Puisi

5 PUISI DIKDIK SADIKIN

PADA HARI KETIKA SEMUA MUSIM DIAM


Tak ada angin.
Tak ada hujan.
Tak ada gugur daun.
Langit hanya putih.
Seperti lembaran yang tak ditulisi siapa-siapa.
Barangkali itulah cinta
yang kita bicarakan semalam:
sesuatu yang tak punya arah
tapi terus berjalan,
diam-diam
menuju entah.


Pekanbaru, 28 Februari 2019


CATATAN REDAKSIONAL

Musim, Cinta, dan Birokrasi yang Tak Terdefinisi

oleh IRZI Risfandi

Dalam puisi “Pada Hari Ketika Semua Musim Diam”, Dikdik Sadikin menawarkan sesuatu yang lebih dari sekadar perenungan cuaca: ia menyusun metafora cinta yang diam, lembut, dan birokratis. Bayangkan, tak ada angin, tak ada hujan, bahkan tak ada gugur daun. Situasi ini seolah mengibaratkan hubungan yang stagnan namun tetap berjalan, seperti proses administrasi yang bergerak pelan tapi pasti. Dan ketika langit hanya putih, seperti lembaran yang belum ditulisi siapa-siapa, di situlah cinta tampil sebagai hal tak terdefinisi—barangkali seperti dokumen SPJ yang belum ditandatangani. Jernih, sunyi, dan justru dari ketiadaan itu puisi ini bicara paling keras.


Puisi ini begitu ringkas, tapi justru dalam kesederhanaannya menyimpan “tumpukan dokumen” emosi. Ia tak memakai metafora ribet apalagi jargon cinta-cintaan khas milenial. Yang muncul justru citraan-citraan yang halus dan birokratis: cinta yang “tak punya arah tapi terus berjalan, diam-diam, menuju entah.” Seakan puisi ini ditulis oleh seseorang yang sehari-hari akrab dengan SOP, namun diam-diam masih percaya bahwa perasaan tak bisa diatur dalam PP atau Perpres. Ya, begitulah Dikdik Sadikin, seorang mantan direktur pengawasan di BPKP, yang kini menyalurkan daya pikir akuntabelnya lewat larik-larik sajak.


Sebagai penyair yang juga akuntan, Dikdik bisa jadi sedang menunjukkan bahwa puisi bukan sekadar ranah para penyair romantik. Ia membuktikan bahwa meski hidupnya pernah berkutat dengan laporan keuangan dan penilaian kinerja birokrasi, hatinya tetap sensitif menanggapi fenomena yang paling personal: cinta. Bukan cinta dalam format “Romeo-Juliet”, tetapi cinta yang sering terjadi di ruang tunggu, di jeda email balasan, di balik kertas kerja yang belum selesai diketik. Tak banyak penyair yang mampu menulis puisi se-efisien ini tanpa kehilangan makna.

Dan jika kita tarik lebih jauh, puisi ini menjadi semacam “memo internal” untuk generasi yang sering dibingungkan oleh romansa tak menentu. Cinta yang tak gaduh, tak terencana, tapi pelan-pelan membentuk sistem baru dalam diri kita. Ia berjalan dalam senyap, seperti anggaran yang cair tanpa seremoni. Itulah mengapa larik-lariknya terasa bersih dari keriuhan, seperti ruang audit yang ditinggalkan senja. Cinta, bagi Dikdik, bukan sekadar soal perasaan, tapi juga tata kelola keheningan.


Dalam dunia sastra birokrasi—yang sempat dibuka pelan oleh komunitas Birokrat Menulis—puisi semacam ini menjadi penting. Ia adalah contoh konkret bahwa bahasa bisa hidup di antara lampiran excel dan formulir pengawasan. Melalui larik sederhana ini, Dikdik Sadikin seolah sedang menyisipkan pos memo ke seluruh ruang publik: bahwa cinta, seperti musim yang diam, tetap bekerja—meski tanpa bunyi, tanpa angin, tanpa gugur daun. Dan puisi adalah cara terbaik untuk mendokumentasikannya.

