POTPOURRI

Temuan Arca Di Batu Mahpar Leuwisari Tasikmalaya, Apakah Baru ataukah Kuno ?

Puluhan arca yang ditemukan di lokasi objek Wisata Batu Mahpar di Kampung Tegal Munding Desa Linggawangi Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya tampak masih berada dalam lokasi temuan. Lima arca telah dipindahkan di gedung yang direncanakan untuk museum. Sedangkan sebagian besar lainnya masih tergeletak di tanah tempat arca itu ditemukan.

Menurut Dede Tatang, warga Desa Sukamulih yang ikut menggali batu-batu arca tersebut  menyebutkan bahwa batu diduga artefak itu  diketahui sejak lama yaitu dari dari salah satu batu yang menyembul kepermukaan tanah. Namun keberadaanya dibiarkan sementara waktu karena saat itu Objek Wisata Batu Mahpar sedang fokus  dibangun dan ditata.  

Batu batu tersebut mulai terkuak setelah area tanah mulai ditata untuk pengembangan wahana wisata pada hari Minggu (9/2) . Lokasi area temuan berdampingan dengan lokasi Wisata Rumah Hobbit yang berada di tebing sungai Cimerah.  Dari lokasi pertama ditemukan 20 batu yang dipahat  Sedangkan 2 arca lainnya ditemukan di dekat tangga menuju mesjid hanya berjarak beberapa meter dari lokasi pertama.

“Dari tiga titik yang digali, hanya 2 titik yang didalamnya terdapat arca” ujar Dede Tatang. Arca yang ditemukan berkisar berada di kedalaman 50 cm sampai 1 meter. Lahan tanah yang banyak temuan arcanya berada di kordinat S 07°18’11.538” dan E 108°3’56.304”, di atas ketinggian sekitar 660 mdpl. Lokasi tersebut berjarak sekitar 35 meter dari bibir Sungai Cimerah yang berada di sebelah barat.

Berdasarkan pengamatan tim Tapak Karuhun Nusantara yang datang ke lokasi untuk  melakukan identifikasi awal pada Selasa (11/02) diketahui, lima arca yang tersimpan di gedung terdiri dari  2 arca perupaan  gajah dan 3 lainnya figur manusia. Figur manusia tersebut kesannya mirip dengan arca tipe Pajajaran. Sedangkan  dari tekhnik pengerjaannya,  2 arca tampak dipahat tidak terlalu dalam  seperti  halnya relief rendah.  Hal itu terlihat dari salah satu arca yang memgambarkan rupa Gajah yang dipahat hanya bagian kanan tubuhnya. Di pergelangan tangan Gajah tersebut  tampak adanya  pahatan gelang.  

Sedangkan 17 arca lainnya masih tergeletak di lokasi arca ditemukan. Dari serakan batu-batu yang dipahat itu dapat dikenali dari bentuknya berupa 1 lumpang batu, 1 arca gajah, 1 batu dengan pahatan berbentuk spiral yang biasanya sebagai simbol religi dan sisanya adalah arca-arca figur manusia yang tampak dari depan,  sisi kiri maupun kanan.  Namun hampir semua bagian belakang arca dibiarkan alami, tidak dipahat.  Arca-arca tersebut sebagian besar dipahat sampai bagian kaki, namun ada beberapa arca hanya setengah badan.

Arca yang cukup mencolok adalah arca gajah yang berukuran tinggi 67 cm, lebar 44 cm dan tebal 35 cm. Pemahat arca mencoba memvisualkan gajah dengan belalai menjuntai dan ujungnya melengkung ke kiri. Garis kerut belalai dan lubang belalai yang menghadap ke atas cukup jelas dipahat.  Dua gadingnya tampak utuh dikiri dan kanan. Namun  telinganya tidak tergarap maksimal karena keterbatasan bidang batu.  Dua kaki depannya tampak jelas sedangkan kaki belakangnya tidak begitu nampak..

Menyikapi berita yang beredar tentang arca Ganesha tersebut, salah seorang anggota Tapakkaruhun, Tizi rakyan yang berkunjung bersama Okik Taufik  dan dua rekannya mengatakan bahwa sulit untuk menyebut bahwa arca tersebut adalah Ganesha.

