Mitos Kebencian dalam Konflik Pegunungan Karabakh
- Armenia dan Azerbaijan sulit mengklaim Karabakh berdasarkan bukti arkeologis dari masa lalu.
- Konflik atas Karabakh relatif dipicu keputusan serampangan Uni Soviet, saat memulai pembangunan ruang nasional.
- Keterlibatan Turki membuat perdamaian semakin jauh.
Baku — Nagorno-Karabakh adalah kata dalam bahasa Azeri, yang artinya Pegunungan Karabakh. Orang Armenia menyebutnya Artsakh.
Dalam beberapa pekan terakhir, Pegunungan Karabakh — kali kesekian dalam seratus tahun terakhir — berubah menjadi ladang pertempuran. Azerbaijan memicu konflik. Armenia merespon dengan mobilisasi massal.
Konflik kali ini mungkin akan menjadi yang paling keras, akibat keterlibatan langsung Turki, perekrutan tentara bayaran, dan Iran yang mengerahkan pasukan Garda Revolusi (IRGC) ke perbatasan Pegunungan Karabakh setelah berulang kali rudal nyasar ke wilayahnya.
Pegunungan Karabakh relatif telah menjadi republik, tapi tak dikenal. Stepanakert, itu kota Pegunungan Karabakh, mengalami penembakan hebat. Amnesti Internasional bergeming dengan temuan penggunaan munisi tandan dan mengutuk.
Korban warga sipil dan militer berjatuhan. Armenia mencapai sasaran di luar wilayah Azerbaijan yang diperebutkan
Konflik Warisan Soviet
Sesuai namanya, Pegunungan Karabakh adalah dataran tinggi di antara Armenia dan Azerbaijan. Secara historis, mayoritas penduduk Karabakh adalah Armenia tapi memiliki hubungan geografis, budaya, dan ekonomi dengan dataran rendah Azerbaijan.
Menurut Jo Laycock, sejarawan Universitas Manchester dan editor Aid to Armenia: Humanitarianism and Intervention from the 1890s to the Present, ini adalah konflik modern tanpa landasan sejarah. Sebab, hanya ada sedikit bukti dari masa lalu bagi kedua pihak untuk menguatkan klaim.
Konflik, seperti dipaparkan Laycock di historytoday.com, dimulai dengan keputusan serampangan Uni Soviet tahun 1921, yang memasukan Karabakh ke dalam Republik Soviet Azerbaijan, bukan Republik Soviet Armenia. Keputusan ini menghalangi pemeriksaan konteks dan proses jangka panjang.
Selama abad ke-19, keseimbangan demografis Kaukasus berubah dengan pergeseran kekaisaran dan permukiman kembali penduduk. Akibatnya, kehadiran orang Armenia di Karabakh menjadi sedemikian masif.
Kendali Karabakh menjadi kawasan multi-etnis, pengaruh wacana nasionalisme Eropa membuat penduduk yang berbaur semakin melihat masa depan dalam istilah nasional. Modernisasi yang melanda Karabakh menciptakan ketegangan dan ketidak-setaraan baru sepanjang garis etnis.
Pada 1905, Baku — ibu kota Azerbaijan — menjadi pusat bentrokan antara orang Armenia dan Azerbaijan. Sejak 1914, perang dan genosida Armenia menyebabkan siklus kekerasan dan pengungsian di seluruh wilayah.
Setelah keruntuhan Kekaisaran Rusia dan Revolusi Bolshewik, orang Georgia, Armenia, dan Azerbaijan, mencoba membuat ruang nasional untuk masing-masing.
Di Karabakh, rebutan ruang nasional memicu kekerasan tak berkesudahan antara Armenia dan Azerbaijan. Uni Soviet mendorong pembangunan ruang nasional, atau negara, di bekas tanah Kekaisaran Rusia sebagai langkah awal perjalanan panjang sosialisme.
Pembangunan ruang nasional berbarengan dengan promosi bahasa dan budaya, penetapan identitas pribadi di paspor, dan definisi perbatasan. Kebijakan ini dilandasi prinsip bahwa dunia dapat dan harus dibagi menjadi kelompok-kelompok nasional terpisah, termasuk penetuan wilayah secara jelas.
Di Kaukasus Selatan, populasi berpindah-pindah, bercampur dan keterikatan tumpang tindaih dengan wilayah, membuat visi kebangsaan dan ruang nasional menjadi tidak mudah jika dikaitkan dengan pembagian teritorial.
Penetapan Nagorno Karabakh sebagai ‘oblast’ atau wilayah otonom di dalam Republik Soviet Azerbaijan mengkuadratkan lingkaran ini. Nagorno Karabakh adalah otonomi Armenia di Republik Soviet Azerbaijan.
Selama tujuh dekade Azerbaijan dan Armenia hidup di bawah Pax Sovietica, atau hubungan damai di bawah Uni Soviet. Kedua bangsa berdampingan secara harmonis berkat penamaan identitas nasional Soviet di Kaukasus Selatan.
