“Percikan Agama Cinta”: Padamu Sosok Agung, Aku Merindu
Aku merindu pada santiran kedamaian abadi. Memancar dari sifat-sifat rahman dan rahim-Mu. Mewujud pada sosok manusia agung bernama: Muhammad Saw.
JERNIH– Saudaraku,
Aku merasa menemukan Tuhan tatkala merayakan kemanusiaan senafas dengan rasa keberagamaan. Dalam suasana itu, Tuhan pun tersenyum.
Aku singkirkan benih-benih kehasadan. Bayang-bayang kebengisan berlabel ayat-ayat suci, aku kikis habis. Aku sadar, langkah itu tak seindah sekuntum bunga mawar. Namun selama matahari terbit di ufuk Barat, aku tak akan berhenti melawan kedengkian.
Aku merindu pada santiran kedamaian abadi. Memancar dari sifat-sifat rahman dan rahim-Mu. Mewujud pada sosok manusia agung bernama: Muhammad Saw. Teladan penghuni semesta. Aku terpesona kelembutan hati sang pecinta. Beraroma cahaya langit. Karena tanpa kilauan itu, hidupku terasa hampa. Menjadi miskin makna.
Begitulah Islam semestinya aku maknai. Islam yang berbasis hanif sesuai fitrahku sejak di alam sana. Islam ramah. Bukan Islam marah. Karena berdasarkan teladanmu, wahai Rasulullah, aku yakin Islam itu garam, bukan gincu.
Aku teringat pesan Tuhan. Berihsanlah kepada Allah. Jika kamu ihsan kepada Allah, kamu harus ihsan kepada makhluk yang Dia cintai. Rasulullah mengatakan, orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling baik akhlaqnya. Oleh karena itu, tak heran, Rasulullah SAW sendiri menegaskan, bahwa beliau diutus hanya untuk menyempurnakan akhlaq manusia. Tak ada misi lain.
Ketahuilah. Seluruh ciptaan itu dikatakan sebagai keluarganya Tuhan. Kita bersaudara; tidak boleh saling menghina dan membenci antara satu-sama lain. Menghina ciptaan Allah berarti sesungguhnya kita sedang menghina Allah sendiri.
Maka, aku pun bertanya pada hati terdalam: siapa sesungguhnya teladan para pengasong kebencian itu? Entahlah! [Deden Ridwan]