Solilokui

Antara “Jengkol” dan “Ekol”

Selama Orde Baru (1966-1998), telah lahir generasi “sumuhun dawuh” (yes man), generasi “meri” (bebek) yang mengekor barisan ke sana ke mari, generasi “lutung” yang suka menggelayun di dahan-dahan pohon paling atas, seraya malas turun ke bawah.

Oleh   : Usep Romli HM

Salah satu bait lagu promosi dan publikasi pemilihan umum tahun 1955, berbunyi : “pemilihan umum, saudara-saudara…..dst”.

Di kalangan khalayak ramai, beredar “plesetan” dari bait tersebut. Entah berasal dari mana dan siapa yang memulai, yang jelas lebih populer daripada bait aslinya, karena menjadi lagu “dolanan” anak-anak yang didendangkan di mana-mana : “pemilihan jengkol, nu kolot nu ngora….”

Usep Romli HM

Hal itu mungkin merupakan reaksi tertutup masyarakat terhadap pemilu 1955, yang berlangsung di tengah suasana dukacita. Pemerintahan tidak stabil karena kabinet sering berganti, korupsi mulai bersemi, kesenjangan sosial-ekonomi semakin melebar, gangguan keamanan merebak di mana-mana. Terutama di Jawa Barat (DI/TII), Maluku (RMS), Sulawesi (Kahar Muzakar), dll. Sementara para elit politik, dan birokrasi, asyik berebut kekuasaan. Sehingga timbul istilah “pamingpin beuki duit, rahayat beuki ririwit” (pemimpin semakin rakus uang, rakyat semakin penyakitan).

Pemilihan umum 1955, sebagai ciri demokrasi sebuah bangsa yang baru 10 tahun merdeka, diharapkan membawa perubahan mendasar di segala bidang. Dan ternyata, di tengah berbagai kekhawatiran – terutama sabotase pengacauan pada pelaksanaan pemungutan suara di daerah-daerah– tidak terjadi sama sekali. Pemilu berlangsung tertib dan damai. Juga adil, langsung, umum, bebas dan rahasia. Keadaan tersebut mendapat pujian dari para pengamat internasional, antara lain Prof.Herbert Feith dari Universitas Cornell, Ithaca, New York, AS, dalam bukunya “The Indonesian Election of 1955” (1957).

Tapi hasil pemilu paling demokratis sepanjang sejarah pemilu di Indonesiaitu,ternyata tidak memenuhi harapan sama sekali.Pertarung-an ideologis antara para legislator, baik di parlemen (DPR), maupun konsituante (MPR), menemukan kebuntuan untuk merumuskan sebuah paradigma Indonesia merdeka, berdaulat, adil makmur sejahtera, dalam bentuk Undang-Undang Dasar (UUD) yang bersumber dari aspirasi rakyat. Para wakil rakyat yang dipilih sangat susah payah di tengah kondisi pisik dan psikis para pemilih yang serba memprihatinkan, ternyata terhenti dihambat ego masing-masing. Kinerja konstituante menyusun UUD beringsut-ingsut bagai siput.

Sehingga jatuhlah “Dekrit Presden” 5 Juli 1959. Lembaga legislatif hasil pemilu 1955 dibubarkan. Sebagai gantinya, dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Para anggota DPR-GR dan MPRS ditunjuk oleh presiden RI berdasarkan usulan parpol yang sah dan resmi. UUD yang sedang disusun MPR hasil pemilu dibatalkan. UUD 1945 kembali digunakan.

Pemilu 1955  yang diakui semua kalangan, benar-benar memenuhi kriteria demokrasi, ternyata  tidak mampu memenuhi tuntutan rakyat. Wajar saja jika pemilu-pemilu selanjutnya, baik pada era Orde Baru (1971,1977,1982,1987,1992 dan 1997), maupun era Reformasi (1999, 2004, 2009, 2014, 2019), membuahkan hasil mengenaskan. Selama Orde Baru (1966-1998), telah lahir generasi “sumuhun dawuh” (yes man), generasi “meri” (bebek) yang mengekor barisan ke sana ke mari, generasi “lutung” yang suka menggelayun di dahan-dahan pohon paling atas, seraya malas turun ke bawah. Generasi yang dikerdilkan oleh sistem represif-tiranik dalam jeruji kemajuan semu. Pembangunan memang merata di mana-mana. Namun siapa pun tahu, hasil pembangunan itu hanya sebagian saja dari modal  pinjaman luar negeri berbunga tinggi. Mantan Menteri Perekonomian rezim Orde Baru, Prof. Dr.Sumitro Djojohadikusumo, pada tahun 1993 menyatakan, hanya 70%  dana pembangunan yang diterapkan. Sisanya, 30%, menjadi “bancakan” orang-orang tertentu yang memiliki akses kepada kekuasaan.

Pemilu era Reformasi pada 199, dan seterusnya, melahirkan bencana baru bagi bangsa dan negara, akibat perilaku elit politik dan kekuasaan. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang ditumbuhsuburkan pada era Orde Baru, semakin  merambat ke mana-mana. Menodai niat dan tujuan murni Reformasi.        

Berdasarkan prediksi atas performa dan fenomena yang marak di permukaan, pemilu atau apapun namanya,   tidak akan mengalami per-ubahan signifikan. Meminjam istilah “Sakadang Monyet”, yang berkongsi menanam pisang bersama “Sakadang Kuya” hasilnya adalah “atung eneh atung eneh ae” (begitu-begitu saja).

Maka, tak salah “plesetan” lagu anak jalanan tahun 1955  “pamilihan jengkol, nu kolot nu ngora“. Jengkol tak pernah berbuah di luar musim. “Jengkol aya usumna”, kata leluhur Sunda. Beda dengan “ekol”. Tipu daya, rekayasa, rayuan gombal, janji asal janji, kapan saja bisa tersedia. Selalu masih sangat relevan, tatkala parpol dan para calon lebih banyak menonjolkan “ekol” yang tak kenal musim, daripada “jengkol” yang tak sembarangan ada. Padahal jengkol merupakan padanan “sambel” (sambal), kawan nasi paling penting bagi orang  rakyat pemilik  suara. [  ]                     

Back to top button