Mutiara Kisah, Pemuda dan Bungkusan Berbalut Sutra
KH Abdullah Gymnastiar
SEORANG hamba Allah bertutur, “Ketika itu aku tinggal di samping kota Makkah, sebuah kota yang semoga selalu dalam penjagaan Allah Ta’ala. Suatu hari aku sangat lapar , sementara aku tidak mendapatkan makanan yang dapat mengganjal rasa laparku.”
Tanpa aku duga aku menemukan sebuah bungkusan berbalut kain sutra diikat kaos kaki dari kain sutra pula. Maka tanpa pikir panjang bungkusan itu aku pungut lalu aku bawa ke rumah dan kubuka. Ternyata berisi seuntai kalung mutiara yang seumur hidup aku belum pernah melihatnya.
Setelah itu, aku keluar rumah. Aku mendengar seorang kakek sedang mencari sebuah bungkusan yang hilang. Dia menjanjikan hadiah sebesar 500 dinar. Kakek itu berkata, ‘Barangsiapa menemukan bungkusan berisi kalung mutiara, uang 500 dinar ini akan aku berikan sebagai imbalan kepada penemunya.’
Aku berkata pada diriku sendiri,’Aku sangat butuh, aku sangat lapar, aku bisa mengambil kalung ini dan memanfaatkannya.’ Tapi aku akan mengembalikannya.
Aku berkata pada kakek itu, ‘Marilah kita ke rumah.’ Aku pun membawanya ke rumahku. Setibanya di rumah, sang kakek menyebutkan ciri-ciri bungkusan yang hilang, diikat kaos kaki, jenis mutiara, jumlah dan benang yang digunakan untuk mengikat mutiara tersebut.
Kemudian aku serahkan bungkusan tadi kepada kakek tersebut. Dia pun memberikan kepadaku 500 dinar sebagai imbalan. Namun, aku menolak. Aku hanya berkata, ‘sudah menjadi kewajibanku untuk mengembalikan temuan ini kepada pemiliknya dengan tanpa mengambil upah.’
Sang kakek berkata, ‘Kamu harus menerima uang ini.’ Dia terus memaksaku untuk mengambil upah tersebut. Aku tidak mau menerimanya sehingga dia pun pergi meninggalkanku.
Adapun cerita mengenai diriku selanjutnya bahwasanya aku meninggalkan Makkah dengan menumpang sebuah perahu. Tanpa aku duga perahu tersebut oleng. Orang-orang pun bercerai berai berikut seluruh hartanya. Namun, aku selamat dari musibah ini berpegangan salah satu papan perahu tersebut.
Beberapa hari aku berada di tengah lautan tanpa arah. Tiba-tiba aku terdampar di sebuah pulau yang berpenduduk. Aku menuju masjid untuk membaca Al-Quran. Di kampung itu tidak ada seorang pun yang bisa membaca Al-Quran. Kemudian mereka mendatangiku untuk meminta mengajari mereka membaca Al-Quran. Dari taklimku ini aku bisa mengumpulkan sejumlah uang.
Suatu hari, aku menemukan beberapa lembar Al-Quran di dalam masjid. Lembaran itu aku pungut. Orang-orang pun bertanya, ‘Apakah kamu bisa menulis?’ Aku jawab, ‘ya’. Kemudian mereka memintaku untuk mengajari tulis menulis termasuk pada anak-anak remaja mereka.
Sejak itu aku mengajari mereka, aku pun bisa mengumpulkan sejumlah uang. Suatu hari masyarakat kampung ini berkata kepadaku, ‘Kami mempunyai seorang gadis yatim sangat kaya, bagaimana jika kamu menyuntingnya?’ Aku menolak tawaran mereka. Mereka tetap memaksaku untuk menikahi gadis tersebut. Akhirnya aku terima tawaran mereka.
Setelah diadakan walimah dan istriku ada di hadapanku, aku mendapati kalung yang dulu pernah kulihat, melingkar di lehernya. Mataku tidak berkedip melihat kalung tersebut.
Orang-orang yang melihatku mengajukan protes, ‘Wahai Ustaz, engkau telah menghancurkan hati gadis yatim ini, sebab engkau hanya menatap kalungnya bukan wajahnya!’
Lalu, aku pun menceritakan kisah kalung tersebut. Orang yang hadir kemudian meneriakkan tahlil dan takbir sehingga terdengar oleh seluruh penduduk pulau tersebut.
Aku menanyakan kepada mereka, ‘Ada apa?’
Mereka menjawab, ‘Kakek yang mengambil kalung darimu itu adalah ayah gadis ini. Kala itu kakek tersebut berkata, ‘Seumur hidupku, aku tidak pernah bertemu dengan seorang pemuda Muslim yang baik seperti dia!’ Sang kakek hanya mampu memanjatkan doa, ‘Ya Allah, pertemukanlah aku dengan pemuda itu agar aku dapat menikahkannya dengan anak gadisku.’ Sekarang doa itu telah dikabulkan Allah.
Selanjutnya, aku tinggal bersama istriku beberapa tahun. Aku dikaruniai dua anak laki-laki. Istriku kemudian meninggal dunia. Dia mewariskan kalung tersebut untukku dan untuk kedua anakku. Tanpa aku duga, dua anak laki-lakiku pun meninggal dunia. Maka tinggalah aku sebatangkara dan menjadi pemilik kalung istriku. Kemudian kalung itu aku jual dengan harga 100 ribu dinar. Hartaku yang bisa kalian lihat sekarang ini adalah sisa-sisa harta itu.” (Dzail Thabaqatul Hanafiah, 1-196, dalam 99 kisah orang saleh, Muhammad bin Hamid Abdul Wahab, Darul Haq, 2011 M).
Saudaraku, siapakah lelaki saleh dalam kisah ini; lelaki yang telah menjadikan kejujuran dan peneladanan terhadap Al-Mu’min sebagai bagian dari darah dan dagingnya? Dialah Imam Al-Bazzar. Nama lengkapnya Al-Qadhi Muhamad bin Abdul Baqi’ Al-Anshari Al-Bazzar, seorang ulama hadis terkemuka. Beliau dikenal pula dengan julukan Qadhi Al-Marastan. Beliau meninggal pada 535 Hijriyah. ***
* Sumber: Buku Asmaul Husna Untuk Hidup Penuh Makna