Solilokui

“Percikan Agama Cinta” : Peziarah Ketakberhinggaan untuk Menemui Maha-Cinta

Di zona itu, aku merindu Keberadaan Mutlak Ilahi. Bagai samudra tak bertepi. Di tengahnya diri manusia hanya ibarat setetes air yang lenyap; laksana padang pasir yang bukit-bukit pasirnya  senantiasa menyembunyikan kedalamannya

JERNIH– Saudaraku,

Aku adalah penziarah cinta. Menyimpan kerinduan yang amat dalam kepada Ketakterhinggaan. Meskipun aku kadang tak berdaya menyelaminya. Karena aku masih terperangkap bening-bening partikel di setiap sudut. Membuat kerinduanku sejenak kandas ditelan batas. Aku menyadari ada cahaya-cahaya palsu menghantui perjalananku. Maka, rasanya aku ingin berteriak lantang: singkirkan bayang-bayang debu di balik segumpal kumpulan benang pendek itu. Aku ingin melanjutkan perjalanan.

Deden Ridwan

Aku adalah pendaki jalan cinta sejati, bukan sekadar tapa-brata. Setiap terjal perjalanan itu, aku nikmati dengan mengalir (flow). Aku berusaha mensyukuri segala penderitataan yang dianugerahkan kepadaku. Karena itu yakin bagian dari jalan cinta yang diturunkan Tuhan untuk menguji dan memurnikan jiwaku. Menaikan derajatku di mata-Mu.

Ketahuilah. Cinta bisa menghantarkan jiwaku ke hadapan ilahi bagaikan elang yang membawa mangsanya. Memisahkan dari segala yang tercipta dalam waktu. Menuju meta-waktu di alam sana yang abadi.

Yakinlah. Tuhan adalah zat mutlak. Melambangkan sebuah jalan suci. Aku sebagai pejalan mesti tetap melangkah. Menapak jalan cinta yang digambarkan dalam sejumlah cerita kiasan tentang perjalanan para bijak menangkap cahaya-Mu.

Aku menyadari, perubahan jiwa melalui kesangsaraan dan pemurnian yang menyakitkan sering diungkapkan dalam gambaran-metaforis alkimia. Impian kuno tentang pembuatan emas dari logam rencahan menjelma kenyataan dalam taraf ruhani.

Di atas kesadaran itu, kerinduan pada zat Mahacinta seketika membuncah. Melampaui sekat-sekat, lambang-lambang, simbol-simbol. Aku berusaha menggabungkan jalan cinta manusiawi dan ilahiah. Merembes ke dalam jejak: menyelami alam cahaya di atas cahaya.

Di zona itu, aku merindu Keberadaan Mutlak Ilahi. Bagai samudra tak bertepi. Di tengahnya diri manusia hanya ibarat setetes air yang lenyap; laksana padang pasir yang bukit-bukit pasirnya  senantiasa menyembunyikan kedalamannya; serupa air yang melahirkan dunia kemudian mengkristal menjadi es. [Deden Ridwan]

Back to top button