
Gen Z Indonesia, melalui media sosial, sedang “meronta dalam sangkar emas” yang selama ini mengurung mereka. Kalimat yang muncul di media sosial bukanlah ungkapan metafora kosong. Hal itu merupakan suara kekecewaan mendalam dan keprihatinan terhadap ketidakadilan sistemik, korupsi menggurita, dan mimpi masa depan yang kandas.
Oleh : Fahmy Lukman*
JERNIH– Dalam beberapa hari saja, tagar #KaburAjaDulu menjadi viral di platform X dengan unggahan mencapai lebih dari 24 ribu kali. Tagar ini muncul dengan cepat di ruang media sosial dan menjadi perhatian publik dalam skala yang luas.
Tagar itu bukan hanya berisikan keluh kesah gen Z, melainkan gambaran buruk dari generasi yang merasa “dikhianati” oleh negara asalnya. Dari sekian banyak kalimat, maka perhatikan kalimat berikut, di antaranya “Lebih baik diragukan nasionalismenya daripada cuma jadi sapi perah di negara sendiri”, “Pemerintah fokus pada kepentingan elit, sementara rakyat hanya dijadikan pion dalam permainan politik. #kaburajadulu”, dan “Rakyat merasa dipermainkan dalam labirin kebijakan yang membingungkan. #kaburajadulu”. Realitas bahasa yang digunakan tagar tersebut menunjukkan ketidakpuasan publik terhadap berbagai kebijakan pemerintah.

Bahasa, dalam pandangan tiga tokoh pakar linguistik, terutama Critical Discourse Analysis (CDA), yaitu Norman Fairclough tentang bahasa dan kekuasaan, Teun A. van Dijk dengan konsep kognisi sosial, dan Theo van Leeuwen dengan konsep aktor sosial, berargumen bahwa bahasa tidaklah netral, melainkan merupakan praktik sosial yang secara intrinsik berkorelasi dengan kekuasaan dan ideologi. Menurutnya, wacana (discourse) merupakan arena hubungan kekuasaan diperjuangkan dan ideologi direproduksi atau ditantang. Bahasa merupakan instrumen yang digunakan untuk mempertahankan dan mereproduksi kekuasaan melalui mekanisme diskriminasi, stereotip, dan pembingkaian (framing). Bahasa menunjukkan bahwa kekuasaan tidak hanya tersirat dalam struktur bahasa, tetapi juga tercermin dalam cara wacana mengkonstruksi realitas sosial.
Visualisasi, simbol, dan narasi tekstual secara bersama-sama membentuk cara masyarakat memahami identitas, peran, dan hubungan antarkelompok sosial. Representasi visual misalnya, dapat memperkuat stereotip atau menantang norma yang berlaku, sehingga mempengaruhi cara berpikir dan persepsi sosial.
Labirin Bahasa: Dari “Sapi Perah” sampai “ATM Elit”
Mencermati Gen Z Indonesia melalui media sosial , maka tampak dengan jelas bahwa mereka sedang “meronta dalam sangkar emas” yang selama ini mengurungnya. Kalimat yang muncul di media sosial bukanlah ungkapan metafora kosong. Hal itu merupakan suara kekecewaan mendalam dan keprihatinan terhadap ketidakadilan sistemik, korupsi menggurita, dan mimpi masa depan yang kandas.
Dalam pandangan analisis wacana kritis Norman Fairclough, maka bahasa adalah senjata perlawanan. Kata-kata seperti “kabur”, “sapi perah”, atau “ATM buat elit” adalah kode rahasia yang mengungkapkan “rasa sakit” masyarakat. Terdapat 80 persen dari data postingan media sosial yang diunggah oleh X mentweet dengan bahasa informal dan provokatif dan merupakan gambaran bahasa sebuah generasi yang “lelah berdiplomasi”. Sebagai contoh, @Kopipait_78 mengirimkan tweet, “Capek jadi korban sistem.” “Kabur saja dulu!”. Pada tataran kalimat, hal itu menunjukkan makna ironi, generasi terdidik lebih suka keluar daripada berbicara.
Kondisi prihatin ini dapat dikonfirmasi dengan memperhatikan data BPS tahun 2024, yaitu terdapat ada 9,89 juta (22,25 persen) juta pengangguran di rentang usia 15 hingga 24 tahun, upah minimum tidak berubah di banyak provinsi, daya saing SDM Indonesia yang terus merosot di bandingkan negara kawasan, termasuk kondisi tidak menempuh pendidikan atau tidak menjalani pelatihan (Not in Employment, Education or Training atau NEET) adalah realitas.
Bahasa provokatif yang dimunculkan dalam media sosial X adalah tamparan bagi cerita resmi tentang “Indonesia Emas 2045” yang tampaknya hanyalah ilusi di tengah inflasi dan PHK massal. Situasi ini mengilhami versi baru cerita, “Indonesia Cemas 2045”.
