Tanpa Perubahan Fundamental, Rakyat tak Bisa Berharap Pada Pemilu 2024
Bila yang diperlukan adalah figur pemimpin, berkali kita menemukan dalam polling dan survei para persona yang memiliki elektabilitas tinggi. Bila elektabilitas kita anggap kongruen dengan kepercayaan publik, maka kepada Anies Baswedan, kepada Prabowo Subianto, kepada Ganjar Pranowo, kepada Ridwan Kamil, kepada siapa pun para tokoh yang selalu muncul sebagai harapan publik itu, kita bisa berharap. Biar mereka memimpin kita semua, rakyat banyak, untuk bersama menebas alang-alang yang menutup jalan ke arah kesejahteraan bersama sebagai bangsa.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
Setiap kali membaca artikel tentang Pemilu 2024 mendatang, terutama pada sisi pemilihan presiden (Pilpres), selalu saja terasa bahwa momen tersebut dinanti-nantikan banyak kalangan. Ada makna tersirat bahwa publik menunggu sebuah perubahan, terutama perubahan pemimpin negara, presiden kita.
Memang, meski sejumlah nama rajin digadang-gadang, masih terlalu dini untuk menunjuk seseorang. Namun yang jelas, keinginan untuk adanya pergantian kepemimpinan itu telah nyaris menjadi mainstream. Paling tidak, dari penolakan publik manakala nama Presiden Jokowi ada yang menggadang-gadang untuk memimpin ketiga kali.
Sebenarnya, tanpa harus merenung panjang, hal tersebut lumrah dan masuk akal saja. Common sense warga bahwa aturan hanya memberikan dua kali kesempatan, membuat tidak hanya mereka yang berseberangan pilihan yang telah siap akan datangnya wajah baru. Tapi bahkan batin para pemilih Presiden Jokowi di dua kali Pilpres pun sejatinya telah mempersiapkan diri untuk adanya orang baru di kursi tersebut.
Itu bisa terlihat dari sikap Relawan Jokowi Mania (Joman), serta Sekretariat Nasional Jaringan Organisasi dan Komunitas Warga Indonesia (Seknas Jokowi), dua komunitas terbesar simpatisan Jokowi pada Pilpres 2019. Keduanya tegas menolak tambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Baik atau buruknya kinerja Presiden Jokowi dalam hal ini tak banyak menentukan. Alam bawah sadar publik telah siap untuk munculnya figur baru, sekaligus harapan baru yang warga nantikan lebih bisa mewujudkan mimpi-mimpi kesejahteraan mereka.
Rakyat banyak tak punya penolong
Persoalannya, bisakah sosok yang akan muncul di 2024 itu diharapkan memenuhi tuntutan rakyat akan hidup sejahtera yang kian menggumpal?
Sayangnya, menurut saya, tidak. Betapa pun kuatnya kharisma kepemimpinan seseorang yang akan terpilih di 2024 itu, ia menghadapi persoalan besar yang tengah menggerogoti bangsa, yang saat ini menjadikan kondisi bangsa kurang atau malah tidak sehat. Sementara kita yakin, hanya bangsa yang bugarlah akan mampu mencapai cita-cita kesejahteraan bersama yang diimpikan bahkan oleh para Bapak Bangsa manakala mereka berjuang bersama mendirikan bangsa ini.
Bagaimana mungkin 2024 menjadi harapan rakyat, jika haluan bangsa pun sudah tak lagi mengarah menuju Pulau Kesejahteraan yang sebelumnya menjadi tujuan bersama? Dalam bidang ekonomi, misalnya. Banyak kalangan pemikir kritis melihat bahwa gerak perekonomian Indonesia saat ini sejatinya melenceng dari cita-cita para pembangun negeri (founding fathers). Sementara, alih-alih salah satu cita-cita kemerdekaan menegaskan negara harus memajukan kesejahteraan umum, yang kita dapat saat ini justru disparitas kesejahteraan yang kian senjang. Tak kurang dari Wakil Presiden Ma’ruf Amin sendiri mengatakan, saat ini kesejahteraan ekonomi di Indonesia hanya dirasakan tak lebih dari 21,9 persen penduduk lapis paling atas. Lainnya, kata Wapres mengutip data Susenas 2019, terdiri dari 9,4 persen penduduk miskin, 20,6 persen warga rentan, serta 48,2 persen kelompok masyarakat yang baru tertatih menuju kelas menengah.
