Kelaparan Menghantui Pekerja Migran di Teluk Persia
“Tidak ada yang peduli kami,” kata Mohamed al-Sayid, seorang pekerja restoran asal Mesir yang terjebak bersama tujuh temannya di sebuah apartemen berkamar satu di Jeddah, Arab Saudi, setelah mereka kehilangan pekerjaan. “Tidak ada yang memeriksa kami sama sekali. Saya tidak takut pada korona. Saya lebih khawatir kami akan mati kelaparan.”
BEIRUT– Qatar telah me-lock down puluhan ribu pekerja migran di lingkungan yang ramai, dan malah menimbulkan kekhawatiran kawasan itu segera menjadi sarang virus corona. Perusahaan-perusahaan di Arab Saudi telah mengumumkan agar para pekerja asing tetap di rumah. Tetapi lebih dari Yahudi, mereka berhenti menggaji. Di Kuwait, seorang aktris cantik dengan kepala hanya berisi dahak berkata di televisi bahwa para pekerja migran itu seharusnya ‘dibuang saja ke padang pasir’.
Raja-raja kaya minyak di Teluk Persia telah lama mengandalkan pasukan pekerja migran berbayaran rendah dari Asia, Afrika, dan negeri-negeri lain untuk melakukan banyak pekerjaan berat dan kotor di ekonomi mereka. Benar, sejak lama negara-negara itu mendapatkan kritik dari kelompok-kelompok hak asasi karena telah memperlakukan para pekerja itu dengan buruk.
Sekarang, pandemi coronavirus telah memperburuk keadaan. Para pekerja migran di negara-negara Teluk segera menemukan diri mereka dikurung di asrama yang sempit, kotor, sementara mereka kehilangan pendapatan dan tidak dapat pulang ke rumah karena pembatasan perjalanan.
Beberapa kehabisan makanan dan uang, takut tak ada lagi tempat bagi mereka bahkan untuk sekadar diam, di tengah masyarakat yang memperlakukan mereka seperti kelas bawah yang bisa dibuang kapan saja.
“Tidak ada yang peduli kami,” kata Mohamed al-Sayid, seorang pekerja restoran asal Mesir yang terjebak bersama tujuh temannya di sebuah apartemen berkamar satu di Jeddah, Arab Saudi, setelah mereka kehilangan pekerjaan. “Tidak ada yang memeriksa kami sama sekali. Saya tidak takut pada korona. Saya lebih khawatir kami akan mati kelaparan.”
Lockdown dan penurunan ekonomi yang diakibatkannya telah memberikan pukulan keras bagi komunitas migran di seluruh dunia, termasuk di Asia Tenggara dan di dalam negeri India. Namun dengan banyaknya jumlah dan keragaman pekerja migran di negara-negara Teluk Persia berarti bahwa kerusakan kesehatan dan keuangan itu akan bergema ke seluruh benua.
Sulit untuk melebih-lebihkan peran buruh migran di Teluk, di mana pekerjaan konstruksi, sanitasi, transportasi, keramahtamahan, dan bahkan perawatan kesehatan didominasi oleh jutaan pekerja dari Pakistan, India, Bangladesh, Nepal, Filipina, Indonesia dan berbagai negara lain. Mereka sering bekerja dan hidup dalam kondisi di bawah standar untuk mendapatkan lebih dari yang mereka bisa dapatkan di negeri sendiri.
Lebih dari sepertiga dari 34 juta orang di Arab Saudi adalah orang asing, seperti juga sekitar setengah populasi Bahrain dan Oman, menurut World Factbook Central Intelligence Agency. Di Kuwait, orang asing lebih banyak dari pada warga negara, sekitar dua berbanding satu; di Qatar dan Uni Emirat Arab rasio itu hampir sembilan banding satu.
Ketika virus ini menyebar, negara-negara Teluk telah memberlakukan lockdown dan aneka pembatasan lain yang bertujuan membatasi penularan yang secara dramatis memperlambat ekonomi mereka.
Banyak dari kerugian ini langsung menohok kalangan buruh. Beberapa kalangan berpenghasilan sekecil 200 dolar AS per bulan, belum lagi harus membayar utang besar kepada para perekrut dan perantara, bahkan sebelum mereka mulai bekerja.
Kehilangan penghasilan tidak hanya akan memengaruhi pekerja, tetapi juga negara asal mereka, yang menerima miliaran dolar dalam pengiriman uang setiap tahun.
Bukan indikasi bila virus tersebut telah memukul pekerja migran dengan sangat keras. Kementerian Kesehatan Arab Saudi pada 5 April lalu mengatakan, lebih dari setengah kasus Covid-19, penyakit yang disebabkan oleh virus corona, menjangkiti orang asing. Kerajaan Arab ini telah melaporkan lebih dari 4.000 kasus.
Qatar, di tengah booming konstruksi untuk persiapan menjadi tuan rumah Piala Dunia pada 2022, menemukan ratusan kasus di zona industri tempat banyak pekerja migran tinggal. Pemerintah mengatakan telah mengisolasi mereka yang terinfeksi untuk perawatan dan mengunci daerah itu. Semua hanya menciptakan kekhawatiran bahwa virus akan terus menyebar di dalam daerah yang terisolasi.
“Ada diskriminasi bawaan dalam sistem itu sendiri yang tidak akan tiba-tiba hilang,” kata Vani Saraswathi, associate editor Migrant-Rights.org, sebuah kelompok advokasi bagi buruh migran. “Ini akan menjadi lebih tajam karena krisis terus tumbuh.”
