus ini terus berulang, menciptakan bangsa yang semakin jauh dari cita-cita keadilan dan kesejahteraan. Para elit yang semestinya menjadi teladan justru menjadi bagian dari masalah, sementara masyarakat hanya bisa menyaksikan tanpa daya. Dalam ruang publik yang dipenuhi dengan narasi kosong dan perang opini, tidak ada upaya nyata untuk mencari solusi. Diskursus tentang korupsi berhenti pada tataran permukaan, tanpa menyentuh akar masalah yang sebenarnya.

Namun, harapan tidak sepenuhnya hilang. Untuk keluar dari kedangkalan ini, bangsa ini perlu memulai dengan menuntut lebih banyak dari para pemimpinnya. Para elit harus diingatkan bahwa jabatanN yang mereka pegang bukanlah hak istimewa, tetapi tanggung jawab besar. Mereka harus dipaksa untuk memahami bahwa kekuasaan yang tidak digunakan untuk melayani publik adalah pengkhianatan terhadap mandat yang diberikan oleh rakyat.

Selain itu, masyarakat juga perlu mengubah cara pandangnya terhadap korupsi. Apati harus digantikan dengan kesadaran kritis, di mana setiap individu merasa memiliki tanggung jawab untuk ikut memerangi korupsi, baik melalui partisipasi politik, pengawasan publik, maupun melalui tekanan kepada para pemimpin. Media, akademisi, dan kelompok masyarakat sipil harus bersatu untuk membangun wacana yang lebih bermakna, yang tidak hanya mengekspos kasus-kasus korupsi, tetapi juga menawarkan solusi konkret.

Pada akhirnya, korupsi adalah ujian terbesar bagi bangsa ini. Ia menguji kemampuan kita untuk bersikap jujur terhadap diri sendiri, untuk mengenali kelemahan, dan untuk bekerja bersama dalam membangun sistem yang lebih adil. Bangsa yang dangkal akan membiarkan korupsi terus merajalela, tetapi bangsa yang berani akan menghadapinya dengan refleksi mendalam dan tindakan nyata. Pertanyaannya adalah: di mana kita berdiri? Apakah kita akan terus terjebak dalam kedangkalan, atau kita akan bangkit untuk menjadi bangsa yang bermartabat? Jawaban atas pertanyaan ini tidak hanya ada pada para elit, tetapi pada kita semua. []
Cimahi, 16 Januari 2025

  • Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI)

Check Also
Close
Back to top button