2025


MUSIM YANG TAK JADI DATANG

untuk janji yang gugur sebelum sempat tumbuh
Langit pagi ini
tak berkata apa-apa.
Hanya mendung yang menggantung
seperti ucapan yang tak selesai kau kirimkan.
Aku menunggumu,
seperti bumi menunggu hujan
yang dijanjikan awan
tapi diurungkan angin.
Musim itu,
yang katanya akan membawa bunga dan udara baru,
tak pernah tiba.
Ia mungkin tersesat,
atau lupa jalan ke hatiku
yang sudah lama tidak kau singgahi.
Daun-daun gugur tanpa sebab,
tanpa pesan perpisahan.
Satu per satu
seperti langkahmu
yang perlahan menjauh
tanpa suara.
Aku masih di sini,
membuka jendela setiap pagi,
menyapa cuaca
yang berubah-ubah
seperti hatimu.
Tak apa.
Kadang, yang paling setia
adalah musim yang tak pernah datang.
Karena ia tak sempat menyakitiku
dengan kepergian.


Bogor, 23 Desember 2024


SURAT YANG TAK SEMPAT DIKIRIM


Kuketik namamu
pada layar yang kosong.
Bukan untuk menghubungimu,
tapi untuk mengingat
bahwa aku pernah punya alasan
untuk menunggu.
Kau tak menjawab.
Mungkin tak pernah membaca.
Tapi huruf-huruf itu
masih berdiri di sana,
seperti pagar
di depan rumah yang tak pernah kutinggali lagi.


Pontianak, 2 November 2022


*** 
KAU BILANG


Kau bilang
kau akan datang setiap pagi
dengan sekeranjang harapan dan selembar kertas suara
yang pernah kutandatangani
di bilik sempit,
dengan doa yang kupeluk diam-diam
Kau bilang
jalan ke rumahku akan mulus
dan anakku tak perlu menghafal hujan
karena atap sekolahnya tak lagi bocor
Kau bilang
rumput akan tumbuh di halaman puskesmas
dan bau obat tak akan diganti
dengan bau jamur dan debu
Tapi pagi-pagi itu tak pernah datang
dan aku terus menanak nasi
dengan berita tentang proyek yang tak selesai
dan baliho baru yang sudah disiapkan
untuk lima tahun berikutnya
Kau bilang…
ah, barangkali aku yang salah dengar
Karena suara janji
memang seringkali pelan
dan hanya terdengar menjelang sore,
saat angin tak punya arah
dan langit kehilangan warna.


Bogor, 20 Januari 2025


*** 
RANJANG KOSONG DI SAYAP TIMUR RUMAH SAKIT

untuk seseorang yang tak sempat mengucap selamat tinggal
Ranjang itu kosong,
hanya seprai yang masih hangat
dan bantal
yang menyimpan lekuk kepala terakhir.
Tak ada suara,
kecuali langkah perawat
yang berlalu
seperti detik yang tak bisa diajak bicara.
Pagi menembus kaca jendela,
tak bertanya siapa yang baru saja pergi,
tak menanyakan nama
yang ditulis pada papan kecil
lalu dilepas diam-diam.
Barangkali,
orang itu tak sempat pamit.
Atau memang tak perlu.
Karena yang pergi
selalu tahu jalan pulang,
meski tidak kembali.
Dan aku,
berdiri di ambang pintu,
menyapa sepi yang tertinggal di kasur
seperti menyapa angin
yang hanya lewat sebentar
untuk mengatakan:
sudah, ya.


Pontianak, 20 Desember


BIODATA :


Dikdik Sadikin, Ak., M.Si. lahir di Jakarta pada 20 Februari 1965. Ia adalah seorang penulis dan akuntan senior dengan pengalaman lebih dari 38 tahun di dunia birokrasi. Saat ini, ia berdomisili di Bogor dan terakhir menjabat sebagai Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).


Karya-karyanya telah dipublikasikan di berbagai media massa serta termuat dalam sejumlah buku antologi, mencakup esai opini, cerpen, dan puisi. Ia pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi sekaligus Pemimpin Umum majalah Warta Pengawasan pada periode 1999–2002. Hingga kini, ia aktif menulis dan menjadi anggota Satupena DKI serta komunitas Birokrat Menulis. Tulisan-tulisannya rutin hadir di berbagai platform digital seperti Kompasiana, Kompas.com, Kompas.id, dan Medium.


Riwayat pendidikannya meliputi Diploma IV dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) yang diselesaikan pada tahun 1994, serta gelar Magister Administrasi Publik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, yang diperolehnya pada tahun 2006.

Back to top button