POTPOURRI

Gowok, Profesi Lama Perempuan Pelatih Kejantanan Calon Pengantin Laki-laki

JAKARTA– Bulan Maret 1936, seorang penulis Indonesia keturunan bernama Liem Khing Hoo meluncurkan roman berjudul ‘Gowok’. Roman ini mengangkat suatu tradisi unik di desa-desa Keresidenan Banyumas, yaitu para lelaki yang akan menikah atau calon suami akan ‘dididik’ oleh seorang wanita yang disebut gowok.

Proses pendewasaan tersebut bisa berlangsung sehari sampai 10 hari, tergantung perjanjian antara orang tua si anak lelaki dengan wanita gowok yang dipilihnya.

Selama ‘pendidikan’ berlangsung, si calon pengantin laki-laki yang masih lugu dan hijau itu akan diajari Sang Gowok menjadi suami yang dapat membahagiakan kehidupan rumah tangga (baca: seksual), alias belajar memuaskan sang istri di malam pertama.

Demi suksesnya pelajaran tersebut, mereka akan tinggal bersama dalam ruangan terbatas yang telah disiapkan keluarga si lelaki. Sebagai imbalan, Sang Gowok akan mendapatkan uang dan barang-barang lain sebagaimana perjanjian.

Resensi novel tersebut muncul di mingguan Sin Po, 13 September 1941, dan mendapat tanggapan dari A. Sojoedi di mingguan yang sama pada 20 September. Dalam tanggapannya Sojoedi menyebutkan, tradisi itu sudah punah. Keberadaan gowok sangat berguna pada zaman sebelum pendidikan seks menjadi hal yang lumrah.  Catatan redaksi Sin Po menyebutkan, roman ‘Gowok’ merujuk kepada artikel R. Prawoto yang dimuat dalam Tijdschrift voor Inlandsche Taal, Land en Volkenkunde, 1931.

Dalam artikel itu R. Prawoto menuliskan, adat tersebut masih berlangsung di Distrik Bukateja, Kabupaten Purbolinggo. Tradisi itu juga hidup di desa-desa pegunungan yang berada di perbatasan Banyumas dengan sebutan gowokan. Sedangkan di perbatasan Wonosobo, kebiasaan itu disebut sentongan.

Gowokan berasal dari kata gowok yang merujuk rongga pohon berukuran sempit yang dibuat burung pelatuk untuk bertelur. Sedangkan sentongan bermakna kamar. Hal tersebut memiliki relevansi dengan makna gowokan. Kamar yang digunakan untuk proses pendewasaan ‘si bujang hijau’ tersebut hanya memiliki luas dua meter persegi, yang hanya cukup untuk balai-balai dan keperluan sederhana lainnya.

Tetapi ada pula pendapat lain dalam etimologi kata gowok. Dalam novel ‘Nyai Gowok’ karya Budi Sardjono yang terbit dasawarsa ini, kata gowok digunakan untuk mengenang Go Wok Niang, yaitu wanita yang dibawa Laksamana Ceng Ho ke Jawa. Wanita inilah yang kemudian membawa tradisi gowok, sehingga namanya diabadikan dalam tradisi tersebut.

Novel lain yang menyebut tentang gowok adalah novel ‘Ronggeng Dukuh Paruk’  (1982) karya Ahmad Tohari. Di sana Ahmad menggambarkan profesi gowok tidak jauh berbeda dengan gambaran R. Prawoto.

Imbalan yang didapat gowok disesuaikan dengan reputasi dan kecantikan sang gowok, yaitu antara f 0,25 dan f 0,30 per hari. Jika sang gowok masih muda dan sangat populer di kalangan penduduk desa, maka ia memiliki nilai yang sangat tinggi, yaitu bisa mendapatkan f 1 per hari. Besarnya honor dalam florin (f) tersebut biasanya berdasarkan standar adat yang berlaku.

Selain mendapatkan bayaran berupa uang, gowok juga mendapatkan upah lainnya,  seperti  satu set baju, beras seberat satu kati  atau 600 ons alias 600 gram per hari,  beberapa ekor ayam dan sayur-sayuran. Upah tersebut merupakan penjongket (bonus harian) yang akan diberikan bila kontrak kerja sang gowok berakhir.

Profesi gowok dalam pandangan masyarakat saat itu bukanlah profesi yang dipandang rendah dan dilakukan sembunyi-sembunyi. Karena itu jadwal gowok cukup padat, dari satu kontrak ke kontrak lainnya. Kontrak perjanjian antara gowok dan keluarga si bujang berlangsung terbuka dan lumrah.

Setiap hari gowok akan melaporkan perkembangan si bujang kepada keluarganya. Bila si bujang sudah lancar, gowok akan bilang,”Bapak, kang putra sampoen boten nguciwani. (Bapak, putramu sudah tidak mengecewakan)”.

Namun bila Si Bujang belum lancar, gowok akan berkata, “Bapak, dereng saged matoer katab. (Bapak, saya belum bisa bercerita banyak).” Artinya, si bujang lemot belajar dan perlu diwarah lebih dalam lagi.

Karena tradisi gowok ini merupakan hal yang lumrah, maka peranannya diterima dengan damai tanpa persoalan dan cemburu oleh si calon mempelai perempuan. Soalnya, saat itu yang berkembang hanya pemikiran bahwa hasil didikan sang gowok itu pada saatnya juga akan membuat mempelai wanita bahagia. Edun! [ ]

Back to top button