SpiritusVeritas

Allah, Rabbul Mustadh’afin [1]: Karunia untuk Yang Tertindas

Di saat itu, ketika Tuhan dianggap memihak para raja, Muhammad SAW berdoa di kebun Utbah bin Rabi’ah dengan kaki yang berlumuran darah, “Ya Allah, kepada Engkau kuadukan kelemahan tenagaku, kekurangan diriku, dan kerendahanku di hadapan manusia. Ya Allah, yang paling kasih dari segala yang mengasihi, Engkaulah Tuhan yang memelihara kaum tertindas, Engkaulah Rabbul Mustadh’afin.”

Oleh  : Jalaluddin Rakhmat*

JERNIH– Ibnu Mas’ud, seorang sahabat yang fakir, pernah bercerita tentang pengalamannya bersama Nabi SAW, ”Pembesar-pembesar Quraisy bermaksud menemui Rasulullah. Mereka mengutus Al-Aqra bin Habis at-Tamimi dan Uyainah bin Hushain. Mereka melihat di sekitar Rasulullah s.a.w. duduk Suhaib, Bilal, Khabab, Ammar, dan orang-orang seperti mereka dari kalangan dhu ‘afa Muslimin.

Mereka berkata, “Orang-orang terkemuka Arab akan datang menemuimu dan kami malu. Mereka akan melihat kami duduk dengan budak-budak yang hina ini. Apakah kau senang mempunyai pengikut seperti mereka? Apakah kami harus ikut mereka? Apakah mereka orang yang diberi karunia oleh Allah? Usirlah mereka dari sisimu. Jika engkau mengusir mereka, kami akan menjadi pengikutmu.”

Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat:

Dan janganlah kamu “mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki ridha-Nya” . . . sampai akhir ayat QS 6:52.

Rasul yang mulia tidak mengusir mereka. Bahkan sejak turun ayat ini, Nabi SAW makin sering duduk bersanding beserta mereka.

Peruntuh Tahta Kisra

Inilah Nabi kaum mustadh’afin yang tidak segan-segan mengendarai keledai, menjahit baju janda tua yang miskin, memeluk orang dusun, memperbaiki sandal anak yatim. Inilah Nabi kelompok tertindas yang menjawab pertanyaan orang yang ingin mengetahui di mana ia dapat ditemui, “Carilah aku di tengah, tengah kaum dhu’afa. Bukanlah kalian ditolong dan diberi rizki karena bantuan orang-orang dhu’afa kalian?”

Inilah Abul Fuqara yang tidur di atas tikar kasar, sujud di atas tanah, tinggal di gubuk kecil yang hanya diisi ghariba air, dan berdoa, “Ya Allah, himpunkan aku pada hari kiamat beserta orang-orang miskin.” Inilah pemimpin orang kecil yang wajahnya muram melihat penderitaan mereka, dan bersinar-sinar karena melihat kebahagiaan mereka.

Suatu hari lewatlah di depan beliau seseorang. ” Bagaimana pendapatmu tentang orang ini?” tanyanya. ”Ini laki-laki ter hormat. Demi Allah, ia orang mulia. Kalau melamar, akan dinikahkan. Kalau minta prioritas, akan didahulukan.” Nabi SAW diam.  

Lewatlah orang yang lain. ”Bagaimana pula pendapat kamu tentang dia?”tanya Rasulullah SAW. “Ya Rasulullah, orang ini sebagian dari fukara Muslimin. Kalau melamar, tidak dinikahkan, kalau meminta keistimewaan tidak diberikan, kalau bicara, tidak didengarkan.”  Nabi berkata,”Ia lebih baik daripada sepenuh bumi orang yang tadi.”

Inilah Nabi akhir zaman yang mengembuskan harapan kepada kaum tertindas, mengangkat derajat mereka di atas para bangsawan dan raja-raja, membangkitkan semangat hidup mereka, menanamkan harga diri mereka, sehingga kelak . . . mereka memacu kudanya ke sebelah utara dan meruntuhkan tahta Kisra dan Kaisar.

Sejarah menyaksikan langkah-langkah tegap salah seorang di antara mereka ketika memasuki istana Panglima Rustam dan menambatkan keledainya pada kursi yang gemerlapan seraya berkata, “Kami kaum pilihan Allah, yang akan mengeluarkan manusia dari pengabdian kepada manusia ke pengabdian kepada Allah saja, dari kezaliman berbagai agama ke keadilan Islam.”

Sejarawan tertegun ketika kaum yang selama berabad-abad dianggap bodoh (sufaha), bergelimang debu kotor, dan para pekerja kasar, dapat tampil membuka cakrawala peradaban baru selama ratusan tahun. Seorang budak yang pernah dijual seperti hewan — setelah menjadi pengikut Nabi Mustadh’afin — berhasil mendirikan sebuah dinasti. Sejarah menyebut dinastinya sebagai dinasti budak — Mamluk!

Di berbagai negeri, raja-raja dianggap keturunan dewa, dan Tuhan dinyatakan di dunia lewat tangan-tangan mereka. Maka tangan-tangan kurus dengan penuh kekhidmatan mengangkat batu-batu buat istana atau kuburan para pangeran. Dengan rasa beragama yang dalam, mereka antarkan hasil keringat mereka ke ambang keraton, dan seraya mengunjuk sembah, mereka bergumam. “Nyawa dan harta kami di bawah duli tuanku, duhai putra para dewa!”

Di saat itu, ketika Tuhan dianggap memihak para raja, Muhammad SAW berdoa di kebun Utbah bin Rabi’ah dengan kaki yang berlumuran darah, “Ya Allah, kepada Engkau kuadukan kelemahan tenagaku, kekurangan diriku, dan kerendahanku di hadapan manusia. Ya Allah, yang paling kasih dari segala yang mengasihi, Engkaulah Tuhan yang memelihara kaum tertindas, Engkaulah Rabbul Mustadh’afin.”

Allah kini tidak dipanggil sebagai “ayah” para bangsawan, Allah kini menjadi Rabbul Mustadh’afin.

Ketika di tempat-tempat ibadah didirikan patung raja-raja yang mangkat, ketika tokoh-tokoh agama menabur berkat di atas mahkota, dan firman Tuhan bergema lewat mulut para pangeran, seorang Nabi turun dari puncak gunung membawa Kitab yang mengejek para raja, dan Allah berfirman: Kami bermaksud memberikan karunia kepada orang-orang tertindas di bumi. Kami akan menjadikan mereka pemimpin dan pewaris bumi.” [QS 28:5] [Bersambung]

*Almarhum, cendikiawan Muslim, ulama

Back to top button