“Percikan Agama Cinta”: Tentang Kehanifan yang Menjadi Fitrah Kemanusiaan Kita
Renungkanlah. Engkau sebagai manusia pasti senang berbuat kebajikan. Karena engkau memang memiliki potensi untuk melakukannya. Bahkan, dalam nomenklatur keislaman: manusia diciptakan sebagai makhluk ruhani (hanif) yang selalu merindukan kebaikan.
JERNIH–Saudaraku,
Mari renungkan kembali sejenak hakikat keberadaanmu kini. Engkau lahir atau dilahirkan sebagai manusia. Engkau adalah sebenar-benarnya manusia yang bergerak menempati ruang-waktu.
Ketahuilah. Sejak di alam sana, Tuhan Sang Mahacinta, telah menetapkanmu sebagai makhluk bernama manusia, bukan anasir-anasir lain. Tuhan membekalimu dengan dua potensi yang seolah saling berlawanan: kebaikan versus keburukan.
Sadarlah. Engkau beredar dalam semesta dengan karakter-watak sebagai manusia. Bermodalkan kedua potensi dahsyat itu. Engkau bukan malaikat, bukan pula iblis. Sifat atau watak dasarmu sebagai manusia berbeda jauh dengan malaikat atau iblis.
Renungkanlah. Engkau sebagai manusia pasti senang berbuat kebajikan. Karena engkau memang memiliki potensi untuk melakukannya. Bahkan, dalam nomenklatur keislaman: manusia diciptakan sebagai makhluk ruhani (hanif) yang selalu merindukan kebaikan.
Namun pada saat bersamaan, engkau sebagai manusia senang pula berbuat dosa atau maksiat. Sungguh karakter atau sikapmu itu sangat manusiawi. Wajar belaka. Ya, karena engkau memang wujud-asli manusia. Ingat, sesekali engkau laksana malaikat dengan memantulkan kebaikan; kadang menakhlikkan keburukan serupa iblis.
Celakanya. Selama ini, secara tidak sadar, engkau sebagai manusia acap digiring oleh suatu pemahaman agar bertindak serba ideal: berbuat baiklah secara sempurna.. Pun jauhi perbuatan dosa secara sempurna. Padahal, mesti sadar, kita ini hanya manusia, bukan malaikat.
Akibatnya, engkau sebagai manusia melihat hidup ini hitam-putih, bahkan selalu ekstrem. Taat atau dosa. Saleh atau bejad. Ibadah atau maksiat. Surga atau neraka. Seolah manusia mesti merefleksikan dua titik eksesif sebagai pilihan hidup: menjadi malaikat atau iblis. Mendayung di antara dua karang: pujian atau kutukan. Ya, dipuja setinggi langit atau dikutuk serendah iblis. Mengerikan.
Padahal, Rasulullah SAW, Sang Nabi Cinta, sama sekali tidak mencontohkan sikap demikian. Sang Matahari Dunia itu, mengajarkan cara beragama sesuai kadar engkau sebagai manusia berbasiskan cinta. Pendosa tak perlu dikutuk. Karena di balik perbuatan dosanya itu tersimpan mutiara; pun sebaliknya. Islam mengajarkan kearifan dalam beragama sekaligus kesantunan bersikap. Nilai-nilai semacam itu sudah menyatu dengan kultur lokal, memperkaya khazanah religi Nusantara.
Saudaraku, dengan beragama secara arif-bijak itu, engkau akan selalu saling memahami, mengingatkan, dan menghargai dalam menjaring cahaya kebaikan. Seperti sebuah kata-kata para bijak: Jadilah cahaya. Walaupun tak tersentuh, tapi selalu menerangi. Jadilah angin. Walaupun tak tampak, tapi selalu memberi kesejukkan. Jadilah sahabat sejati. Walaupun tak bersama menjalani hari, tapi selalu menjaga hati, tak saling benci. [Deden Ridwan]