“Dari pengamatan langsung tidak ditemukan ikonografi dari Ganesha sebagai makhluk antropomorsis yang kaya dengan atribut. Arca Gajah yang ditemukan  di Batu Mahpar itu  tidak jelas sikap tubuhnya dan gadingnya tidak ada yang patah. Padahal salah satu ciri Ganesha adalah ekadanta (gadingnya patah). Sedangkan yang ini sepasang gadingnya utuh” Kata Tizi sambil mengukur tinggi dan lebar arca.

Satu arca lainnya tampak menggambarkan seorang pertapa dengan gelung di kepalanya. Gelung tersebut dipahat rendah, dan kedua tangannya terkesan menyembah dan kepalanya sedikit tengadah.  Demikian pula arca lainnya yang menggambarkan manusia dalam berbagai posisi duduk ada yang meringkuk maupun duduk tegak. Pahatan lainnya yang menarik adalah bentuk spiral yang jejak pahatnya terkesan masih baru.

Pahatan berbentuk spiral di salah satu batu yang ditemukan di Batu Mahpar (foto : Jernih)

“Mungkin karena pengaruh bentuk serta terkendala dengan jenis batu yang memiliki tekstur kasar. Sehingga detail pahatannya nggak dapet.” Imbuh Tizi. Lain halnya dengan pahatan telapak kaki yang ditemukan di dasar sungai Cimerah, dilokasi inti yang disebut batu mahpar itu ditemukan pula beberapa pahatan telapak kaki yang cukup halus karena batunya merupakan lelehan lava yang padat membeku.

Namun pahatan-pahatan telapak kaki di batu mahpar salah satunya merupakan pahatan baru yang tidak memiliki konteks sebagai tinggalan sejarah. Hal tersebut berdasarkan adanya pahatan aksara sunda baku yang berbunyi Galunggunng Ngadeg Tumenggung.  Sebagaimana diketahui bahwa Aksara Sunda Baku merupakan gubahan baru berdasarkan standarisasi dari Aksara Sunda Kuna yang susunannya ditetapkan melalui SK Gubernur Jawa Barat no. 343/SK.614.Dis.PK/99 pada 16 Juni 1999.

Di lokasi aliran sungai tersebut  juga ditemukan pahatan di batu yang menggambarkan naga.  Adanya pahatan aksara sunda baku, telapak kaki dan naga sempat menarik perhatian pengunjung beberapa beberapa tahun  lalu. sehingga objek wisata Batu Mahpar tersebut ramai dikunjungi pelancong. Disamping itu, keindahan alam kawasan Batu Mahpar memang masih alami. Eksotisme lahar beku yang terhampar indah di dasar sungai Cimerah sebagai daya tarik utama lokasi ini layak untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai geopark.

Aksara Sunda Baku dan pahatan padatala sepasang telapak kaki (foto Jernih)

Okik Taofik mengatakan bahwa untuk memastikan arca-arca dan batu yang dipahat lainnya tinggalan sejarah atau bukan adalah otoritas arkeolog terutama dari Balai Arkeologi Jawa Barat yang bisa memastikan apakah arca-arca tersebut artefak atau bukan.  Sejauh ini pihak yang menemukan atau pengelola lokasi memang belum menanggapi lebih lanjut soal batu-batu tersebut.

Fakta arkeologi selalu terkait erat dengan artefak, fitur maupun ekofak yang memiliki konteks satu sama lain, termasuk juga situs dan kawasannya. Demikian pula  dalam menyikapi temuan benda arkeologis yang masih in situ, terdapat sejumlah aturan ketat dalam penangannnanya. Misalnya memindahkan benda yang diduga artefak dari lokasi aslinya akan menghilangkan konteks terhadap lingkungannya dan berdampak hilang pula nilai budayanya.  

“Adanya temuan ini menjadi tantangan bagi para arkeolog untuk membuktikan langsung dilapangan. Agar persoalan apakah ini benda sejarah atau bukan bisa tuntas terjawab dan masyarakat tidak dibiaskan oleh informasi yang tidak jelas” Ujar Okik.

