Spiritus

Salman Al-Farisi, Kisah Seorang Pencari Tuhan Sepanjang Hayat

Tatkala mereka menyaksikan sendiri pundi-pundi berisi emas dan perak itu, mereka berkata: “Demi Tuhan, kita tidak akan menguburkannya.” Mereka memaku jasadnya di atas salib dan melemparinya dengan batu.

Oleh  :  Watung Arif Budiman

JERNIH– Ini adalah kisah tentang seorang pencari kebenaran, diawali lewat kata-kata yang diceritakannya sendiri:

Aku hidup dan tumbuh di Kota Isfahan, Persia, di sebuah desa bernama Jayyan. Ayahku adalah seorang dihqan atau kepala suku di desa tersebut. Ia orang terkaya di sana dan memiliki rumah yang paling besar.

Sejak kecil, ayah mencintaiku, lebih dari rasa cintanya kepada siapa pun. Seiring waktu berlalu, rasa cintanya menjadi sedemikian kuat hingga membuatnya takut kehilangan atau khawatir terjadi sesuatu padaku. Maka ia mengurungku di rumah seperti tawanan, tak ubahnya seperti gadis pingitan.

Aku menjadi penganut Majusi (Zoroaster) yang teguh hingga aku memperoleh posisi sebagai penjaga api. Tugasku adalah memelihara agar api-api itu tetap menyala, tidak padam barang sejenak, siang dan malam.

Ayahku memiliki perkebunan luas yang memberikan hasil panen yang amat berlimpah. Ia sendiri yang menjaga perkebunan itu beserta hasil panennya. Suatu hari, ketika perhatiannya begitu tersita oleh tugasnya sebagai dihqan di desa, ia berkata kepadaku:

“Anakku, seperti yang kau lihat, aku sangat sibuk dan tidak ada waktu untuk melihat perkebunan. Pergilah ke sana dan awasi kebun-kebun itu untukku hari ini.”

Di tengah perjalanan menuju kebun, aku melewati sebuah gereja Nasrani yang suara alunan doa-doanya menarik perhatianku. Aku tak tahu menahu tentang agama ini atau pemeluk agama mana pun karena ayahku telah mengucilkanku di rumah jauh dari orang-orang. Ketika kudengar orang-orang Nasrani ini, aku pun masuk ke dalam gereja untuk melihat apa gerangan yang mereka lakukan.

Aku terkesan oleh cara-cara mereka dan merasa tertarik pada agama ini. “Demi Tuhan,” batinku, “ini lebih baik dari agama kami. Aku akan tinggal sebentar di sini hingga senja.”

Aku bertanya dan diberitahu bahwa agama ini berasal dari Asy-Syam (Syria). Hari itu aku membatalkan rencanaku ke kebun, dan kala malam tiba, aku pun kembali ke rumah. Ayahku menemuiku dan bertanya apa saja yang telah aku lakukan. Aku ceritakan kepadanya tentang pertemuanku dengan orang-orang Nasrani dan betapa terkesannya aku pada agama mereka.

Ia terkejut, dan berkata: “Anakku, tak ada kebaikan apa-apa pada agama itu. Agamamu dan agama nenek moyangmu lebih baik.”

“Tidak, agama mereka lebih baik dari agama kita,” desakku.

Ayahku menjadi sangat kecewa dan cemas kalau-kalau aku berniat meninggalkan agama kami. Maka ia pun mengurungku di dalam rumah dan mengikat kakiku dengan rantai. Meski demikian, aku sempat mengirimkan pesan pada orang-orang Nasrani dan meminta mereka agar memberitahuku bilamana ada karavan pergi menuju Syria. Tak berapa lama, mereka mengirimiku kabar bahwa ada sebuah karavan menuju Syria. Aku pun berhasil meloloskan diri dari rumah dan diam-diam pergi bersama karavan itu ke Syria. Sesampai di sana, aku mencari tahu siapa pimpinan puncak agama Nasrani dan ditunjukilah aku kepada seorang uskup gereja.

Aku menemuinya dan berkata: “Aku ingin menjadi pemeluk Nasrani dan membantu gereja, berguru kepadamu dan berdoa bersamamu.”

Sang uskup setuju dan aku pun menjadi pelayan gereja. Namun, tak berapa lama aku mendapati orang tersebut korup. Ia memerintahkan para pengikutnya untuk berderma seraya berjanji akan memberkati mereka. Namun ketika mereka telah menyisihkan uang di jalan Tuhan, ia menyimpannya untuk dirinya sendiri dan tidak memberikannya kepada fakir miskin atau orang-orang yang membutuhkan. Dengan cara ini, ia telah menghimpun begitu banyak emas. Ketika uskup itu meninggal dan orang-orang Nasrani berkumpul hendak menguburkannya, aku ceritakan tabiat korupnya dan atas permintaan mereka, aku tunjukkan di mana ia menyimpan semua uang hasil derma.

