Korupsi, Sampar dan Zaman Edan
Pada saat seperti ini, sejarah harus kita kejutkan. Jangan rela manakala zaman mengelu-elukan penjahat, manakala pencoleng justru dihormat dan mendapat tabik. Karena harga seorang koruptor adalah hartanya, sitalah harta yang menjadi martabatnya itu. Miskinkan mereka, sebagaimana mereka dengan rakus dan keji merampas bagian rakyat.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH– Bila sastrawan penerima Nobel, Albert Camus, tinggal di Indonesia, barangkali ia akan menyamakan korupsi di sini laiknya wabah sampar.
Sebagaimana wabah sampar, korupsi meruyak ke setiap sudut, meresap dalam makanan yang kita makan, larut bersama udara yang kita hisap, hidup dalam setiap obrolan di warung kopi hingga cafe-cafe. Kata ‘korupsi’ telah menjadi sangat biasa, menandai satu kejahatan banal yang tokohnya masih saja kadang menjadi impian. Kita justru kesulitan untuk menunjuk siapa yang bukan koruptor, karena di koran kita baca pejabat bank sentral melakukannya, anggota DPR melakukannya, pengusaha melakukannya, polisi, jaksa, hakim,jendral-jendral, para menteri, hingga camat dan lurah di pelosok.
Barangkali inilah zaman yang digambarkan pujangga Ronggowarsito sebagai zaman edan, saat manusia yang ‘ora edan ora keduman’—jika tak ikut gila, maka tak akan kebagian. Era saat para koruptor tak pernah hilang pamor bahkan justru dipuji layaknya dermawan yang rajin berbagi; zaman manakala pencuri malahan dengan takzim dihormati. Inilah zaman ketika keserakahan bahkan menjadi ukuran kesuksesan.
Pada saat seperti ini, sejarah harus kita kejutkan. Jangan rela manakala zaman mengelu-elukan penjahat, manakala pencoleng justru dihormat dan mendapat tabik. Karena harga seorang koruptor adalah hartanya, sitalah harta yang menjadi martabatnya itu. Miskinkan mereka, sebagaimana mereka dengan rakus dan keji merampas bagian rakyat.
Mungkin bila hal itu diberlakukan, orang tak akan mengingat nasihat Gordon Gecko dalam film “Wall Street”, yang berkata rakus itu bagus, dan serakah menjadi berkah. Mungkin orang akan kembali mengingat pepatah lama,” Gula plures interemit quam gladius’, rakus itu lebih menghancurkan diri dibanding tikaman sebatang pedang.
Pada saat ini, sebagaimana novel Camus, ‘Sampar’ tadi, kita bisa menjadikan diri kita laiknya tokoh Tarou yang hanya mengangkat tangan dan berkata,”Kita semua memang berada di tempat sampar ini”. Atau justru berlaku setegar Dr Rieux, yang berani menantang semua yang nyaris membudaya dan berkata,”Hanya orang gila, buta atau pengecut yang menyerahkan diri pada penyakit sampar ini.”
Yang pasti kita tahu, semua pilihan itu terpulang kepada kita kembali. Sebab agama pun mengajarkan, pada hari pengadilan nanti, kita datang sendirian, ditanya sendirian, mempertanggungjawabkan semua sendirian. Kita lahir sendiri, mati dengan meninggalkan nama pribadi, serta menjawab Sang Penguasa Hari Perhitungan secara nafsi nafsi. [dsy]