Di sisi permodalan, distribusi kepemilikan tanah yang menjadi modal bagi negara yang pernah mendaku diri agraris ini pun memprihatinkan. Indeks GINI pertanahan kita mencatatkan angka 0,59. Artinya, sebagaimana diakui Presiden Jokowi, satu persen penduduk menguasai 59 persen lahan yang ada di negeri ini. Sementara 99 persen penduduk lainnya hanya menguasai 41 persen lahan yang ada. Sangat timpang, tentu.
Wajah bopeng pemerataan kesejahteraan itu kian diperburuk dengan pemberlakuan UU Cipta Kerja yang tidak hanya meminggirkan banyak hak kaum buruh. UU itu juga laiknya menggelar selebar-lebarnya karpet merah kepada para investor pemilik modal, membuka ruang-ruang kemungkinan bagi tergerusnya hak-hak masyarakat adat, petani, nelayan, serta berpeluang mempercepat eksploitasi alam yang akan memicu krisis iklim.
Kajian-kajian awal akan RUU ini telah menunjukkan berbagai ketentuan yang mengerikan. Klausul undang-undang agraria, misalnya, melapangkan jalan bagi pemerintah untuk membangun kawasan industri, jalan tol atau bendungan di atas tanah yang disita dari pemilik perseorangan, memberi ganti rugi kepada pemilik seharga kurang dari nilai tanah, atau dalam beberapa kasus malah tidak menggantinya sama sekali.
Penundaan berlakunya UU ini oleh Mahkamah Konstitusi, meski harus disyukuri, pada dasarnya belum memberikan garansi sekecil apapun bahwa aturan yang berpotensi merusak ini akan masuk keranjang sampah.
Sedikit contoh dari sekian banyak persoalan yang membelenggu langkah Indonesia menuju negara sehat itu cukup alasan untuk membuat kita sebagai warga negara merasa pesimistis. Sejujurnya, hanya relijiusitas, yakni ajaran agama yang mengatakan bahwa pesimisme hanya layak bagi mereka yang tidak beriman, yang bisa menghindarkan warga negara ini pada sikap fatalistik tersebut.
Pasalnya, di negara ini rakyat seolah tak punya penolong. Berharap kepada oligarki yang kian mencengkeram dan mendikte semua aparatur negara, bahkan pemerintah, tentu harapan kosong. Sementara partai politik dan para politisi yang mereka pilih untuk menyuarakan kepentingan publik di DPR pun, terbukti tak peduli. Bila saja para anggota DPR itu punya keberpihakan kepada rakyat, tentu RUU yang menggerus kepentingan rakyat dan potensial memiskinkan kehidupan mereka seperti UU Cipta Kerja, pada saat pengesahannya segera terlempar dari proses legislasi. Disahkannya UU IKN yang banyak mendapatkan kritik sebagai dokumen yang cenderung irasional pun, bagi banyak pihak menunjukkan secara telanjang ketidakpedulian DPR terhadap nasib rakyat dan—bahkan, negara.
Dengan begitu, Pemilu 2024 sejatinya hanya akan menjadi momen pseudo-demokrasi riuh rendah yang digelar hanya untuk melestarikan kepentingan para politisi, parpol dan segelintir oligarki yang telah nyaman dengan semua ini. Bagi rakyat banyak, relatif momen lima tahunan itu tak punya arti.
Menguatnya oligarki
Akan ada yang terpilih dari Pemilu 2024, baik sebagai anggota DPR yang akan mewakili rakyat menerima kesejahteraan, atau pun sebagai presiden dan wakil presiden. Tetapi, mereka relatif tak akan mengubah wajah negeri ini menjadi lebih baik. Kanker ketidakadilan di semua bidang masih akan tetap lestari, karena semua common sense yang digulirkan demi kepentingan rakyat, akan dijegal monster oligarki.
Lihatlah, kurang apa legitimasi kekuasaan Jokowi manakala ia terpilih dalam dua kali Pilpres? Pada Pilpres 2014 Jokowi memperoleh kemenangan dengan suara 53,15 persen suara. Sementara pada Pilpres 2019, Jokowi unggul dengan 55,50 persen suara.
Namun modal itu tersia-sia begitu saja. Jokowi tak bisa menggunakannya untuk melancarkan program-program yang lebih pro-rakyat. Yang terjadi malahan kondisi yang membuat publik melihat betapa ia seperti terbelenggu kepentingan oligarki. Buktinya, yang paling kasat mata adalah UU Cipta Kerja, yang dengan dalih penyederhanaan prosedur atau apa pun tak bisa menutup kepentingan para oligarki di belakangnya. Apalagi manakala kepentingan itu secara telanjang dibenturkan dengan digerusnya hak-hak rakyat kecil. Sementara, dalam kasus mutakhir naiknya harga minyak goreng yang dimulai dengan kelangkaan komoditas tersebut, fakta itu membuat publik secara aklamatif mengatakan bahwa negara terbukti dikangkangi sekelompok kecil orang namun memiliki kekuasaan berkelimpahan.
