Sekarung Tanah di Dunia
Negoisasi berlangsung alot. Berkali-kali dan memakan waktu lama. Al Hakam kesal juga. Ia memerintahkan gubuk Si Nenek digusur. Penghuninya dibiarkan terlantar.
Oleh : Usep Romli HM
Al-Hakam I, raja ketiga Bani Umayyah Andalusia (Spanyol), berkuasa tahun 180-206 H/796-822M. Ia tertarik oleh sebidang tanah di pinggir danau, milik seorang nenek tua. Hakam memantas-mantas, jika di situ didirikan istana dan taman, akan indah sekali nampaknya.
Ia mengutus anak buahnya, membujuk Si Nenek menjual tanah berikut gubuknya, dengan harga berlebih. Tapi Si Nenek menolak keras. Ia sudah betah. Dan ingat akan anak-anaknya yang kelak akal membutuhkan tanah untuk tempat tinggal dan sumber nafkah mereka.
Negoisasi berlangsung alot. Berkali-kali dan memakan waktu lama. Al Hakam kesal juga. Ia memerintahkan gubuk Si Nenek digusur. Penghuninya dibiarkan terlantar. Al Hakam segera membangun istana dan taman sesuai dengan keinginannya.
Si Nenek mengadu kepada Hakim. Memohon keadilan.
“Tunggu saja, Nek, hingga saat peresmian istana,”jawab Hakim .
Pada waktu istana diresmikan, Hakim datang bersama seorang pelayannya yang membawa karung dan cangkul. Usai peresmian, yang dihadiri para pembesar Negara, Sang Hakim mohon izin kepada Al Hakam, untuk menggali sekarung tanah dari sisi taman.
“Silakan saja, “jawab Al Hakam yang hatinya sedang berbunga-bunga, memiliki istana dan taman berlatar belakang danau berair biru bening.
Setelah karung penuh , Hakim meminta Al Hakam untuk membantu mengangkatnya ke punggung pelayan. Al Hakam serasa terhibur. Ia segera mengangkat karung berisi tanah itu. Namun amat berat. Jangankan meletakkannya ke punggung pelayang, mengesernya saja susah sekali. Berkali-kali ia mencoba, namun gagal terus.
“Nah, Paduka,“kata Hakim. “Ini baru sekarung tanah di dunia. Bagaimana kelak di akhirat, pada hari pembalasan? Paduka akan disuruh mengangkat tanah seluas istana dan taman beserta segala isinya? Akan kuatkah? Belum lagi Paduka harus menghadapi dakwaan Si Nenek Tua yang terdzalimi!”
Al Hakam tersuruk ke tanah. Menangis. Menyesali perbuatannya. Ia memohon maaf kepada Si Nenek, sambil mengembalikan tanah beserta istana dan tamannya. [ ]
Dari “Short Story for Islamic Story” Charles Duff (1967)