SolilokuiVeritas

Kuil Yasukuni dan Militerisme Jepang

Dalam lingkungan kuil, ada Museum Yushukan, yang memamerkan koleksi dan narasi sejarah perang dari perspektif militer Jepang. Tidak ada kisah atau diorama tentang penyiksaan, perbudakan seksual (jugun ianfu), kerja paksa (romusha), dan pembantaian massal Nanking yang dipraktikkan militer Jepang di Asia. Hal ini semakin membuktikan bahwa penjajahan merupakan praktik penindasan penuh tipu daya dan kekerasan.

Oleh : Linda Christanty*

JERNIH– Dalam film “The Last Samurai” dikisahkan negeri Jepang terbentuk dari tetesan pedang katana. Pedang adalah jiwa suci bangsa dan negara Jepang, yang melandasi semangat bushido para samurai, mengingatkan kepada leluhur saya, para pendiri Demak dan Banten. Pedang dan keris pun bukan sekadar senjata bagi para leluhur, tetapi lambang marwah dan kehormatan yang nilai-nilainya diwariskan sampai hari ini.

Nilai-nilai yang ditanamkan itu pula menuntun saya turun dari kereta di stasiun Kudanshita, Tokyo, lalu berjalan kaki selama lima menit ke Kuil Yasukuni, yang dulu didirikan untuk menghormati arwah para pejuang. Tampak pohon-pohon sakura, cemara, dan pinus berjajar di kiri kanan jalan masuk yang lebar. Namun, di pertengahan April 2024, sakura tak lagi berbunga lebat di sini. Bunga-bunga yang tersisa menunggu waktu gugur ke bumi.

Gerbang raksasa dari beton setinggi 25 meter menyambut dingin peziarah dan pelancong. Dua pilar berbentuk silinder menyangga sebuah pilar dan diperkokoh palang penghubung berbentuk persegi Panjang, tepat di bawahnya. Gerbang membingkai pemandangan monumen dengan patung perunggu Omura Masujiro yang berdiri tegak di puncaknya.

Tokoh Restorasi Meiji, Masujiro, adalah bapak tentara Jepang modern. Dia belajar filsafat Konfusianisme, Kajian Belanda, pengobatan Barat, strategi-taktik dan teknologi militer. Dia perancang kapal perang bergaya Barat pertama di Jepang. Kuil Yasukuni dibangunnya untuk menghormati arwah para pejuang. Upaya Masujiro menerapkan pembaratan sistem militer Jepang ditentang sekelompok samurai, yang menyerangnya hingga terluka parah. Pada 5 November 1869 Masujiro meninggal dunia. Patungnya ditempatkan di Kuil Yasukuni tahun 1882.

Saya berpapasan dengan dua bocah perempuan yang meninggalkan kuil sambil bergandengan tangan. Mereka menunduk, menghindari tatapan saya. Seragam sekolah mereka serba hitam. Jas, rok, tas, topi, dan sepatu hitam, kecuali kaos kaki berwarna putih. Di belakang mereka, banyak anak perempuan berseragam serupa. Seragam sekolah mahal untuk anak-anak keluarga kaya.

Ketika Jepang melakukan agresi dalam melaksanakan perang di Asia, Kuil Yasukuni turut mengalami dampaknya. Praktik imperialisme-militerisme Jepang dimulai dengan merampas Taiwan, lalu menjajah Korea, kemudian menduduki Manchuria, dilanjutkan dengan merebut Nanking di China, dan akhirnya mengobarkan Perang Pasifik dengan mengusung semboyan Jepang Cahaya Asia, Jepang Pemimpin Asia, dan Jepang Pelindung Asia. Kini Kuil Yasukuni menjadi sasaran kemarahan dari berbagai penjuru akibat ambisi dan kekejaman militer Jepang di masa perang. Berbeda dengan cita-cita Masujiro, China dan Korea menganggap Yasukuni berisi arwah para penjahat perang.

