Tionghoa Indonesia dan Pembauran yang Masih Gagal
Mungkinkah gagalnya pembauran Tionghoa-Melayu di Indonesia hanya disebabkan sebuah pepatah lama yang masih didekap sebagian Tionghoa,”Ikan hanya berkumpul dengan sejenisnya”?
Tentu saja tidak. Terlalu simplistis bila berkeyakinan sebuah kalimat tua bisa menjadi benteng kokoh yang menghalangi pembauran. Juga terlalu menyederhanakan persoalan tanpa membedah terlebih dulu bahwa komunitas Tionghoa Indonesia pun setidaknya terbagi dua. Ada Tionghoa totok, yang hebatnya mampu menjaga kemurnian darah mereka meski leluhur pertama telah datang sejak awal abad 20. Yang kedua, katakan saja, Tionghoa peranakan.
Dalam catatan sejarah, yang pertama memang cenderung mengekslusifkan diri dan tertutup. Pada masa penjajahan Belanda, semua dimungkinkan karena penjajah pun memang membagi warga Hindia dalam kotak-kotak diskriminatif. Sesuai Pasal 163 Indische Staatsregeling, komunitas Tionghoa tergolong golongan Timur Asing (vreemde oosterlingen) yang memiliki posisi lebih baik dibanding warga Melayu (inlander).
Tionghoa kelompok pertama inilah yang cenderung memandang rendah kalangan inlander. Mereka dengan kreatif memiliki banyak penyebutan peyorasi (merendahkan) buat kaum Melayu, misalnya fankui (iblis hitam), tiko (babi hitam), dan hwana (setan hitam). Bandingkan dengan sebutan mengejek yang dimiliki Melayu kepada mereka yang hanya satu: Cina (dengan nada tertentu).
Kelompok totok itulah yang kemudian hari membentuk kelompok bersenjata Pao An Tui yang dalam revolusi kemerdekaan tercatat begitu oportunis. Catatan sejarah juga menegaskan, Pao An Tui di Tangerang dibentuk oleh Chung Hua Hui organisasi para tuan tanah kaya, anak emas Belanda selama sekian ratus tahun yang pro NICA. Sementara di Jakarta, Pao An Tui mendapatkan senjata melalui proses yang melibatkan Jenderal Spoor, komandan NICA. Pao An Tui di Bandung diberi akses ke perdagangan gelap senjata di Singapura oleh Raymond Westerling, si pembantai.
Tetapi jangan pernah menutup mata bahwa ada kalangan Tionghoa yang berperan dalam merebut kemerdekaan. Ada Siaow Giok Tjhan, pahlawan kemerdekaan Indonesia beretnis Tionghoa. Ada Liem Koen Hian,tokoh Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang sejak 1930 mengampanyekan nasiolisme Indonesia bagi masyarakat Tionghoa peranakan.
Ada Tony Wen, keturunan Tionghoa asal Malang membentuk Pasukan Berani Mati untuk menghambat Belanda dalam Perang 10 November di Surabaya. Dan banyak nama lain. Saat itu, kaum minoritas yang berjuang untuk RI kebanyakan tergolong Tionghoa peranakan itu.
Tetapi tampaknya ada faktor lain yang lebih kuat membuat Tionghoa seolah minyak dalam air masyarakat Indonesia. Penguasa. Di zaman penjajahan Belanda, pemerintah kolonial memerlukan tersedianya kambing hitam untuk dikorbankan manakala dibutuhkan. Masyarakat Tionghoa, tentu saja memenuhi syarat untuk itu.
Juga di zaman Orde Baru, meski terkesan setengah hati. Di satu pihak Orba melihat kalangan Tionghoa itu harus menyatu dengan inlander, dan karena itu memaksakan pembauran dengan segala cara. Pelarangan budaya, penghapusan aksara, peng-Indonesiaan nama, misalnya. Hasilnya kita tahu, pembauran memerlukan sebuah proses sosiologis yang alami, dibanding pemaksaan dan tekanan yang dibuat-buat.
Di lain pihak, Orba pun mengerti bara dalam sekam hubungan Tionghoa-Bumiputera membuat posisi Tionghoa penting untuk sewaktu-waktu dijadikan kambing hitam.
Sebenarnya bukan hanya penguasa yang melihat hal itu. Siapa pun yang bermain dalam menata, menskenario dan akhirnya meledakkan kerusuhan Mei 1998, jelas tahu bahwa soal Tionghoa saat itu mudah dijadikan pemantik kerusuhan.
Persoalannya, tidak tuntasnya penyelesaian kasus Mei 1998, alpanya pemerintah melakukan rekonsiliasi, membuat tak harmonisnya hubungan itu seolah menjadi bahaya laten (tersembunyi). Sebagaimana bahaya laten lainnya, tentu saja, persoalan itu hidupdan mungkin pula dihidup-hidupi.
Sukar untuk menutup-nutupi ketidakharmonisan itu. Lebih sulit lagi untuk menunjuk bahwa pemerintah peduli akan hal itu dan mulai melakukan kerja nyata menyambung solidaritas sebangsa. Nyaris tak ada yang dilakukan pemerintah, kecuali kedatangan pimpinan negara setahun sekali pada acara peringatan Cap Go Meh yang seremonial sifatnya.
Sesungguhnya, bisa jadi pembauran sebenarnya harga mati stabilnya hubungan Tionghoa-Melayu di Indonesia. Tetapi pembauran sendiri bukanlah semata asimilasi, apalagi dipaksakan. Keberagaman adalah fitrah, karena itu bila pembauran justru bermakna penyamaan, itu adalah pengingkaran keberagaman.
Tuhan sendiri menegaskan,” Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kamu semuanya kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” (QS Al-Maidah: 48). Keberagaman jelas niscaya.
Karena itu, pengandaian komunitas manusia dengan ikan, tampaknya tak benar. Komunitas Tionghoa, di satu sisi, harus mulai mau mencair dan bergaul dengan kalangan di luar mereka. Pad sisi lain, barangkali kaum inlander pun harus mau mengakui kekurangan mereka. Kurang giat, kurang cerdas, kurang gaul, dan karena itu harus mau belajar.
“Kalau ingin memajukan ekonomi bangsa,”kata Sutan Takdir Alisyahbana,” malah kita seharusnya mencinakan pribumi.” Itu artinya bergaul, berteman, dan sama-sama belajar.