Puisi

5 PUISI LILIS SADIAH

GERIMIS DI ATAS KERTAS

Gelisah, sepi dan pilu beradu
Entah apa yang kini kurasa
Rintik hujan menari perlahan
Iringi angin yang lelah berjalan
Meniupkan sepi ke jendela hati
Ingin kutepis rindu ini
Semakin kucoba namun tak kuasa

Diam-diam hati tetap menanti
Imajinasi mendamba ia hadir di sini

Akankah ia seperasaan?
Tapi tak kutemui jawaban
Ataukah aku bertepuk sebelah tangan?
Semua serasa menyesakkan

Kasih yang jauh tak tersentuh tangan
Enggan beranjak dari angan
Rinai hujan bagai jejak langkahnya
Tercabik hati ini oleh dinginnya
Andai hatiku seperti kertas
Sobek sudah dicabik gerimis yang kian deras

KBB, 07062025


CATATAN REDAKSIONAL

Gerimis, Akrostik, dan Setangkup Rindu dari Perpustakaan Padalarang

oleh IRZI Risfandi

Ada yang basah tapi bukan karena cuaca. Ada yang pilu tapi tetap tampak tertib dan runut—itulah kesan pertama saat membaca puisi “Gerimis di Atas Kertas” karya Lilis Sadiah, guru Bahasa Indonesia sekaligus Kepala Perpustakaan SMKN 4 Padalarang. Dalam puisi ini, gerimis bukan hanya rintik dari langit, tapi metafora dari perasaan yang mengendap, meleleh, lalu menetes diam-diam ke lembar kenangan. Format akrostik yang digunakannya pun tidak sekadar tempelan, melainkan semacam teknik pedagogis untuk mengajarkan bahwa struktur bisa hadir bersamaan dengan rasa.

Puisi ini cocok dibaca sambil menyeruput kopi di pagi libur atau ketika playlist galau Taylor Swift sedang menemani revisi laporan sekolah. Dalam Gerimis di Atas Kertas, huruf-huruf awal setiap larik seakan membentuk frasa yang beriak: GERTAK ERTAKS, bisa jadi plesetan tak disengaja dari “gertakan” dan “tertaksir” sekaligus—tanda bahwa puisi ini secara bawah sadar ingin bicara tentang rindu yang tak berbalas tapi tetap dituliskan dengan elegan. Akrostiknya mengajak kita untuk melihat puisi tak hanya sebagai curhat, tapi juga sebagai wahana disiplin dan bentuk—mirip dengan peran ibu guru yang tak pernah bosan memeriksa ejaan siswa, meski hati kadang ikut patah oleh kenangan.

Sebagai seorang penggiat literasi, Lilis memang tak pernah sembarangan melempar diksi. Setiap larik dalam puisi ini seperti dipilih dari rak-rak imajinasi yang tersusun rapi di perpustakaan hatinya. “Rinai hujan bagai jejak langkahnya / Tercabik hati ini oleh dinginnya” adalah dua larik yang mampu menjelaskan cinta tanpa kehadiran, perih tanpa drama. Dan lihat bagaimana ia menyelipkan unsur pendidikan karakter: “Andai hatiku seperti kertas / Sobek sudah dicabik gerimis yang kian deras.” Ini semacam pelajaran literasi emosional yang dikemas dalam estetika.

Yang menarik, Lilis tidak menjerumuskan puisi ini ke dalam kubangan sentimentalitas murahan. Ia usil dalam diam, pedagogis dalam peluk, dan justru menyelamatkan romantisme puisi dari jebakan hiperbola. Format akrostiknya sendiri, bisa dibaca sebagai strategi pembelajaran kreatif—bisa dibayangkan bagaimana beliau menginspirasi siswa-siswinya menulis puisi dengan pola serupa, membiasakan literasi yang sistematis namun tetap ekspresif. Ini adalah praktik pengajaran yang pantas diberi nilai A+, karena menyentuh ranah afektif, kognitif, sekaligus estetika.

Lewat Gerimis di Atas Kertas, Lilis Sadiah tidak sedang sekadar menuliskan rindu, tapi menanamkan rindu kepada puisi itu sendiri. Sebuah puisi yang rapi, mengandung pesan tersembunyi, dan bisa dijadikan model pembelajaran di kelas sastra yang menyenangkan. Jadi, kalau hujan nanti mampir ke jendela kelas, jangan lupa bukakan pintu bagi puisi seperti ini. Siapa tahu, setelah gerimis, muncul pelangi dalam bentuk nilai ujian siswa yang meningkat—atau puisi akrostik baru yang tak kalah menggugah.