Benar, sudah sejak lama orang percaya diktum Heraclitus,”Panta rei”, semua mengalir, segala sesuatu berubah. Tapi perubahan Jokowi dari sosok pro-publik menjadi seakan penghamba oligarki itu terjadi kurang dari satu dekade. Kita bisa merunut ke belakang dan mempersaksikan bahwa kecenderungan warga untuk memilihnya, baik sebagai gubernur DKI Jakarta atau pun manakala ia beranjak naik tangga, tak lain dari harapan yang ia pancarkan untuk melindungi dan mengayomi warga masyarakat.
Di sinilah kita bisa melihat betapa pandangan seorang ‘pendukung fanatik’ Jokowi, Marcus Mietzner, yang bisa dikatakan turut bertanggung jawab mengonstruksi Jokowi sebagai representasi aktor reformis yang sangat menjanjikan dalam membawa demokrasi Indonesia lebih baik, keliru, atau barangkali, gagal. Mietzner, Indonesianis dari Australian National University, yang menyatakan diri sebagai penganut pluralisme liberal itu mendefinisikan Indonesia pasca-Orde Baru sebagai arena pertarungan antaraktor, yang mengerucut secara diametral antara kekuatan pro-demokrasi/masyarakat sipil dan yang anti-demokrasi/oligarki.
Ia juga memahami oligarki sebagai aktor, ketimbang sebagai sistem hubungan kekuasaan. Sebab itu, baginya oligarki tidak pernah dominan karena adanya masyarakat sipil sebagai penyeimbang.Bersama eksponen pluralis liberal lainnya, Mietzner pernah memuja demokrasi Indonesia sebagai demokrasi yang sehat dan terkonsolidasi—terutama pada periode pertama era SBY (2004-2009)—karena, menurut dia, adanya resiliensi masyarakat sipil yang mampu menahan kekuatan anti-demokrasi itu. Satu keyakinan dan analisis yang hanya berlaku kurang dari dua tahun setelah Jokowi terpilih sebagai presiden.
Jokowi dan Pak Harto
Fenomena berubahnya kecenderungan Jokowi dari sosok pro-publik menjadi persona yang dirasa kurang peduli itu wajar menerbitkan wacana yang mengaitkannya pada sosok Presiden Soeharto. Keduanya dianggap sama-sama memiliki kepedulian akan rakyat, terutama di awal-awal kepemimpinan nasional mereka. Buruknya eknomi dan kemiskinan massa di periode akhir Orde Lama diyakini publik membuat Soeharto tergerak untuk mengambil peran lebih besar, bahkan dominan di kekuasaan.
Sementara mata Jokowi yang kian terbuka setelah ia menjadi gubernur DKI Jakarta, membuatnya merasa akan lebih powerful dan lebih mungkin menata kehidupan orang banyak ke tingkat yang lebih baik, manakala dirinya menjadi presiden. Sudah menjadi rahasia umum, bahkan bisa di-trace secara digital bahwa Jokowi pernah mengatakan, persoalan klasik, semisal banjir dan kemacetan Jakarta, akan lebih mudah diatasi bila ia jadi presiden.
Meski tiba di kekuasaan dengan niat baik dan hasrat yang sama, terbukti bahwa Soeharto dan Jokowi berbeda fakta dalam keterkaitannya dengan oligarki. Sementara Soeharto membangun para money maker di kekuasaannya, yang bisa diartikan dengan membangun oligarki, sebaliknya yang terjadi pada Jokowi. Manakala presidensi masih menjadi cita-cita Jokowi pun, oligarki Indonesia telah ada dan jumawa. Mereka baru saja mendapatkan kembali pride dan percaya diri setelah ikut jatuh bersama Orde Baru pada masa-masa reformasi.
Alhasil, bila Soeharto membangun oligarki untuk membantu negara dan meminta mereka berkontribusi—ingat imbauan Presiden Soeharto kepada para konglomerat yang dikumpulkannya di Tri S Ranch, Tapos, Ahad, 4 Maret 1990, meminta mereka menyumbang negara guna mengurangi kesenjangan ekonomi–, semua itu nyaris mustahil bisa dilakukan Jokowi. Tidak sebagaimana Soeharto, Jokowi nyaris tak punya kontrol terhadap para konglomerat. Bahkan boleh jadi, yang ada sebaliknya, mengingat para oligarki itulah yang punya potensi membiayai pencalonannya di Pilpres 2014 atau pun 2019.
