![](https://jernih.co/wp-content/uploads/2025/02/republika.jpg)
Di sebuah plaza aku hanya temukan Gibran yang
menggigil kedinginan. Dia hanya bisa menyeru, tapi
Tuhan lari entah ke mana. Wajahnya pasi seperti ragi.
Ode Kepada Teguh
–Muhammad Subarkah
Kastil tua
bulan di sana
sesepi mati
rasanya
Penjaga renta
nanar matanya
mengeja kabut nama
Sudah lama
hantu mimpi meraja
tak tahu ruam lukanya?
Elija
Musim semi telah lama memerahmu
namun sepi selalu merajam makna
pada getir rajam diri Fatma
pada bulan di malam jahanam.
Kini seuntai tulip melati
aku kalungkan kembali di lehermu
untuk mengenang hari-hari yang jauh
yang penuh mesiu teriakan dan tembakan
dalam kutuk kuyup dendam.
Sarajevo 2017
Ain Hilwa
Adakah kau simpan lenguh rinduku pada laut berkapur:
Ain Hilwa. Pucuk pinus hanya menyisakan tiris embun
daun. Dan raunganku terkapar pada padang-padang tandus
kaktus. Darahku menetes. Aku panggil Rumi. Ia tak
datang juga. Bayangannya hanya menjelma pada tali
pusar gadis Rusia. Atau, pada usungan keranda lelaki
Palestina bersenjata.
Sudah lama tanah ini menjadi batu. Jauh sebelum Musa
terusir dari tanah perjanjian. Dan jauh sebelum Tuhan
menampakkan diri pada bukit Tursina.
Di sebuah plaza aku hanya temukan Gibran yang
menggigil kedinginan. Dia hanya bisa menyeru, tapi
Tuhan lari entah ke mana. Wajahnya pasi seperti ragi.
Rindunya pada masa kanak tersangkut pada butik Kosmo
Amerika. Sedangkan mimpinya terbang sendirian. Tanpa
busur. Tanpa anak panah.
Inilah tanah impian. Seratus nabi dan ribuan pengungsi
telah lahir di sini.
Ain Hilwa engkaulah nisan dalam hidupku.
Gaza-Beirut 2003
Nyanyian Kekasih di Khalil Gibran Street
Pada deretan plaza aku temukan sosok bayanganmu yang
membatu. Hidup menjadi antrean keluhan. Ada yang
menjelma kecap, ketimun, selada, daging babi panggang,
kaleng bir, cendawan hutan, atau sekawanan binatang
ternak.
Kekasih, aku potong kepalaku sendiri ketika hujan pagi
ini menggenangi got-got dan pelimbahan kompleks taman.
Sebelum itu aku telah pakukan namamu pada bangku taman
dan tiang ayunan. Angin hanya beku memandangku ketika
mata gergaji mulai menataki ruas batang leher. Tak ada
darah. Tak ada air mata. Tak ada lenguhan. Semua diam
membisu.
Percuma bila Tuhan kau keluhkan. Nasib menuai mati di
tanganku. Tak perlu lagi doa yang kau ulurkan karena
itu telah berubah menjadi sulur akar pohon yang akan
merambati batu nisanku.
Kekasih, alangkah indahnya bila hidup sudah seperti
mati!
![](https://jernih.co/wp-content/uploads/2025/02/subarkah-_140811160808-462.jpg)
*M Subarkah, mantan wartawan Republika, penyair yang memiliki sekian banyak antologi puisi dan sempat tercatat dalam 100 Puisi Indonesia Pilihan, tahun 2008 serta 2009. Pengamat haji.