5 PUISI JUNIARSO RIDWAN

EVA
Eva, cintaku tak bertepuk sebelah tangan
Di malam bergemuruh
Di udara menggumpal
Selimut, bantal, handuk dan sianida
Telah merengkuh fantasi kita
Kini aku bukan penguasa dunia
Kekerasan nafsuku
Kekejian pikiranku
Aku ingin merayakan kesepian
Berdua, dalam keindahan dan kehangatan jari-jarimu
Auschwifz, holocaust, bunga matahari pada musim semi
Eva, aku seutuhnya dalam ragamu
Aku adalah buritan jantungmu
Dalam pelangi penuh cinta:
“Fuhrer,
Bandung, 2024
*
CATATAN REDAKSIONAL
Eva dan Sianida: Saat Sejarah dan Nafsu Berpelukan dalam Puisi Juniarso”
Oeh Irzi Risfandi
Juniarso Ridwan, politisi Bandung yang juga dikenal sebagai penyair sentral Forum Sastra Bandung, kembali melemparkan batu puitiknya ke tengah danau sastra Indonesia yang tenang-tenang bergelombang. Puisi berjudul “Eva” ini bukan main-main: ia dibuka dengan asmara, meluncur ke udara yang menggumpal, dan tiba-tiba menampar kita dengan “selimut, bantal, handuk dan sianida.” Di situlah kita tahu: ini bukan puisi cinta biasa, ini adalah monolog dari—ya, bisa jadi—Adolf Hitler sendiri, yang menyapa Eva Braun dari dunia penuh gumpalan sejarah dan dosa. Dan Juniarso, sebagai penyair-politikus, tidak hanya menulis dengan pena, tapi juga dengan percikan sejarah dan humor yang mengilukan.
Diksi-diksi yang digunakan terasa seperti hasil perbincangan antara arsip dan libido. Kata “sianida” jelas bukan hanya efek dramatik, tapi juga pemicu narasi sejarah: kita diingatkan pada cara Eva dan Hitler meninggalkan dunia. Tapi lihat bagaimana Juniarso memutar arahnya, menjadikan kematian itu bukan sebagai akhir, melainkan “fantasi kita.” Kata “fantasi” di sini bukan cuma erotik, tapi juga apokaliptik. Ini bukan sekadar romansa noir, tapi juga teater kemanusiaan yang kabur batasnya antara cinta dan kehancuran. Ia menulis puisi seolah menyutradarai adegan terakhir pasangan paling kontroversial abad ke-20, dan justru di sanalah puisinya mengiris perasaan dan logika kita.
Secara struktur, puisi ini terkesan seperti catatan cepat dari dalam bunker: tak panjang, tetapi padat dengan ledakan emosi dan sejarah. Ada pengakuan (“Aku bukan penguasa dunia”), ada pengingkaran (“Aku ingin merayakan kesepian”), ada juga kesan blasé atas kehancuran yang telah dilakukan. Lalu, mengapa Holocaust dan bunga matahari bisa berdampingan? Mungkin karena Juniarso ingin menegaskan betapa absurditas manusia bisa seanggun sekaligus sekejam itu. “Auschwifz” (yang tampaknya adalah ejaan alternatif dari Auschwitz) bukan sekadar simbol tragedi, tetapi latar dari sebuah roman tragik yang ironisnya—penuh estetika.
Dan ketika larik pamungkas menyapa kita dengan “Fuhrer”, ada semacam dentum yang tak bisa tidak membuat kita menoleh. Apakah penyair sedang mengolok-olok kultus tokoh? Atau justru menyindir bagaimana cinta bisa menjadikan siapa pun (bahkan diktator sekalipun) sebagai pujangga? Kekuatan puisi ini adalah ia tidak pernah menjawab. Ia cuma berbisik di telinga kita dengan sinisme yang lembut. Ia seperti berkata: “Hei, bahkan para tiran pun bisa jatuh cinta, dan cinta mereka pun bisa seromantis sekaligus seberbahaya sianida.”
Juniarso Ridwan adalah contoh langka: ia membawa logika penguasa kota ke dalam estetika puisi yang meledak-ledak. Lahir tahun 1955 dan pernah menjabat sebagai Kadis Tata Ruang Kota Bandung, dia tahu betul bagaimana menyusun struktur, baik bangunan maupun bait. Maka tak heran jika puisinya selalu terasa kokoh sekaligus gila. “Eva” bukan sekadar elegi, bukan pula satire murni. Ia adalah permen keras dalam pembungkus beledu. Dan seperti hubungan Eva dan Hitler, puisi ini membuat kita geli, meringis, tapi tak bisa berhenti membacanya—lagi dan lagi.
