Crispy

Indeks Kebebasan Pers di Indonesia Rendah, dari Regulasi hingga Ekonomi

JAKARTA – Indeks kebebasan pers di Indonesia rupanya berada di posisi 124 dari 180 negara pada tahun 2019. Ini menandakan rendahnya tingkat kebebasan pers di tanah air.

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Abdul Manan, mengatakan ada tiga faktor rendahnya indeks kebebasan pers tersebut, yakni regulasi, politik, dan ekonomi. Dimana pada regulasi misalnya, masih ada sejumlah pasal yang menjadi momok bagi jurnalis.

Dari berbagai pasal, dua di antaranya pernah mengirim wartawan ke penjara, yakni pasal penghinaan presiden yang menjerat pemimpin redaksi Rakyat Merdeka, Supratman dan pasal penodaan agama yang dikenakan ke pemimpin redaksi Tabloid Monitor, Arswendo Atmowiloto.

“Sekarang ini nyaris tidak ada regulasi baru yang memberikan angin segar untuk kebebasan pers,”  ujarnya di Jakarta, Rabu (11/12/2019).

Tak hanya pasal penghina presiden dan penoda agama. Selanjutnya yakni Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dimana pada 2018, jurnalis Serat.id di Semarang, Jawa Tengah, Zakki Amali sempat berproses hukum, setelah menulis dugaan plagiarisme Rektor Universitas Negeri Semarang, Fathur Rokhman.

Kemudian situasi politik, kata Manan, juga menjadi faktor rendahnya indeks kebebasan pers. Pada 2019, setidaknya ada 40 kasus kekerasan terhadap wartawan dan paling banyak terjadi pada aksi 21-22 Mei 2019 yang dilakukan pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno karena kecewa dengan hasil pemilihan presiden.

“Sebanyak 15 insiden lebih wartawan menjadi korban, mulai dari pemukulan, pemaksaan menghapus foto dan video, hingga pembakaran motor,” katanya.

Hal itu kembali terjadi pada bulan September atas aksi yang berasal dari mahasiswa dan pelajar karena memprotes sejumlah rancangan undang-undang bermasalah, seperti UU KPK misalnya.

Tak hanya itu, Polisi pun kerap melakukan penganiayaan kepada wartawan. “Kami lihat polisi ini seperti warga negara kelas satu dan hukum itu sendiri, dan karena itu nyaris tidak mau tersentuh hukum,” kata dia.

Ia mencontohkan, terdapat empat aduan dugaan kekerasan polisi yang dilaporkan di Jakarta. Akan tetapi, dua di antaranya ditolak dengan alasan sulit menemukan pelaku. Berbeda dengan militer, yang meskipun ringan pernah menjatuhkan sanksi.

“Setidaknya ada tiga kasus kekerasan tentara, dan ini sisi baik, mereka proses secara hukum walaupun ringan, tiga bulan begitu, tapi setidaknya diproses. Polisi ini tidak,” ujarnya.

Faktor ketiga rendahnya indeks kebebasan wartawan yakni ekonomi. Hal itu, menyangkut kepemilikan media di Indonesia yang terkonsentrasi pada segelintir orang. “Padahal ini tidak baik untuk diversity (keberagaman) dan demokrasi,” katanya. [Fan]

Back to top button