Tatkala mereka menyaksikan sendiri pundi-pundi berisi emas dan perak itu, mereka berkata: “Demi Tuhan, kita tidak akan menguburkannya.” Mereka memaku jasadnya di atas salib dan melemparinya dengan batu.

Aku tetap menjadi pelayan gereja ketika orang lain menggantikan posisinya. Uskup yang baru adalah seorang rahib yang berhasrat penuh pada Akhirat dan senantiasa beribadah siang dan malam. Hidupku tercurah padanya dan aku banyak menghabiskan waktu bersamanya.

(Setelah kematian uskup baru ini, Salman lalu berguru pada beberapa tokoh Nasrani di Mosul, Nisibis dan berbagai tempat lain. Dari guru terakhirnya, ia mendengar ramalan tentang kemunculan sesosok Nabi di tanah Arab yang nantinya akan dikenali dari kejujuran hati yang kuat sebagai ciri-cirinya, yakni orang yang tak menolak bila diberi hadiah, namun pantang memakan derma (shadaqah) bagi dirinya. Salman pun melanjutkan kisahnya.)

Sekelompok orang Arab dari suku Kalb singgah di kota Ammuriyah dan aku meminta mereka untuk membawaku ke tanah Arab dengan bayaran berapapun uang yang aku miliki. Mereka setuju dan aku pun membayarnya. Ketika kami sampai di Wadi al-Qura (sebuah daerah di antara Madinah dan Syria), mereka melanggar perjanjian dan menjualku sebagai budak kepada seorang Yahudi. Aku bekerja sebagai pelayan baginya, namun kemudian ia menjualku kepada seorang kemenakannya dari Banu Qurayzah. Kemenakan ini membawaku ke Yatsrib, kota pohon kurma — begitulah orang-orang Nasrani di Ammuriyah menyebutnya.

Mada’in

Sekelompok orang Arab dari Suku Kalb sampai di kota Ammuriyah dan aku meminta mereka untuk membawaku ke tanah Arab dengan bayaran berapa pun uang yang aku miliki.

Kala itu Nabi sedang gencar mengajak orang-orang di Mekkah untuk masuk kepada Agama Islam, namun kabar ini tak sampai ke telingaku karena tugas-tugasku yang demikian berat sebagai budak.

Tatkala Nabi sampai di Kota Yatsrib setelah hijrahnya dari Mekkah, kala itu aku sedang bekerja di atas pohon kurma milik majikanku, sementara majikanku duduk di bawah pohon. Datanglah salah seorang kemenakannya dan berkata: “Semoga Tuhan memerangi Aws dan Khazraj (dua suku Arab terbesar di Yatsrib). Demi Tuhan, mereka kini berkumpul di Quba menemui seorang dari Mekkah yang mengklaim dirinya Nabi.” (Teringat akan ramalan guruku dahulu), tiba-tiba aku merasakan gejolak yang membara begitu mendengar berita itu dan tubuhku menggigil sampai-sampai aku khawatir jatuh menimpa majikanku. Aku turun dengan cepat dari atas pohon dan serta merta berkata kepada kemenakan majikanku, “Apa yang tadi kau katakan? Ulangi kabar itu.”

Majikanku sangat marah dan menamparku dengan keras. “Apa urusanmu? Kembali bekerja!” bentaknya.

Sore itu, aku kumpulkan beberapa kurma dan kubawa ke tempat Nabi tinggal. Aku menghampirinya dan berkata: “Aku mendengar Tuan seorang suci dan Tuan bersahabat dengan orang-orang dan siapa saja yang membutuhkan. Terimalah ini dariku sebagai shadaqah. Tuan tampak lebih layak mendapatkannya dari yang lain.”

Nabi menyuruh para sahabat memakannya namun ia sendiri tidak memakannya.

Aku kumpulkan lagi beberapa kurma dan ketika Nabi hendak meninggalkan Quba menuju Madinah, aku pergi menemuinya dan berkata: “Tuan tidak memakan shadaqah yang aku beri tempo lalu. Namun kini kubawakan sebagai hadiah untuk Tuan.” Dari kurma-kurma ini, baik Nabi maupun sahabat-sahabatnya pun memakannya.

**

Kejujuran hati Sang Nabi inilah salah satu faktor yang membuat Salman mempercayainya dan kemudian menerima Islam sebagai agamanya.

Salman dibebaskan dari perbudakan oleh Nabi setelah membayar kepada majikan Yahudinya sejumlah uang dan beberapa pohon kurma yang ditanamnya sendiri sebagai balasan bagi pembebasannya. Setelah memeluk Islam, Salman selalu berkata ketika ditanya ia anak siapa:

“Aku Salman, anak Islam dari keturunan Adam.”

Salman memainkan peran yang sangat penting dalam perjuangan masyarakat Muslim yang sedang tumbuh kala itu. Di Perang Khandaq, ia adalah inovator dalam strategi militer. Ia menyampaikan gagasan untuk membuat parit di sekeliling Madinah dalam menangkal tentara Quraisy. Tatkala Abu Sufyan, pemimpin orang-orang Mekkah, menyaksikan parit itu, ia berkata: “Strategi ini belum pernah digunakan oleh bangsa Arab sebelumnya.”