2025
*
MATA BIRU SAFIR
Silhuet rambut kesturi
Berkibar di pantai masa lalu
Mendesah hingga puncak pohon randu
Tangan-tangan berbulu halus meronta
Menggayut di runcing karang J
Menggapai bayangan senja temaram
Bisikanmu, eranganmu
Menjalar di pasir sesunyi nyeri
Oh, mata biru safir:
Dadamu adalah belantara keriuhan
Bibirmu sungguh jadi panggung orkestra
Gigimu merangsang banjir di hulu
Kini aku cari tepian yang menggairahkan.
Bandung, 2024.-
*
BAJINGAN
Berpalinglah dari jalan tol
Dari gedung tinggi dan
Kawat-kawat berduri;
Karena bukan kitab suci untuk
Mengebiri kemiskinan
Di sejengkal ususmu
Hutan meranggas, rakyat sekarat,
Langit terbakar
Tentu saja, kedunguan jadi berhala
Sesembahan, lalu kefakiran Jadi
Barang kelontong
Di gigir senja kuketuk pintu-pintu tertutup,
Menyertai langkah senyap:
Semakin kusadari tubuhku renta
Membentur tembok
Kubayangkan kau tertawa, bajingan.
Bandung, 2024.
*
SESUATU YANG MELATA
Ada sesuatu yang melata
Di bulan Oktober:
Termometer bisu
la menerkam benak
Seperti buah sawo
Tapi ia serupa mikroba juga
Yang menggerogot dasar hati
Barangkali lelehan nafas
Merambat sepanjang urat
Di saat kau berteriak
Sejenak kau dilupakan
Ada yang melata
Di seluruh tubuh HN
Apakah ia pembunuh?
Di penghujung Oktober
la bertakhta di ubun-ubun,
Bandung, 2024
*
RUMAH
Di hamparan selembar Rp. 50,000,- rumah itu berdiri kokoh
Berulangkali telapak matahari mengusapnya penuh kasih sayang
Pohon-pohon rindang sepanjang hari menarinari mengiringi hembusan angir
Yang menyasar dari lembah di kejauhan I
Rumah itu layaknya kekasih
Yang digandrungi dan dirindukan
Tempat untuk tetirah dan persinggahan
Sepanjang musim
Tempat berseminya doa-doa malam yang dingin
Tempat harapan bertunas dalam elahan nafas
Di sini cinta menemukan dirinya
Menggerakkan masa lalu berbaur dengan
Bayang-bayang :
Rumah adalah terminal bagi jiwa
Yang berserakan
Bandung, 2024.
*
BIODATA :
Juniarso Ridwan, lahir di Bandung, 10 Juni 1955. Semasa mahasiswa di Institut Teknologi Bandung (ITB), aktif dalam Grup Apresiasi Sastra (GAS) dan Studi Teater Mahasiswa (Stema). Ia juga turut mengelola Forum Sastra Bandung (FSB) sejak masa muda hingga kini.
Karya-karyanya tersebar di berbagai media massa, antara lain: Pikiran Rakyat, Kompas, Mandala, Pelita, Media Indonesia, Suara Karya, Aktuil, Bandung Pos, Suara Merdeka, Galamedia, Mangle, Galura, Kania, Cupumanik, Republika, Horison, Ulumul Qur’an, dan lainnya.
Beberapa kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit antara lain:
– Dua Penyair di Depan (1976)
– Penipu Waktu (1979)
– Robocop (1994)
– Tanah Terluka (1996)
– Air Mengukir Ikan (2000)
Puisinya juga termuat dalam berbagai antologi bersama, seperti Orba (1994), Malam 1000 Bulan (1994), Cermin Alam (1996), Dari Bumi Lada (1996), Songket I (1996), Sajak Kudus (1997), Tangan Besi (1997), Kitab Puisi Indonesia: Horison Sastra Indonesia (2002), dan Gelombang Mata Langit (2003).
Saat ini, Juniarso Ridwan aktif dalam kegiatan sosial dan politik di wilayah Jawa Barat.