Kognisi Sosial: Saat Patriotisme Menjadi Penjara
Teun van Dijk mengajak kita mencermati pikiran Generasi Z. Cukup banyak survei 2025 menemukan bahwa 65 persen remaja tidak percaya pada janji reformasi dan 97 persen merasa cemas dengan resesi dan pengangguran. Bahkan akun @raffimulyaa berkomentar dengan, “Nasionalisme jadi alat untuk membungkam kritik”, nasionalisme sekarang dianggap sebagai “hukuman penjara”. Realitas yang dihadapi saat ini bukanlah hanya sekedar krisis “iman” dalam artian kepercayaan; melainkan pergeseran ideologis dari romantis nasionalisme ke survivalisme pragmatis.
Data Bank Dunia dari 2024 menunjukkan bahwa tujuh puluh persen pekerja yang meninggalkan Indonesia mengalami peningkatan ekonomi yang signifikan. Mereka menganggap “kabur” sebagai pilihan rasional daripada pengkhianatan.”Biar dianggap tidak nasionalis, asal hidup terjamin,” kata @dian_satriawan yang sedang mempertimbangkan untuk pergi ke Jerman.
Representasi Aktor: Gen Z Melawan “Sistem”
Theo van Leeuwen mengungkapkan cara wacana ini dengan menggambarkan aktor sosial. Gen Z tidak hanya digambarkan sebagai pahlawan tetapi juga korban. Dalam kaitan ini terdapat 95 persen konten menyebut mereka sebagai “subjek aktif” yang mengembara, sementara pemerintah dighosting dalam cerita. Hanya 20 persen tweet menyebut “pemerintah” secara langsung, sementara sebagian besar menggunakan frase pasif, seperti “sistem bobrok” atau “negara gagal”.
Dalam kaitan dengan aktor sosial ini, melalui pendekatan van Leeuwen, maka posisi diaspora Indonesia, telah dianggap dianggap sebagai aktor ideal. Banyak contoh tentang keberhasilan para diaspora, seperti gaji tiga kali lipat di Singapura misalnya. Hal ini menunjukkan bahwa “kabur” adalah solusi yang masuk sangat rasional. Ironisnya, cukup banyak penerima beasiswa LPDP memilih untuk tidak pulang sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah negara kehilangan sumber daya manusianya atau justru sumber daya manusia yang memilih “kabur” dari negara yang tidak mampu memberikan penghargaan kepada mereka?
Indonesia Siap Berubah?
Tagar #KaburAjaDulu telah menjadi alarm merah yang menyala memberikan isyarat yang harus dibaca oleh para pemegang kebijakan. Dalam konteks bahasa, tagar itu adalah perdebatan yang “direncanakan” menentang tren yang terjadi. Jika diabaikan, berpotensi menyebabkan krisis legitimasi. Hal ini mirip dengan “retakan kecil di tembok” yang akhirnya akan menghancurkan struktur bangunan yang ada.
Data tentang pengangguran, ketimpangan, dan kesehatan mental sangat penting (terdapat kurang lebih 34,9 persen remaja mengalami masalah psikologis). Retorika “cinta tanah air” atau slogan nasionalisme tanpa substansi bukanlah solusi. Gen Z membutuhkan perubahan yang signifikan. Transparansi kebijakan yang perlu melibatkan suara generasi ini dalam pembuatan kebijakan. Pencitraan bukan satu-satunya cara untuk memberantas korupsi hingga akarnya. Investasi dalam pendidikan dan kesehatan mental menjadi sangat penting, bukan sekedar rencana besar yang menguras APBN.
Epilog: Menghilang atau Bertahan
Tidak ada pilihan hitam-putih di ujung labirin ini. “Kabur” tidak hanya merupakan cara untuk berlawanan, tetapi juga merupakan pengakuan akan kegagalan kolektif. “Tagar ini sengaja dibuat untuk ngusir SDM berpotensi,” kata @Wufrans. Namun, apakah Indonesia dapat bangkit jika generasi terbaiknya meninggalkan Indonesia?
Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk menentukan jawabannya. Gayung bersambut melalui jawaban Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer Gerungan (Senin, 17 Februari 2025) dan tidak memasalahkan tagar tersebut. “Hastag-hastag enggak apa-apa lah, masak hastag kami peduliin”. Bahkan, beliau menambahkan dengan himbauan WNI yang pergi agar tidak kembali lagi ke Indonesia, “Mau kabur, kabur aja lah. Kalau perlu jangan balik lagi”.
Dalam konteks komunikasi bahasa, jawaban ini berisikan tantangan. Seharusnya hastag itu dibaca dalam konteks dan ruang lebih besar, tidak sekedar apa yang tersurat melainkan membaca tanda yang ada di belakang hastag itu. Alarm merah sudah berbunyi dan menyala, harap mendapat perhatian.
Apakah mereka akan memperhatikan keluhan ini sebagai dorongan untuk perubahan atau apakah dibiarkan menjadi epitaf untuk impian Indonesia Emas pada tahun 2045?. Tagar #KaburAjaDulu saat ini bukan dari sekadar slogan; melainkan gambaran kehidupan nyata Indonesia; Mirror Never Lies. []
- Ketua Umum Linguistik Hukum Indonesia dan dosen Departemen Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran