Solilokui

Tentang Menyepelekan ‘Hal Biasa’

Arti lanjutannya, seorang innovator memang dituntut untuk selalu gerah dan terusik. Untuk tak mudah menyandarkan diri kepada jawaban—atau capaian, biasa

JAKARTA—Andai saja saat itu Issac Newton, sebagaimana anak-anak gembala di kampung saya yang menjolok jambu atau mangga di tepian sawah, tak terusik dengan jatuhnya buah apel karena sangat alamiah dan biasa.

Kalau saja Christopher Columbus mencukupkan rasa penasarannya dengan percaya bahwa kekuatan dan daya tangkap matanyalah yang membuat kapal yang bertolak dari Pelabuhan Genoa itu hilang lenyap. Maka entah berapa lama kemudian teori gravitasi ditemukan. Entah berapa tahun setelah pengembaraan Columbus yang ambisius itu maka orang diyakinkan, bahwa sebagaimana kata Galileo Galilei, bumi yang ditempati manusia itu sejatinya bulat.

Sesuatu yang biasa, atau bahkan sangat biasa, memang seringkali mampu menyamarkan kondisi kesejatian. Bukankah  kita pun tahu, sebuah penyamaran hanya akan berhasil bila sang penyamar mampu beradaptasi dan bersikap biasa? Biasa, artinya lebih kepada tak menyolok, tidak menunjukkan perbedaan, serupa dengan atmosfer yang melingkupinya.

Itu yang membuat belalang sembah mampu menangkap mangsa. Menjadi sama dengan lingkungan pula yang membuat londok atau bunglon sukses menyamar dan memerangkap mangsanya untuk makan.

Sebaliknya, karena sepatu yang dipakai terlalu mewah untuk ukuran rakyat biasa yang tengah mengungsi dari perang, Mussolini alias Il Duce tertangkap. Penyamarannya gagal total dan ia pun berakhir dengan kematian di tiang gantungan.

Tidak meremehkan hal-hal biasa juga menjadi syarat seorang innovator. Berbeda dengan orang kebanyakan yang tercukupkan dengan jawaban-jawaban klise, seorang innovator perlu jawaban-jawaban yang tuntas atas pertanyaan-pertanyaan yang mengusik benaknya.

“Mengapa benda jatuh ke bawah?” yang menjadi pertanyaan Newton, tentu tak bisa dijawab ala nenek kita yang hanya akan berkata,” Sudah begitu dari sononya, dari lauh mahfuz…”

Arti lanjutannya, seorang innovator memang dituntut untuk selalu gerah dan terusik. Untuk tak mudah menyandarkan diri kepada jawaban—atau capaian, biasa. Tak ada kata ‘biasa’ bagi seorang innovator, karena ia harus menemukan jawaban tuntas akan pertanyaan-pertanyaan yang memukul-mukul kepalanya.

“Mengapa  target penjualan di kota ini tak pernah bisa tercapai?” tanya seorang salesman sebuah perusahaan produk kelontong kepada dirinya sendiri. Bila ia seorang innovator, ia tak akan puas dengan jawaban pendahulunya di kota itu yang berkata,”Memang daya beli warga kota ini payah..” atau “Kita sudah mati-matian berusaha agar target tercapai..”

Ia setidaknya akan mengecek kebenaran angka daya beli rata-rata penduduk kota, dan dari sana mungkin akan menemukan potensi cara baru untuk mendongkrak penjualannya. Ia juga mungkin akan mencari tahu, apa saja upaya ‘mati-matian’ yang sudah dilakukan itu, serta membedah  upaya tersebut lebih analitis lagi.

Sejatinya, memang tak ada usaha yang sia-sia. Apalagi hal itu jelas-jelas dijanjikan Tuhan dalam firmanNya dalam Alquran, sebagaimana tertulis dalam Al Baqarah 287; “Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan batas kemampuannya. Baginya ganjaran untuk apa yang diusahakannya, dan ia akan mendapat siksaan untuk apa yang diusahakannya….” [ dari catatan 2015]

Back to top button