SolilokuiVeritas

Pembekuan Rekening dan Kesan Pembina(sa)an Aksi Cepat Tanggap (ACT)

Hal itu kontan membuat mata publik yang sembab setelah dikecewakan begitu dalam oleh perilaku zalim para pejabat lama ACT, segera kembali melotot terbuka. Tidakkah tudingan pendanaan terorisme ini baru sekadar indikasi, seiring system yang otomatis ‘berbunyi’ ketika terjadi transfer dana ke negara-negara yang masuk dalam monitoring list, yang disebut high-risk jurisdictions (HRJ)? Besar kemungkinan, transfer dana itu pun bentuknya masih berupa suspicious transaction report (STR), yang informasinya masih mentah dan perlu diselidiki lebih jauh. Dalam hal ini, Polri yang lebih berwenang dalam soal ini, jelas lebih sabar dan prudent.

Oleh   :  Darmawan Sepriyossa

JERNIH–Gesitnya pemerintah merespons kisruh yang terjadi di lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT), jujur saja, cukup membuat saya kaget. Sebab, biasanya perlu sekian hari, kalau bukan malah hitungan pekan, sebelum pemerintah disadar-kan publik untuk segera mengambil tindakan urgent.

Sempat saya berpikir, mungkin cepatnya respons itu juga berkaitan erat dengan citra ACT yang lekat dengan umat Islam. Persoalannya, saya masih belum bisa memastikan apakah faktor kedekatan ACT dengan umat Islam itu lantas mendo-rong gerak cepat dengan tujuan penyelamatan umat, atau justru citra Islam itu yang membuat ACT harus segera ‘dibereskan’?

Darmawan Sepriyossa

Pasalnya, respons yang dilakukan pemerintah—dalam hal ini Kementerian Sosial (Kemsos) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)—sepanjang pemantauan saya di media sosial, tampaknya mengejutkan banyak kalangan umat Islam. Pagi hari ini, Rabu 6 Juli 2022, izin ACT untuk melakukan crowdfunding dicabut Kemensos. Sementara siang—atau sorenya—PPATK dengan sigap membekukan 60 rekening ACT di 33 bank yang selama ini bermitra. Artinya, ACT dibikin beku, kalau tak layak disebut dibunuh—meski masih punya peluang hidup kembali manakala izin dan rekening itu dibuka lagi.

Pembekuan rekening yang dilakukan PPATK wajar membuat sebagian publik—kecuali yang bersorak sorai—merasa ada kesan overkill dalam penanganan kasus ini.  Mengapa sampai harus dibekukan? Apalagi manakala kasus ACT mencuat seiring laporan TEMPO, PPATK segera melansir pernyataan adanya indikasi aliran dana ACT ke terorisme.

Hal itu kontan membuat mata public yang sembab setelah dikecewakan begitu dalam oleh perilaku zalim para pejabat lama ACT, segera kembali melotot terbuka. Tidakkah tudingan pendanaan terorisme ini baru sekadar indikasi, seiring system yang otomatis ‘berbunyi’ ketika terjadi transfer dana ke negara-negara yang masuk dalam monitoring list, yang disebut high-risk jurisdictions (HRJ)? Besar kemungkinan, transfer dana itu pun bentuknya masih berupa suspicious transaction report (STR), yang informasinya masih mentah dan perlu diselidiki lebih jauh. Dalam soal ini, Polri yang lebih berwenang dalam soal ini, jelas lebih sabar dan prudent.

Sikap PPATK itu wajar agak membuat public heran. PPATK justru seolah menjadi pihak yang paling ngotot membidik kasus pendanaan terorisme ke ACT, padahal penyidikan masalah ini lebih menjadi domain kepolisian. PPATK seharusnya lebih sebagai financial intelligence unit yang tugasnya memberikan informasi STR kepada penegak hukum untuk ditelusuri dan diselidiki. Soal apakah laporan itu memang ternyata pelanggaran tindak pidana, itu domain Kepolisian.

Yang juga tampaknya bisa menjadi problem, informasi analisis keuangan PPATK sebenarnya merupakan informasi yang bersifat rahasia. Paling tidak, menurut Pasal 10A dan 17A UU No. 15/2002 yang telah diubah dengan UU No. 25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Hanya aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan untuk menerima informasi analisis dari PPATK. Apakah menguarkannya sebagai berita di media massa melanggar hal itu, tentu ahli hukum yang bisa menjawabnya dengan pas.

ACT telah membuang ‘tumor’

Publik barangkali tidak akan banyak bertanya-tanya seperti saat ini manakala tidak ada satu fakta yang mencuat justru dari laporan Majalah TEMPO sendiri: ACT telah dan tengah terus berbenah.

Laporan TEMPO menegaskan, sejak 11 Januari lalu pendiri dan pimpinan ACT, Ahyudin (Ayd) telah dilengserkan paksa oleh internal ACT sendiri. Itu artinya minimal telah terjadi lima bulan, meski Ayd baru mengumumkan pengunduran dirinya melalui akun Facebook “Ahyudin Gmc”, pertengahan April lalu.

Majalah TEMPO bahkan mendeskripsikan drama kudeta di internal ACT itu cukup baik, dengan menceritakan kedatangan 40-an orang warga ACT ke ruang kerja Ayd. Menurut Ayd, rombongan yang juga dihadiri Presiden ACT Ibnu Khajar serta anggota Dewan Pembina ACT, Imam Akbari dan Hariyana Hermain, itu memaksa dia menandatangani surat pengunduran diri hari itu juga.