Pendukung pekerja migran mengatakan, langkah-langkah pemerintah Teluk yang telah mengumumkan untuk menopang perekonomian mereka dan memperlambat penyebaran virus, tidak cukup untuk melindungi pekerja.
Raja Salman dari Arab Saudi bulan lalu mengumumkan bahwa ia akan menanggung biaya perawatan siapa pun yang menderita Covid-19 di kerajaan itu, termasuk orang asing. Tetapi paket bantuan 2,4 miliar dolar AS yang sebagian untuk menutupi gaji pekerja sektor swasta itu ternyata hanya berlaku untuk warga negara Saudi.
Uni Emirat Arab mengeluarkan peraturan baru yang memberdayakan perusahaan untuk memberikan cuti yang dibayar dan tidak dibayar, serta memotong upah sementara atau permanen untuk karyawan yang bukan warga negara. Sementara perubahan tersebut harus dilakukan dengan kesepakatan bersama, advokat tenaga kerja mengatakan pekerja memiliki sedikit pengaruh terhadap majikan mereka.
“Tampaknya ada keterputusan di negara-negara ini tentang betapa mereka membutuhkan para pekerja ini,” kata Saraswathi. “Masyarakat mereka benar-benar akan hancur jika para pekerja ini tidak ada di sana, tetapi hanya ada sedikit empati untuk situasi yang tengah mereka hadapi.”
Meskipun pemerintah Teluk telah mengeluarkan perintah ketat untuk tetap di rumah dan menutup bisnis yang dianggap tidak penting, beberapa sektor berat migran, seperti konstruksi dan minyak-gas, tetap bekerja, berpotensi mengekspos pekerja terhadap virus. Banyak buruh juga tinggal di kamp-kamp, di mana 10 pria berbagi kamar, sebuah lingkungan yang subur untuk penularan.
“Jika menyebar di kamp-kamp, itu laksana api, jadi semua negara ini harus punya keinginan agar semua ini di bawah kendali,” kata Hiba Zayadin, seorang peneliti Human Rights Watch untuk kawasan Teluk.
Qatar telah mengalokasikan lebih dari 800 juta dolar AS untuk membantu perusahaan membayar karyawan mereka dan mengeluarkan peraturan yang mempersingkat hari kerja untuk mencoba membendung penyebaran virus. Namun para pekerja mengatakan, di lapangan kebijakan itu tidak selalu diterapkan.
Seorang pekerja minyak asal Kenya di Qatar mengatakan, ia biasa naik untuk bekerja di bus yang penuh sesak dengan 60 orang lainnya. Saat karyawan mulai mengeluh, baru perusahaan mengurangi kapasitas menjadi 30 orang per bus. Dia masih berbagi kamar di kompleks perusahaan dengan tiga orang lainnya, di sebuah bangsal dengan hanya enam kamar mandi untuk 450 pria.
“Kerumunan adalah masalahnya, dan mencuci tangan hampir tidak realistis,” katanya melalui telepon, berbicara dengan permintaan agar namanya todak disebutkan karena takut akan hukuman majikannya.
Perusahaannya menyediakan makanan, tetapi di ruang makan komunal yang sering ramai. “Ini sama sekali tak mengindahkan jaga jarak,” katanya. “Semoga saja Tuhan melindungi.”
Negara-negara Teluk telah melarang adanya serikat pekerja dan aktivisme lain yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi pekerja. Itu membuat pekerja hanya memiliki sedikit ruang perubahan, yakni jika majikan mereka melanggar mereka atau gagal membayar mereka.
Bulan lalu, Totzky de la Cruz, seorang pekerja restoran asal Filipina di Arab Saudi, bersama 16 rekannya diberitahu untuk berhenti bekerja. Juga pemberitahuan bahwa tidak ada pekerjaan berarti tidak ada upah yang dibayarkan. Gaji terakhir orang-orang itu pun bahkan tidak dibayar, dan tunjangan makan yang dijanjikan majikan mereka belum lagi tiba.
“Kami dibiarkan untuk saling membantu dan mengandalkan,” kata de la Cruz. “Siapa pun yang memiliki uang ekstra di antara kami, harus membantu yang lain.”
Para pekerja yang paling rentan, kata para advokat, adalah mereka yang tidak memiliki kontrak dan bekerja lepas di pasar lokal. Perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga sering tidak punya tempat untuk berpaling jika majikan mereka melecehkan mereka. Para pekerja harian tidak memiliki perusahaan yang bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka. Di-lockdown berarti mereka tidak bisa keluar untuk mencari pekerjaan, atau kadang-kadang bahkan untuk membeli makanan.
“Kami tidak bisa keluar karena penjagaan polisi sangat ketat,” kata Islamuddin Iqbal, seorang buruh harian Pakistan di Oman yang telah terjebak di sebuah ruangan dengan empat pria lain selama lebih dari sebulan. Para lelaki biasanya pergi keluar untuk membeli roti, tetapi toko roti ditutup, sehingga mereka hanya memiliki nasi di kamar mereka.
“Persediaan beras kami hampir habis,” kata Iqbal melalui telepon. “Kami sudah mulai makan lebih sedikit, untuk menyelamatkan apa yang tersisa.” [Ben Hubbard/ The New York Times]
*Hwaida Saad berkontribusi melaporkan dari Beirut, Lebanon; Salman Masood dari Islamabad, Pakistan; dan Jason Gutierrez dari Manila.