2025


BIARKAN

Kini kuberjalan di lorong gelisah
Tak tentu arah
Menanti yang tak pasti
Berkawan sepi
Mencumbu imajinasi
Biarkan..

Saat kau datang menghampiri
Mendamba janji suci
Ternyata hatiku masih terkunci
Biarkan aku larut dalam mimpi
Bercengkrama dengan halusinasi
Biarkan..

Biarkan aku menyendiri
Sudahi sampai di sini
Sebelum kita saling melukai

KBB, 03042025


DAMAI DIRI

Damai dengan diri itu harmoni
Tak panik dengan apa yang terjadi
Percaya diri menghadapi esok hari yang tak pasti
Damai itu indah
Tatkala hati tak gundah dengan musibah
Tak resah dengan riuhnya masalah

Damai itu tenang
Tatkala perasaan tak berdebat dengan pikiran
Tatkala harapan tak menyalahkan kenyataan
Tatkala jiwa menerima keadaan dan mensyukuri pemberian
Tatkala hati mengunci angan-angan Mencukupkan keinginan
dan melepaskan tekanan

Damai itu menciptakan kebahagiaan
Memberi ruang keajaiban dan kasih sayang Tuhan

KBB, 19425: 06.06


KISAH DI LARUT MALAM

Ketika hujan gemericik di larut malam
Iramanya menyalip detak jam dinding
Angin berhembus menyelusup ke pori -pori
Sesosok perempuan yang kurus kering
Berbaring di atas dipan beralas kasur tipis
Tubuhnya hanya tulang berbalut kulit
Setiap malam tidurnya tak pernah lelap
Matanya berkaca-kaca
Sakit di dadanya semakin terasa
Di sampingnya sesosok gadis tanggung tidur terlentang
Hanya berselimut kain belang yang sudah berlubang
Seharusnya dia mengenyam bangku sekolah
Dengan teman sebayanya berseragam putih biru
Namun apa daya ibunya tak punya biaya
Dalam mimpinya tidak ada cita-cita masa depan
Dalam hatinya setiap malam
Hanya terbersit pertanyaan
Esok kemana mencari makan

KBB, 12112024


GERIMIS DI ATAS KERTAS 2

Gerimis menangis lirih
Embun pagi terlihat sedih
Ruang-ruang rapat hanya ajang orasi
Intimidasi saling tuduh terasa basi
Menghiasi di setiap rapat koordinasi
Ibarat paduan suara dengan lagu lama
Semua mengatasnamakan bangsa

Di negeri yang kaya raya
Impian tentang kemakmuran bertebaran

Ah.. ya, hanya impian
Tak pernah menjadi kenyataan
Alam yang memendam harta karun
Seperti istana bagi para penyamun

Kemakmuran hanya wacana
Entah kapan bisa terlaksana
Rinai hujan adalah air mata
Tiap rintiknya curahan perasaan
Ada banyak penderitaan dan kemiskinan
Subur menjamur di negeri yang katanya makmur

KBB, 09062025


BIODATA :
Lilis Sadiah, M.Pd. adalah seorang pendidik yang mengabdikan dirinya sebagai guru Bahasa Indonesia sekaligus Kepala Perpustakaan di SMKN 4 Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Ia lahir di Bandung pada 28 Juni 1968.


Menulis merupakan salah satu hobi yang ia tekuni untuk mengisi waktu luang. Ia aktif menulis puisi, carpon (cerita pondok), cerpen, hingga fiksi mini (fikmin), yang beberapa di antaranya telah ia bagikan melalui media sosial, khususnya Facebook. Kegemarannya ini telah membawanya menjadi kontributor dalam berbagai karya kolektif.


Hingga saat ini, Lilis Sadiah telah berpartisipasi dalam 17 buku antologi. Beberapa di antaranya yang menonjol adalah Kumpulan Pantun Nasihat Seribu Guru ASEAN yang diterbitkan pada tahun 2020 bersama penggagas Rumah Seni Asnur, antologi fiksi mini Buah Telur Naga bersama penulis nasional Gol A Gong (SIP Publishing, 2024), Seloka Adagium Petuah Bestari bersama komunitas KPPJBP (2024), Pendidik dalam Untaian Syair (Situ Seni, 2024), dan antologi puisi Cinquain dan Cingkuaing bersama KPPJB (2024).


Selain karya kolaboratif, ia juga telah menerbitkan sebuah buku solo berjudul Secangkir Kopi Kepastian, yang merupakan kumpulan puisi akrostik dan diterbitkan oleh Coretan Pena Publishing pada tahun 2024. Melalui karya-karyanya, Lilis Sadiah menunjukkan komitmen dalam mengembangkan literasi, baik di lingkungan sekolah maupun di tengah komunitas kepenulisan yang lebih luas.

Back to top button