Artinya, setelah sekian lama lembaga itu dikangkangi dengan sewenang-wenang oleh para ‘pejabat’ lama organisasi, pada 11 Januari itu warga ACT ramai-ramai membuang ‘tumor’ yang membuat lembaga mereka sakit, bahkan kolaps. Itu tentu harus digarisbawahi dan diapresiasi tinggi. Sebab bila tidak, yang terjadi laiknya apa yang kita lihat. Seolah-olah kita semua tak tahu mana dan apa yang menjadi prioritas dalam membereskan urusan. Menurut saya, yang harus jadi prioritas adalah segera membuka penyelidikan kriminal kepada pengurus—atau pejabat?—lama ACT, pihak yang selama ini menghambur-hamburkan dan menyewengkan dana.  

Bukan malah mematikan ACT—lembaga filantropi yang bahkan di saat “ngaco” pun mampu membantu pemerintah mengatasi kemiskinan, menolong korban bencana dan korban konflik, tak hanya di Indonesia, melainkan merambah wilayah dunia. Tidak kurang dari 281.000 kali ACT dengan 78 cabangnya melakukan aksi sosial di 47 negara. Ganjil bener bila sisi ini sama sekali tidak dipertimbangkan.

Apalagi bila merujuk laporan TEMPO, urusan kegilaan dan penyelewengan itu berhenti di 11 Januari itu. Tidak sekadar ‘membuang tumor’, merestrukturisasi kepemimpinan, mengurangi karyawan,  kepada TEMPO Presiden ACT saat ini, Ibnu Khajar, menyatakan ACT telah mengakhiri segala kemewahan itu. “Saya sebagai Presiden ACT sekarang pakai Innova,”ujar Ibnu. Segambreng mobil mewah yang dimiliki ACT telah dijual untuk menambah dana lembaga. Direktur Komunikasi ACT,  Ade Mohamad Yusup, mengatakan kini mobil dinas petinggi ACT tak bersifat personal dan bisa digunakan untuk kegiatan dinas anak buah.

Sudah saatnya Kepolisian menggelar penyelidikan-penyidikan terhadap para pejabat lama ACT. Bagaimana pun, lebih ganjil lagi bila pihak-pihak yang jelas-jelas membawa mudharat kepada ACT itu dibiarkan bebas melenggang kangkong begity saja, setelah semua keributan yang mereka bawa.

Saya jarang-jarang bersetuju dengan pendapat Mahfud MD, yang dua hari lalu meminta agar aparat penegak hukum segera menindak pidana para awak ACT,  bila mereka terbukti menyelewengkan dana donasi. “Jika ternyata dana-dana yang dihimpun itu diselewengkan maka ACT bukan hanya harus dikutuk tapi juga harus diproses secara hukum pidana,” tulis Mahfud MD dalam akun Twitter-nya.

Mahfud hanya menulis ACT, bukan kru, awak atau pejabat ACT dalam cuitannya itu. Saya yang berbaik sangka menginterpretasikannya sebagai imbauan agar Polri segera mengurus ‘persona di ACT’, bukan lembaga yang sejatinya hanya wadah tanpa nyawa.

Citra pemerintah Presiden Jokowi

Yang lebih saya kuatirkan sebenarnya adalah imbas ketergesaan untuk membekukan rekening ACT ini terhadap citra Presiden Jokowi, pimpinan eksekutif tertinggi saat ini. Dan itu bukan kekuatiran kosong bila kita mau sebentar saja membuka dunia media sosial.

Bagaimanapun, dalam soal ini kita bisa merujuk pernyataan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Abdul Mu’ti, Oktober tahun lalu, terkait kinerja pemerintahan Presiden Jokowi dalam isu-isu keagamaan. Menurut Prof Mu’ti saat itu mengatakan, meski Jokowi berupaya menarik simpati lebih besar dari masyarakat dengan cara menggandeng Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden, hal itu dinilai tidak menolong citra Jokowi yang terbangun di benak sebagian masyarakat selama ini.

“Citra Jokowi sebagai pemimpin yang tidak dekat dengan umat Islam, itu belum bisa hilang dari mata publik,” kata Prof Abdul Mu’ti. Ia bahkan memberikan contoh kebijakan di era Jokowi yang tadinya bermaksud mempersatukan masyarakat, ternyata malah terkesan menciptakan sisi eksklusif bagi kelompok tertentu. “Misalnya (slogan) “Saya Indonesia, saya Pancasila”. Slogan itu, kan, maksudnya baik, memperkuat posisi Pancasila sebagai dasar negara.”

Tetapi menurutnya, di masyarakat itu justru membuat poros. “Kalau Pancasila berarti Indonesia, kalau tidak Pancasila berarti tidak Indonesia.” Kata Prof Mu’ti.

Melihat kepedulian Presiden kepada umat Islam, tentu saja ada yang luput terangkat sehingga citra tersebut yang justru mengemuka. Pada sisi inilah, seharusnya para pejabat dan aparat pemerintah membuka mata dan kesadaran. Jangan justru apa yang dilakukan justru kontraproduktif bagi citra pemerintah di mata rakyat. Umat Islam dalam hal ini. [dsy]

Back to top button