Spiritus

Setetes Embun: Haggadah dan Halakkah

Penulis: P. Kimy Ndelo CSsR

Dengan mengasihi maka kita memperlihatkan wajah Allah yang penuh kasih. Dengan mengampuni maka kita menunjukkan pribadi Allah yang pengampun. Dengan berbuat baik maka kita mengajarkan Allah yang mahabaik.

JERNIH-Tradisi Rabbinik Yahudi membagi ajarannya dalam dua bagian terpisah: HAGGADAH dan HALAKKAH. Keduanya bertujuan agar iman sehat dan lestari.

Haggadah berupa kisah, narasi atau teks-teks doa yang bertujuan agar membangun komunikasi antara Allah dan orang beriman. Contohnya adalah doa-doa Daud dalam kitab Mazmur. Kekuatan dan daya tahan diperoleh melalui doa.

Halakkah merupakan aturan-aturan atau hukum yang mewajibkan orang beriman hidup taat kepada Allah. Halakkah secara harafiah bisa berarti “berjalan” dan hal itu merujuk pada Keluaran 18,20:

“Kemudian haruslah engkau mengajarkan kepada mereka ketetapan-ketetapan dan keputusan-keputusan dan memberitahukan kepada mereka JALAN yang harus dijalani dan pekerjaan yang harus dilakukan”.

Perutusan para murid seperti dikisahkan dalam Injil hari ini (Mrk 6,7-13) merupakan ekspresi nyata dari Halakkah, karena mereka tahu “jalan kemana mereka harus pergi dan apa yang harus mereka lakukan”.

Yesus telah mengutus para muridnya berdua-dua dan telah mempercayakan kuasa ilahi kepada mereka. Sekarang adalah tanggungjawab mereka berjalan di jalan itu.

Bagaimana perutusan itu harus dilakukan? Dengan menjadi SAKSI atau Witness. Itulah alasan mengapa harus berdua karena kesaksian satu orang saja dianggap tidak sah.

Rabbi Abraham Joshua Heschel pernah menulis begini: “Jika tidak ada SAKSI tak ada perjumpaan dengan Allah. Agar Allah hadir maka harus ada orang yang memberi kesaksian. Kita tidak bisa memberi bukti tentang keberadaan Allah. Yang ada adalah kesaksian tentang Allah itu”.

Dan itulah tugas pertama dan terakhir dari setiap orang yang diutus. Segala hal lain yang datang belakangan adalah buah dari kesaksian itu. Tentu saja ini bukan pekerjaan yang mudah. Bersaksi tentang Allah dan segala karya-Nya bisa mendatangkan penderitaan bahkan kematian.

Menjadi martir, dalam bahasa Yunani berarti menjadi saksi. Artinya apa? Menjadi saksi bisa menjadi jalan yang membawa kita pada kematian. Itulah pengalaman para murid di jaman dulu, khususnya pada abad-abad pertama.

Menjadi martir di jaman modern kini bisa berarti MATI terhadap segala keinginan dan hawa nafsu yang justru membawa kita jauh dari jalan Tuhan. Cara kita hidup adalah kesaksian nyata bagaimana realitas Allah itu.

Dengan mengasihi maka kita memperlihatkan wajah Allah yang penuh kasih. Dengan mengampuni maka kita menunjukkan pribadi Allah yang pengampun. Dengan berbuat baik maka kita mengajarkan Allah yang mahabaik.

Mahatma Gandhi, pemimpin besar India, suatu ketika didatangi seorang ibu dan anak perempuannya berumur 5 tahun. Ibu ini minta tolong Gandhi untuk menasehati anaknya karena kecanduan makan permen manis. Setelah melihat sekilas ibu dan anak itu, Gandhi berkata supaya datang lagi setelah tiga minggu dan dia akan memberi resepnya.

Tiga minggu kemudian ibu ini datang lagi bersama anaknya. Gandhi memanggil anak itu, berbicara empat mata dan anak itu keluar dengan janji akan berhenti makan permen. Ibu itu sangat lega, tapi masih penasaran kenapa harus menunggu tiga minggu baru memberi nasihat.

Gandhi menjawab: “Tiga minggu lalu saya juga masih kecanduan makan permen. Dan butuh waktu tiga minggu bagi saya untuk berhenti total. Hanya dengan kesaksian ini saya bisa meyakinkan anak ibu”.

Menunjukkan jalan saja tidak cukup. Kita harus berada di jalan itu. Itu baru namanya kesaksian.

(Ditulis di Biara Santo Alfonsus-Konventu Weetebula, Sumba tanpa Wa).

Back to top button