Pada 26 April 1946, Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh diresmikan untuk mengadili kejahatan perang. Tribunal Tokyo paling tersohor. Pengadilan kejahatan perang juga berlangsung di Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Belanda, China, Australia, dan Filipina. Lebih 5.000 terdakwa divonis bersalah. Sebanyak 944 penjahat kelas A, yaitu individu yang paling berperan dalam perencanaan dan pelaksanaan kejahatan kemanusiaan dan perang, dieksekusi mati.

Sejumlah pejabat negara yang pernah aktif dalam militer Jepang mendatangi pendeta Yasukuni pada 1959 dan meminta agar arwah anggota militer yang divonis sebagai penjahat perang disemayamkan sebagai pembela negara dan bangsa di kuil ini. Tsukuba Fujimaro, pendeta utama waktu itu, menolak menyemayamkan arwah penjahat perang kelas A. Upacara persemayaman arwah 14 penjahat kelas A, termasuk Jenderal Hideki Tojo, dilaksanakan pendeta penggantinya setelah Fujimaro wafat.

Saya membaca buku yang ditulis Akiko Takenaka, “Yasukuni Shrine: History, Memory, and Japan’s Unending Postwar” (2015), sebelum berkunjung ke Yasukuni. Pada bab 5 buku tersebut, “Who Has the Right to Mourn? Politics of Enshrinement at Yasukuni Shrine”, Takenaka menulis bahwa penolakan terhadap persemayaman arwah di Yasukuni berasal dari dalam negeri Jepang sendiri maupun dari luar Jepang, seperti Korea dan Taiwan. Seorang mantan jurnalis yang menjadi perdana menteri Jepang (1956-1957), Ishibashi Tanzan pernah mengusulkan kuil itu ditutup. Persemayaman arwah di Yasukuni dapat menjadi pembenaran bagi tindak kejahatan perang dengan tujuan membenarkan agresi. Paling menghebohkan adalah upaya para penggugat dari Taiwan yang dipimpin mantan artis Gaojin Su-mei (Ciwas Ali).

Di halaman 149, Takenaka mendeskripsikan peristiwa tersebut yang dikutipnya dari surat kabar Asahi Shimbun: “Pada 14 Juni 2005, dia memimpin sekelompok penduduk asli Taiwan mencoba melaksanakan ritual di halaman Kuil Yasukuni untuk mengeluarkan arwah orang-orang mereka dari kuil. Karena protes dari kelompok sayap kanan, rombongan itu membatalkan ritual dan sebagai gantinya mengadakan konferensi pers di depan Aula Pengacara (Bengoshi Kaikan) di Kasumigaseki, di mana mereka menyanyikan sebuah lagu untuk pengambilan arwah.” Di Yasukuni tidak ada abu jenazah atau relik yang disimpan, hanya arwah. Sebanyak 2,5 juta arwah telah disemayamkan di kuil ini.

Dalam lingkungan kuil, ada Museum Yushukan, yang memamerkan koleksi dan narasi sejarah perang dari perspektif militer Jepang. Tidak ada kisah atau diorama tentang penyiksaan, perbudakan seksual (jugun ianfu), kerja paksa (romusha), dan pembantaian massal Nanking yang dipraktikkan militer Jepang di Asia. Hal ini semakin membuktikan bahwa penjajahan merupakan praktik penindasan penuh tipu daya dan kekerasan.

Beberapa peziarah berdoa di muka bangunan kuil yang bagian depannya ditutupi kain putih bergambar empat bunga berkelopak 17. Penjaga berseragam berdiri dekat mereka. Beberapa kali Kuil Yasukuni dirusak dan diserang pihak yang anti terhadap imperialisme-militerisme Jepang, termasuk dengan meledakkan bom berskala kecil, sehingga penjagaan diperketat.

Saya pun teringat dua kakek saya, Tubagus Abdul Malik dan Uni Saleh, yang disiksa dan dipenjarakan tentara pendudukan Jepang di Palembang, Sumatera Selatan dan di Mentok, Pulau Bangka. Para istri terpaksa merawat dan membesarkan anak-anak sendirian dalam ketakutan luar biasa. []
*Sastrawan dan pegiat budaya

Back to top button