Dua arkeolog senior dari Balai Arkeologi Jawa Barat yang telah menanggapi temuan ini berdasarkan berita yang beredar adalah Lutfi Yondri dan Nanang Saptono.  Lufti Yondi menyatakan bahwa dilihat dari bahannya sepintas terbuat dari batu cadas atau batu pasir yang mudah diubah bentuknya.  Demikian pula adanya patung gajah yang diasumsikan Ganesha  yang merupakan peninggalan Hindu berada dalam satu lokasi dengan arca leluhur maka tidak sesuai dengan pakem arkeologi , baik waktu maupun masa budayanya.  Demikian pula dengan kebudayaan, sejarah dan asosiasinya dengan benda-benda lainnya

“Dan itu ternyata, setelah saya verifikasi merupakan barang-barang yang belum lama dibuat untuk kepentingan pariwisata, bukan benda lama “ Tutur dia, seperti dikutip dari Kabar Priangan.

Sedangkan Nanang Saptono, seperti diberitakan oleh Tribun Jabar menyatakan bahwa banyak sekali komponen pengamatan untuk mengetahui keaslian benda-benda peninggaan sejarah, seperti jenis bebatuan, jejak tingkatan tekhnologi, fisk bahan, langgam, atribut, lapisan tanah, lokasi temuan dan lainnya. Seperti misalnya pada patung yang menyerupai gajah atau Ganesha, dalam kebudayaan sunda di masa klasik memiliki ciri khas tersendiri.

Terkait dengan temuan arca gajah di Batu mahpar, Nanang menyatakan tidak menunjukan langgam Ganesha akan tetapi gajah. Namun tidak menutup kemungkinan di Batu Mahpar terdapat peninggalan masa lalu. Soal keaslian arca-arca sebagai artefak sejarah, Nanang belum bisa menilai  karena belum melihat langsung

Menurut Dede Tatang, Sungai Cimerah sebagai lokasi inti dari Batu Mahpar karena adanya hamparan lava yang membeku sehingga menciptakan fenomena geologis yang indah. Selain itu, di lokasi aliran sungai juga terdapat Curug Mandawah sedalam 85 meter. Namun tinggi curug tersebut semakin berkurang karena adanya pendangkalan di bagian bawah air terjun.

Sungai Cimerah berhulu di utara yaitu di Dindingari Gunung Galunggung mengalir ke Sukaraja di selatan dan bermuara di Sungai Ciwulan. “  Daerah ini termasuk aman dari terjangan lahar Galunggung karena ada dinding ari-ari. Dan sungai ini adalah pondasinya” imbuh Dede.

“Tempat yang sekarang jadi Objek Wisata  disebut blok Pasir Cipiit. Dulu, sampai tahun 60-an  adalah perkampungan namun setelah pager betis, kampung itu ditinggalkan penghuninya pindah ke tempat lain.” Papar Dede Tatang. Bukti bahwa Pasir Cipiit adalah bekas pemukiman yaitu ditemukannya pondasi bekas rumah penduduk dan banyaknya limbah rumah tangga seperti pecahan beling yang ditemukan ketika proses pembangunan Wisata Batu Mahpar.

Sungai Cimerah merupakan batas dari 2 kecamatan yaitu, kecamatan Leuwisari dan Sariwangi. Letak Objek Wisata Batu Mahpar masuk di wilayah Kecamatan Leuwisari sedangkan akses jalan aspal menuju Batu Mahpar berada di Desa Sukamulih, Kecamatan Sariwangi. Sehingga keberadaan Objek Wisata Batu Mahpar turut meningkatkan ekonomi penduduk di sekitarnya.

Beberapa rumah warga di Sindangreret membuka toko dan menyediakan halamannya untuk parkir. Namun akhir-akhir ini Batu Mahpar mengalami penurunan kunjungan. Menurut Dede Tatang diantaranya disebabkan dengan naiknya harga tiket.

“Dulu saat tiket masih 5000 rupiah/orang pengunjung banyak yang datang, namun setelah tiket menjadi 15.000 rupiah/orang maka pengunjung menjadi berkurang.” Ujar Dede. (Pd)

Back to top button