Veritas

Coca Cola: Pengganti Morfin yang Mendunia dan Jadi Gaya

Veritas 1

“Sailin’ ‘round the world in a dirty gondola

Oh, to be back in the land of Coca-Cola! –Bob Dylan

JAKARTA— Nyeri karena luka-luka yang diderita akibat Perang Saudara Amerika, Kolonel John Pemberton mau tak mau terperosok menjadi pecandu morfin. Namun siapa sangka, itulah jalan pembuka penemuan luar biasa yang melintas abad hingga tiba di zaman kita: Coca Cola.

Kecanduan obat bius sekadar untuk mengurangi rasa sakitlah yang membuat Pemberton senantiasa mencari ramuan yang cukup bisa menggantikan keberadaan morfin. Sampai pada suatu hari di 1885, di Apotik Eagle Drug and Chemical miliknya di Columbus, Georgia, AS, ia menemukan cairan oplosan. Cairan tonikum yang tatkala ia minum dirasanya bisa mendatangkan suka cita dan gembira. Penemuan itu terjadi pada 15 Januari 1885.

Pemberton menamai tonik segar hasil temuannya itu dengan nama French Wine Coca, sedikit terinspirasi sukses Vin Mariani, penemu French-Corsican coca wine. Namun saat dipatenkan setahun kemudian, cairan yang diolahnya dari berbagai herbal, termasuk daun Koka dan biji kacang Kola Afrika yang menjadi sumber kafein tinggi itu diberinya nama Coca Cola.

Mulailah kemudian masa-masa perkenalan produk tersebut ke pasar. Sebagai seorang pemilik apotik, wajar bila jaringan toko obat menjadi alat pemasaran utama Coca Cola untuk pertama kali. Jacob’s Pharmacy di Atlanta, Georgia, mulai menjualnya pada 8 Mei 1886. Belum dijual dalam botol, Coca Cola dijual curah seharga 5 sen dolar AS per gelas. Mungkin agar sah dijual di toko obat, Pemberton mengklaim produk minumannya itu sebagai obat manjur buat segala jenis penyakit, terutama kecanduan obat bius, gangguan pencernaan, pusing-pusing, bahkan impotensi! Jangan dulu terbahak, saat itu orang Amerika sedang percaya-percayanya bahwa minuman berkarbonasi sangat baik untuk kesehatan. Langsung dapat kepercayaan publik, Pemberton memperluas pasar dengan memasang iklan di surat kabar Atlanta Journal pada 29 Mei tahun itu juga.

Hanya dalam dua tahun kemudian Coca Cola sudah mulai mendapatkan suntikan dari para investor ternama. Pada 1888 perusahaan kini dimiliki Pemberton bersama empat mitra bisnisnya, sesama pengusaha Atlanta. Mereka adalah J.C. Mayfield, A.O. Murphey, C.O. Mullahy, dan E.H. Bloodworth. Belakangan bergabung Asa Candler yang mengaku berhak atas sejumlah saham meski tak punya bukti tertulis dan hanya mengandalkan testimoni. Saat itu Coca Cola sudah menjadi bisnis yang menggiurkan. Selama periode 1888-1913, dari sisi promosi saja perusahaan mengklaim telah menyebar dan menerima ulang 8,5 juta karcis. Setiap karcis bisa ditukar segelas Coca Cola gratis.

Ikon gaya hidup Kapitalistis

Tetapi bicara Coca Cola akhirnya bukan bicara tentang minuman ringan, melainkan bicara tentang gaya hidup, bahkan lebih jauh lagi, Kapitalisme. Hal itu tepat sebagaimana dikatakan jurnalis AS William Allen White pada 1938.  “Coca Cola,” kata Allen, adalah esensi yang disublimasikan dari semua yang diperjuangkan Amerika.”