Situasi ini membuat Nargono Karabakh menjadi anomali, dengan sesekali orang Armenia mengajukan petisi ke Moskwa, menuntut penyatuan wilayah itu dengan Republik Soviet Armenia. Meski ditolak, petisi itu memicu kemarahan dan ketidak-amanan di Azerbaikan. Kekerasan kerap menyertai pengajuaan petisi.
Orang Armenia kota Sumgait mengajukan petisi untuk bergabung dengan negara induk mereka. Orang Azerbaijan menyerang hebat. Sebanyak 26 orang Armenia tewas, dan Azerbaijan kehilangan enam.
Peralihan dari petisi ke kekerasan tidak mudah dijelaskan. Kalau pun mungkin, bisa saja dengan melihat pada pergolakan tahun 1980-an yang didasarkan pada ketidak-setaraan lokal dan keluhan.
Saat itu tanggapan Moskwa tidak efektif meredakan konflik. Bahkan konflik meningkat, dengan banyak korban di kedua pihak dan upaya pengusiran. Karabakh menjadi pusat pergerakan nasional di Armenia dan Azerbaijan.
Tahun 1990 Uni Soviet bubar. Tahun berikutnya Azerbaijan dan Armenia menjadi negara meredeka. Tiga tahun kemudian perang Azerbaijan dan Armenia berkecamuk. Armenia menang besar, dengan tidak hanya menguasai sekujur Nagorno Karabakh, tapi wilayah Azerbaijan lainnha.
Gencatan senjata tidak menghasilkan resolusi permanen. Republik Nagorno Karabkah dideklarasikan tapi tidak diakui.
Melacak Sejarah
Ketika konflik atas Nagorno Karabakh meletus, Azerbaijan dan Armenia sibuk membongkar-bongkar arsip sejarah dan memperlihatkan bukti ‘kepemilikan’ atas pegunungan itu.
Orang Armenia menunjuk arsitektur relijius abad pertengahan dan sejarah kerajaan, atau melikdom, Armenia yang semi-otonom. Azerbaijan fokus pada sejarah budaya yang kaya dari khanat abad ke-18, yang berpusat di kota Shusha.
Ketika perang dimulai, narasi eksklusif sejarah nasional berkembang. Penulisan sejarah di Armenia dan Azerbaijan dicirikan upaya menelusuri akar lebih dalam di Karabakh.
Peneliti kedua bangsasibuk mencari bukti tertulis untuk menguatkan klaim. Arkeologi tak henti menggali di tempat-tempat yang dicurigai menyimpan bukti dari masa lalu.
Narasio terpolarisasi tersebar luas, melampaui ranah akademis, budaya populer, dan wacana politik arus utama.
Konflik Karabakh telah memasuki dekade keempat. Sejak 1994 wilayah itu menjadi statis, dan mungkin telah menjadi konflik beku. Komunitas yang bermukim di dalamnya diselimuti rasa tidak aman akibat kekerasan terus-menerus.
Mungkin, sangat sedikit komunitas Armenia dan Azerbaijan bisa terlelap setiap malam, atau menikmati tidur yang cukup. Kalau pun mereka bisa tertidur, mereka kerap dihantui mimpi pembantaian.
Orang Armenia akan selalu teringat pogrom Sumgait. Orang Azerbaijan mengenang pembantaian warga sipil di Khojaly 1992.
Saling bantai itu memperkuat stereotip tentang musuh yang tidak berubah, dan masing-masing menghubungkannya dengan masa lalu. Terlebih generasi muda Armenia dan Azerbaijan terlanjur hidup terpisah sejak 1994. Mereka juga tidak diwariskan kisah orang-orang tua mereka yang pernah berbagi ruang.
Perdamaian Masih Jauh
Kini, Turki hadir dalam konflik. Bagi orang Armenia, kehadiran Turki dapat dijelaskan dalam peristiwa-peristiwa genosida Armenia, dan PM Armenia Nikol Pashinyan mengemukakannya dalam pidato.
Konteks, aktor, dan agenda berbeda kini bekerja dengan mereka yang membentuk nasib orang Armenia akhir kekuasasaan Ottoman tahun 1915.
Bagi Azerbaijan, resolusi tergantung pada kembalinya Karabakh dan wilayah pendudukan di sekitarnya, plus ketentuan otonomi untuk Armenia-Karabakh. Bagi Armenia, penentuan nasib sendiri untuk Karabakh adalah yang terpenting.
Bagi Armenia, kembalinya pemerintahan Azerbaijan di Karabakh adalah ancaman yang tidak bisa diterima.
Sejak 1992, OSCE Minsk Group yang dipimpin Prancis, Rusia, dan Amerika Serikat, menyediakan kerangka kerja negosiasi damai, tapi sangat sedikit keberhasilan dicapai.
Harapan muncul ketika tahun 2018 Revolusi Beludru menghasilkan pemerintahan demokratis di Armenia. Ada upaya menghidupkan kembali perundingan, tapi tahun 2020 bentrok baru terjadi di jalur kontak.
Di Azerbaijan, demonstrasi anti-Armenia membuat ruang perdamaian, atau setidaknya kompromi, menjadi sangat sempit. Perdamaian seolah tampak sedemikian jauh.