Solilokui

“Pacaduan” Alias Tabu di Sungai Cimanuk

Tiba-tiba, di tengah keremangan senja, air lubuk Sungai Cimanuk bergolak. Seperti mendidih. Menimbulkan bunyi gemuruh. Dari tengah lubuk, muncul seekor ikan hitam sebesar lesung. Kepalanya berduri. Matanya menyala. Mulutnya terbuka. Menampakkan gigi-gigi runcing siap menerkam.

Oleh   : Usep Romli H.M.

Pacaduan atau tabu, yaitu perbuatan yang dilarang dilakukan berdasarkan amanat leluhur. Istilah “cadu tujuh turunan” merupakan contoh kata-kata mengenai “tabu” atau “pacaduan” itu.

Di sepanjang aliran Sungai Cimanuk, terdapat “pacaduan” berupa mengucapkan kata-kata “sompral” (kasar, memaki, menghina). Juga “cadu” berupa perbuatan melakukan sesuatu di tempat-tempat tertentu.

Usep Romli HM

Di kawasan Leuwi Gombong, umpamanya, yang terketak di Desa Surabaya, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Garut, terdapat “pacaduan”. Jika ada pegawai negeri datang ke sana, baik memancing atau sekedar bermain, akan kehilangan kedudukannya. Pacaduan itu konon bermula, pada 1920-an, ada seorang aparat pemerintah, yang sedang asyik memancing. Tiba-tiba di sebelah hilir, ada seorang gadis menyeberang. Aparat itu tergiur melihat paha penyeberang yang kainnya tersingkap ke atas. Maka begitu sampai ke pinggir, wanita itu disergap dan diperkosa. Versi lain, dibunuh karena melawan.

Sejak saat itu, muncullah “pacaduan” yang dilontarkan seorang tetua setempat. Leuwi Gombong “cadu” didatangi pejabat. Juga “pacaduan” setiap wanita pendu-duk setempat, untuk tidak menyeberang di Leuwi Gombong.

Padahal, sebelum terjadi peristiwa memalukan dan memilukan, Leuwi Gombong menjadi lokasi favorit Kangjeng Dalem (Garut) untuk “macangkrama”. Menghibur diri bersama anak istri, sanak keluarga, para pembesar dan bawahan, berpesta menangkap ikan. Pesta rakyat tujuh hari tujuh malam dengan “botram” bakar, cobek, dan pepes ikan Cimanuk yang gurih  lezat.

Pacaduan lain berupa ucapan, konon terjadi tahun 1950-an. Seorang pemancing yang sial, mencangkung hingga pagi dan petang, marah-marah. Memukul-mukulkan pancing ke permukaan sungai sambil mencaci maki seluruh isi Sungai Cimanuk. Kata-kata “haram jadah”,“goblog” dan sejenisnya terlontar tanpa sadar. Menganggap Sungai Cimanuk miskin, dan kikir. Sehingga tak ada seekor ikan pun tertangkap oleh pancingnya.

Tiba-tiba, di tengah keremangan senja, air lubuk Sungai Cimanuk bergolak. Seperti mendidih. Menimbulkan bunyi gemuruh. Dari tengah lubuk, muncul seekor ikan hitam sebesar lesung. Kepalanya berduri. Matanya menyala. Mulutnya terbuka. Menampakkan gigi-gigi runcing siap menerkam.

Pemancing yang sedang marah-mnarah itu, terkejut luar biasa. Secara reflek, segera berlari.Naik ke tebing. Hingga nafasnya tersengal-sengal. Ia terkapar di situ. Baru diketemukan beberapa jam kemudian oleh orang-orang lewat, yang akan memancing malam hari.

Pemancing sial itu, sakit keras hingga berbulan-bulan. Ia menderita “soak”(trauma). Bahkan nyaris gila. Terlontarlah ucapan “cadu nyarita suaban di Cimanuk” (tabu mengucap kata-kata tak karuan di Cimanuk). “Pacaduan” tersebut berlaku hingga sekarang, di semua tempat di lubuk-lubuk Cimanuk. [  ]

Sumber : “Folklore Kabupaten Garut” Tahun Buku Internasional 1972 Indonesia,UNESCO

Back to top button