Salman terkenal sebagai “Salman Yang Baik” (Salman Al-Khair). Ia adalah seorang ulama yang menjalani kehidupan zuhud. Ia hanya memiliki sehelai jubah yang dipakainya, dan sehelai satu lagi sebagai alas tidurnya. Ia tak akan mencari naungan dari atap-atap rumah, melainkan lebih suka tinggal di bawah pohon atau di balik dinding. Pernah ada yang menawarkan kepadanya: “Maukah kubangunkan sebuah rumah untukmu tinggal?” “Aku tak perlu rumah,” jawabnya.

Orang tersebut memaksa, “Aku tahu rumah macam apa yang cocok denganmu.”

“Coba katakan padaku,” ujar Salman.

“Kubuatkan rumah yang jika engkau berdiri di dalamnya, atapnya akan melukai kepalamu. Dan jika engkau meregangkan tubuhmu, maka dinding-dindingnya akan melukai kakimu.”

Di kemudian hari, sebagai gubernur Mada’in (Ctesiphon) dekat Baghdad, Salman memperoleh upah lima ribu dirham. Upah ini dibagikannya semua sebagai shadaqah. Ia hanya mau hidup dari kedua tangannya. Orang-orang yang berkunjung ke Mada’in melihatnya sedang bekerja di pohon-pohon kurma. Mereka berkata, “Tuan adalah seorang amir di sini dan kesejahteraan Tuan telah dijamin, tapi mengapa Tuan mengerjakan hal-hal semacam ini?”

“Aku lebih suka makan dari hasil kedua tanganku sendiri,” jawabnya.

Namun Salman bukanlah orang yang berlebih-lebihan dalam kehidupan zuhud-nya. Suatu kali ia menemui Abu ad-Dardaa di mana Nabi telah mengajaknya untuk masuk Islam. Ia mendapati istri Abu ad-Dardaa dalam keadaan sedih, “Ada apa denganmu?”

“Saudaramu itu (Abu ad-Dardaa) tidak butuh apa-apa di dunia ini,” keluh istrinya.

Ketika Abu ad-Dardaa datang, ia menyambut Salman dan menawarinya makan. Salman pun mengajaknya makan bersama, namun Abu ad-Dardaa menjawab, “Aku sedang puasa.”

“Aku bersumpah tak akan menyentuh makanan ini sampai engkau pun ikut makan,” tukas Salman pula.

Salman lalu menghabiskan sisa harinya dan menginap di sana. Tatkala malam tiba, Abu ad-Dardaa bangun namun Salman menahannya dan berkata: “Wahai Abu ad-Dardaa, Tuhanmu memiliki hak atasmu. Keluargamu punya hak atasmu dan tubuhmu pun punya hak atasmu. Penuhilah hak mereka masing-masing.”

Ketika subuh tiba, keduanya sholat bersama lalu pergi menemui Nabi. Nabi menyetujui apa-apa yang diucapkan Salman.

Sebagai ulama, Salman dikenal karena wawasan pengetahuannya yang luas dan kebijaksanaannya. Ali pernah menyebutkan bahwa ia serupa dengan Luqman Al-Hakim. Ka’b al-Ahbar suatu kali berujar, “Salman memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan. Samudera yang tiada pernah kering.” Salman memiliki pengetahuan tentang kitab-kitab Nasrani dan Al-Qur’an, selain pengetahuannya tentang agama moyangnya, Zoroaster. Salman bahkan menerjemahkan beberapa bagian Al-Qur’an ke bahasa Parsi tatkala Nabi masih hidup. Ini menjadikannya sebagai orang pertama yang menerjemahkan Al-Qur’an ke bahasa asing.

Salman, karena pengaruhnya yang kuat di tanah airnya, sebenarnya bisa saja menjadi figur utama bagi Kekaisaran Persia kala itu. Namun keteguhannya dalam mencari kebenaran, bahkan sebelum kemunculan Nabi, telah membawanya lepas dari kehidupan yang nyaman dan mewah, bahkan merasakan derita dalam perbudakan. Menurut riwayat yang terpercaya, ia meninggal dunia di Ctesiphon, pada tahun ketiga puluh lima setelah hijrah, semasa kekhalifahan Utsman. [  ]

(Diterjemahkan dari buku “Companions of Prophet” v. 1, karya Abdul Wahid Hamid. Kisah di atas juga termaktub dalam beberapa hadits, di antaranya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al Musnad (5/441-444), Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat (4/53-570), ath-Thabrani dalam Mu’jamul-Kabir (7/272/6065) dari Ibnu ‘Abbas.)

Link asli: https://www.qudusiyah.org/id/blog/2016/06/25/salman-al-farisi/

Back to top button