Sementara, manakala Soeharto memegang erat-erat institusi militer—dalam hal ini Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)—sebagai penyeimbang yang disebutnya dalam jargon ‘stabilisator dan dinamisator’, kita masih bisa meragukan apakah Polri saat ini menempati posisi itu dalam pemerintahan. Yang terasa sebaliknya, yakni lembaga Polri sendiri yang tampak mendesakkan diri, meminta peran untuk menggantikan posisi ABRI itu dalam era pemerintahan saat ini.
Dengan semua uraian bertele-tele di atas, sejatinya saya hanya ingin mengatakan bahwa tanpa ada perubahan tata aturan yang lebih pro-rakyat, Pemilu 2024 sama sekali tak memberikan harapan apa pun untuk kesejahteraan rakyat ke depan. Aktor berganti, tapi yang mereka perankan hanya cerita lama yang bagi public kian basi. Melihat kuatnya sekelompok kecil orang mencengkeram ekonomi dan– akhirnya—politik Indonesia dalam genggaman mereka, harapan untuk kesejahtera-an bersama yang sejatinya adalah tujuan berdirinya negara ini pun terasa makin mewah dan nyaris mustahil diraih.
Jangan putus asa
Pemikir hukum AS, Lawrence M. Friedman, menegaskan bahwa jika hukum (aturan) tak dapat berjalan secara rasional, penyebabnya hanya mungkin hal-hal berikut. Pertama, budaya hukum masyarakatnya bermasalah, ketiadaan aturan untuk urusan tersebut, substansi hukum yang buruk atau penegakan hukum yang tak berjalan.
Dalam kasus ketimpangan kesejahteraan di Indonesia, barangkali hal itu disebabkan substansi aturan yang salah karena tidak pro-rakyat di satu pihak, serta penegakan hukum yang lemah. Pernyataan mutakhir soal keberadaan aturan yang menyebabkan melencengnya biduk negara dari tujuan awal itu dikemukakan Ketua Umum Ormas Syarikat Islam, Hamdan Zoelva. Hamdan terutama menunjuk soal UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Benar, apa yang harus dibongkar begitu mendasar, yakni arah dan aturan. Tetapi kembali, rasa pesimis hanya layak untuk mereka yang alpa dari iman. Bahkan mungkin lebih rendah lagi, mengingat seorang komunis seperti sastrawan Cina, Lu Xun, pun tak pernah kehilangan harapan. “Harapan itu mungkin laiknya jalan di daerah pedalaman, pada awalnya tidak ada jalan setapak semacam itu. Namun sesudah banyak orang berjalan di atasnya, jalan pun itu tercipta,” kata dia.
Interpretasi lain yang mungkin, agar harapan tercipta dan kuat, mungkin ‘jalan’ kecil itu harus kita buat bersama-sama. Makin banyak orang terlibat, akan kian baik dan menguatkan pondasi harapan itu.
Kalau saat ini 2024 tak memberikan harapan datangnya kesejahteraan karena terlampau banyaknya para ‘begal’, mengapa tak bersama-sama meminta para begal itu minggir dari jalan? Bukankah selama ini mereka telah lama menikmati kesejahteraan, dan telah tiba waktunya untuk rakyat banyak ikut mengecap? Toh, kekuatan yang telah ada di tangan mereka pun tak akan membuat mereka kekurangan di masa depan. Yang ada hanya permintaan untuk berbagi, karena memang itulah sejatinya arah yang telah digariskan para pendiri negeri untuk kita ikuti. Enough is enough.
Bila yang diperlukan adalah figur pemimpin, berkali kita menemukan dalam polling dan survei para persona yang memiliki elektabilitas tinggi. Bila elektabilitas kita anggap kongruen dengan kepercayaan publik, maka kepada Anies Baswedan, kepada Prabowo Subianto, kepada Ganjar Pranowo, kepada Ridwan Kamil, kepada siapa pun para tokoh yang selalu muncul sebagai harapan publik itu kita bisa berharap. Biar mereka memimpin kita semua, rakyat banyak, untuk bersama menebas alang-alang yang menutup jalan ke arah kesejahteraan bersama sebagai bangsa.
Kita minta mereka bergandeng tangan di antara sesama tokoh itu. Kita yakinkan bahwa ada hal yang lebih mulia daripada sekadar kontestasi mencari actor pengganti. Sementara cerita hanya berkisar tentang kekayaan yang dibagi-bagi di antara oligarki.