Bukan hanya dari mata orang Amerika. Merujuk pernyataan Richard Pells, orang-orang luar AS, terutama Eropa, melihat tak ada produk yang benar-benar merepresentasikan gaya hidup Kapitalisme, selain Coca Cola. Coke, alhasil  sejak lama telah menjadi menjadi ikon dari kedua hal yang dalam banyak sisi dibenci: Kapitalisme dan AS sendiri! Mark Pendergrast terdengar nyaris simplistis namun benar saat ia berkata bahwa orang dengan gampang bisa melihat kedekatan sebuah komunitas dengan AS hanya dari keberadaan Coca Cola di negara itu.

Kebencian warga dunia terhadap AS dengan gampang bisa berdampak kepada Coca Cola. Biasanya, tak hanya mengkritisinya dengan slogan antikapitalisme AS, orang-orang akan merujuk berbagai sisi negatif Coca Cola, terutama tiga hal: efeknya terhadap kesehatan, isu lingkungan dan praktik bisnis yang dilakukan perusahaan.

Penyebutan Coke untuk Coca Cola kadang dengan gampang dipelesetkan—dengan serius kepada isu obat-obatan illegal, kokain. Tak hanya terjadoi di luar negeri. Pada 1911 lalu, pemerintah AS menyita 40 barel dan 20 tong sirup Coca-Cola di Chattanooga, Tennessee, dengan tuduhan bahwa kafein yang terkandung dalam minuman itu ‘membahayakan kesehatan’.

Belum lagi isu SARA. Di awal 1940-an, Pepsi memasarkan produknya ke kalangan afro-Amerika (kulit hitam), ceruk pasar yang saat itu tak diacuhkan para pengusaha kalangan kulit putih AS. Slogan Pepsi yang bernuansa SARA dengan cepat mengubah kebiasaan di kalangan kulut hitam. Pada tahun 1960-an diketahui bahwa orang-orang kulit hitam AS tiga kali lebih memilih Pepsi ketimbang Coke.

Selain itu, belakangan isu berlebihannya kandungan gula yang ada pada setiap tetes Coke menjadi pembicaraan dunia. Tak hanya dituding menjadi penyebab caries pada gigi, Coca-Cola juga disebut-sebut menjadi tersangka utama fakta kelebihan gula dan berat badan yang melanda generasi muda.

Belum lagi ketidaksukaan para pesaing lokal di tempat Coca Cola dijual. Setiap kali ada kebijakan luar negeri AS yang gegabah dan culun, bisa dipastikan pula terjadi boikot terhadap Coke. Misalnya, negara-negara Arab memboikot Coke seiring investasi pabrikan minuman ringan itu di Israel. Mecca-Cola dan Pepsi sejak lama menjadi favorit pengganti Coke di Timur Tengah.

Tak hanya itu, selalu ada perlawanan dari merk minuman local terhadap Coke. Di Indonesia, kita tahu sejak lama Teh Botol mampu menahan Coke merajai pasar minuman ringan.  Tak hanya berhadapan dengan Pepsi, RC yang mulai menjalar merambah bagian dunia selain tempat asli mereka. Di Amerika Selatan dan Tengah, Coke dihadang Kola Real, sebagaimana ia dibentengi Big Cola di Meksiko.

Di Prancis, terutama Korsika, ada Corsica Cola, selain Breizh Cola di wilayah Brittany. Di Peru ada Inca Kola, di Swedia Coke dihadang Julmust, di Skotlandia minuman AS itu dijaga Irn-Bru yang mulai popular sejak 2005. Di bekas Jerman timur, Coca Cola ditarik-tarik Vita Cola yang ditemukan sejak zaman Komunis.

Di India, pasar Coca Cola masih di bawah Pepsi dan merk minuman local Thums Up. Di Kuba, Coke masih kewalahan menyaingi Tropicola. Belum lagi bila urusan sentiment keagamaan menyertai. Sudah bukan berita baru kalau produk Prancis, Mecca Cola dan produk Inggris Qibla Cola, telah lama mengambil pasar Coke di Timur Tengah.

Namun betapa pun Coke kini mengalami jatuh bangun di berbagai pelosok bumi, satu hal jelas terlihat: Cica Cola, memang ada ‘Di mana saja” sebagaimana bunyi iklan mereka di tahun 1980-an. [ ]

Back to top button