Mungkin pada saatnya akan mengemuka akal sehat, bahwa siapa pun tokoh yang menolak, sejatinya dialah yang sejak saat ini pun telah bersedia menjadi hamba kekuatan maha sekelompok kecil orang itu. Lalu apa yang bisa rakyat harapkan dari dia?
Cara bisa kita diskusikan bersama. Yang jelas, para tokoh tadi secara bersama membangun koalisi antarmereka dan dengan rakyat banyak untuk menghilangkan berbagai pranata kebijakan yang menghambat terwujudnya kesejahteraan bersama sebagaimana dicita-citakan Konstitusi. Mereka harus menyatukan seluruh elemen progresif bangsa, baik itu gerakan mahasiswa, organisasi buruh, perempuan, kelompok-kelompok masyarakat marjinal seperti petani-nelayan, bahkan unsur-unsur kelas menengah yang di Indonesia sering dikatakan kurang progresif.
Gerakan rakyat banyak ini harus didasari kesadaran untuk bekerja bersama menuju kebaikan (fastabiqul khairat) yang mengedepankan kembali sifat gotong royong yang telah lama tumbuh sebagai budaya bangsa. Secara teoritis, budaya gotong royong ini pernah dipopulerkan teorisi Pyotr Kropotkin dalam bukunya “Mutual Aid: A Factor of Evolution” sebagai mutual aid. Caranya persis sebagaimana yang terjadi pada 1998, yakni manakala buruh-mahasiswa-rakyat banyak bergerak, para ibu-ibu berkelompok memberikan dukungan logistik dan kesehatan. Persis sama dan sebangun dengan kelompok umi-ukhti saat mendorong Gerakan 411 dan 212.
Gerakan itu bisa diawali dengan perlawanan-perlawanan yang sporadis, berupa aksi demonstrasi di jalanan, kampanye media, pernyataan sikap serta petisi. Kecintaan public akan media social barangkali bisa diakomodasi dengan memperbanyak tagar yang mendukung gerakan.
Di sinilah pentingnya ada pemimpin. Sebab, gerakan yang melibatkan massa sebanyak apa pun tak akan optimal manakala tiadanya kepemimpinan yang kuat dan kharismatis. Alih-alih, kumpulan massa yang banyak hanya akan menjadi kerumunan tanpa daya, kalau pun tidak kemudian jadi anarkis, atau sebaliknya, dikooptasi elit.
Tentang pasokan massa, seharusnya tidak menjadi kekhawatiran. Kita bisa meyakini optimisme David Graeber, seorang anarkis sekaligus antropolog terkemuka, bahwa barang siapa pernah terlibat langsung aksi perlawanan, niscaya akan tergoda untuk mengulanginya.
Hidup tidak selalu memberi kita hamparan karpet merah. Kalau boleh mengutip Marx, “Manusia membuat sejarah, tapi dalam kondisi yang tak dipilihnya sendiri.” Yang harus dipilih manusia pada hakikatnya hanyalah apa yang ia pandang benar, lalu bergerak dalam upaya konsisten untuk mewujudkannya. Itulah makna istiqamah.
Menurut cendikiawan-ulama Abul Hassan Ali An-Nadwi, salah satu penulis terbaik Sirah Nabawiyah, kondisi salah urus negara umumnya akan memecah para pemimpin massa dan cendikiawan ke dalam beberapa kelompok. Pertama, kaum oposan yang membelot. Kedua, golongan apatis yang menarik diri dari medan politik, menutup mata dan telinga dari perkembangan, hanya mengurus diri sendiri dan putus asa dari upaya perbaikan. Ketiga, kelompok yang menyibukkan diri dengan melancarkan kritik dan desas-desus, tapi usaha mereka ini sama sekali tanpa arti. Keempat kaum kompromis yang gemar berkolaborasi, yang selalu bersedia dikooptasi.
Mungkin, atas nama kebenaran, rakyat banyak harus menjadi kelompok pertama itu: para pembelot. Setidaknya, sikap membelot tidak datang dari rasa frustrasi melainkan justru jadi semacam kreativitas di tengah belenggu kejumudan. Pada saat kisruh, membelot barangkali justru sikap paling bertanggung jawab. Pembelotan akan hal-hal yang batil, justru kreatif karena didasari kepercayaan untuk melakukan segala hal dengan tujuan akhir kebaikan bersama. Pembelotan, dengan kata lain adalah aktivitas yang bebas dan penuh imajinasi, yang mengamini tokoh aktivis Prancis, Jean Jaures, bahwa tidak selalu imajinasi yang liar dan berani itu sesat, justru kekurangan imajinasilah yang lebih buruk. Semua demi kehidupan bersama yang lebih baik. [dsy]