Dari atas skeduf yang tertutup itu terdengar para perempuan mereka bernyanyi penuh kesedihan akan perpisahan dengan Baitullah. “Ya Baitullah, matar ruju’. Ya Baitullah, matar ruju’…Kapan aku akan kembali menemuiMu ya Baitullah? Wahai rumah Allah, kapankah aku akan kembali?”
Pengantar :
Indonesia pernah dikaruniai seorang ulama, yang tak hanya kharismatik, melainkan pula memiliki kedalaman dan luasnya ilmu. Namun bukan itu yang paling menonjol, melainkan karakternya yangtegas dan kukuh membela kebenaran yang ia yakini. Ulama itu bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA).—
Episode 18
Bab 12
Lahirlah Seorang HAMKA
Rumah yang banyak diisi doa memang selalu menjadi tempat keberkahan bermula. Bagaimana rumah Syekh Hamid tak padat oleh doa, sedang di waktu pagi, siang dan sore, paling tidak anggota keluarga Syekh Hamid dan para pekerjanya tak pernah alpa memanjatkan doa sebelum mereka menikmati hidangan, makan bersama.
Keberkahan itu meluber sedemikian kuatnya, sehingga niat untuk mengunjunginya saja telah memberi kebaikan kepada Malik yang belum lagi sampai ke terasnya!
Pagi itu Malik tengah berjalan menuju kediaman Syekh Hamid. Berjalan kaki saja, meski tak bisa dibilang dekat. Dengan memotong jalan, tak sampai setengah jam ia sudah akan sampai.
Di sebuah jalan ia melihat seseorang baru turun dari mobil, tengah membayar. Malik merasa akrab dengan orang itu, tapi dimana? Sekejap benak Malik bekerja mengolah data di kepalanya. Benar! Itu Haji Agus Salim, politisi terkemuka dan penulis brilian yang tulisannnya tak pernah ia lewatkan sejak Sekolah Desa!
“Mohon maaaf, Engku, Engkukah Haji Agus Salim itu?” kata Malik. Suaranya masih berpacu dengan nafasnya yang ngos-ngosan setelah berlari. Orang itu sebentar mengucapkan terimakasih kepada sopir mobil yang barusan dibayarnya. Tangannya masih sibuk menertibkan kopor-kopor bawaannya saat menjawab pertanyaan Malik.
“Ya, ada apa, Dik?”
“Biar ambo bantu bawakan,” kata Malik, alih-alih segera merespons Agus Salim. Diangkatnya dua kopor dengan kedua tangannya, membawanya lebih ke tepi.
“Engku hendak menginap di mana?” justru ia balik bertanya.
“Kau carilah tempat minum dulu. Kita ke sana. Nanti boleh wa’ang carikan Engku tempat menginap yang baik di sekitar sini,” kata Agus Salim.
Malik pun membawa kedua kopor itu, mencari semacam warung kopi tempat orang berkumpul, berbincang dan istirah. Tempat yang segera ia temukan berdasar pengetahuannya tentang lika-liku kota Mekkah setelah tinggal sekian lama.
“Wa’ang tadi bertanya, apakah saya Agus Salim. Ada apa?” kata Agus Salim setelah keduanya duduk di pojok. Warung itu sedang tak begitu ramai, beda dengan saat pelaksanaan haji kemarin. Belum tentu orang menemukan tempat kosong bahkan setelah berjam-jam sabar menunggu. Itu yang biasanya sering membuat yang punya tempat mengusir para pengunjung yang datang hanya memesan secangkir kopi, lalu duduk berbincang berjam-jam.
“Ambo mengenali Engku saja,” jawab Malik. “Tulisan Engku banyak ambo baca sejak lama. Alhamdulillah Allah mempertemukan.”
Agus Salim tersenyum. Malik yang masih saja takjub dengan pertemuan itu tak henti mengoceh. Ia mengatakan mengenal orang yang dikaguminya itu dari gurunya, HOS Cokroaminoto.
“Wah, wa’ang berguru pula kepada Cokro?” tanya Agus Salim. Matanya berkilat. Senang juga hatinya bertemu anak muda yang sempat dididik Cokro di sini, di Arab Saudi. Malik mengangguk dengan sedikit malu. “Ya, Engku.”
Agus Salim tanpa ditanya menerangkan alasan kepergiannya ke Mekkah, juga mengapa ia tiba terlambat sepekan setelah pelaksanaan haji usai. Sebenarnya selain hendak berhaji, ia pun berencana menghadiri ‘Kongres Islam Internasional’ yang akan digelar di Jeddah.
Sayangnya, selain kongres itu tiba-tiba dibatalkan, kapal laut yang ditumpanginya pun mogok di dekat Pelabuhan Aden, Yaman. Itulah yang membuat perjalanannya telat, hingga baru masuk Pelabuhan Jeddah nyaris sepekan setelah selesainya haji.
“Ya…apa hendak dikata. Sudah kehendak Allah. Kalau tidak, kita tak akan bertemu, kan?” katanya. Senyum yang tulus mengembang di sudut bibirnya. Malik yang merasa tersanjung dengan kalimat itu menjadi rikuh.
Setelah meminum segelas sirop yang dibayari Agus Salim, Malik langsung menawarkan diri membantu segala yang dibutuhkan Agus Salim selama di Mekkah. Tentu saja Agus Salim tak serta merta menerimanya. Selain dirinya sendiri pun bisa melakukan dan mencukupi apa yang diperlukan, di mata Agus Salim Malik masihlah orang asing yang baru ia kenal.
Tetapi Agus Salim pun merasa tak boleh mengabaikan anak muda yang matanya memancarkan semangat, keberanian dan kesiapan menghadapi tantangan itu. Akhirnya ia pun mengiyakan. “Kita lihat dalam satu dua hari ini ya,” katanya. “Bila saya rasa wa’ang tak cukup membantu, kita selesai.” Malik menyanggupi.
Hasilnya, bahkan sejak hari pertama Agus Salim merasa puas dengan bantuan Malik. Tak hanya mencarikan hotel bagus dengan tarif masuk akal, Malik pun dengan mudah selalu bisa memberikan pilihan apa yang dikehendaki Agus Salim. Seolah ekor, Malik tak pernah jauh dari Agus Salim. Bila sang politisi itu ke masjid, Malik pun ke masjid. Saat Agus Salim berkunjung ke Kyai Bakir, seorang ulama Yogya yang telah bertahun-tahun bermukim di Mekkah, Malik menemaninya. Ke rumah Tuan Janan Thaib dan sedemikian banyak orang terkemuka di Mekkah demikian pula. Setiap kali menemani Agus Salim itu Malik menyaksikan betapa hebatnya Agus Salim. Politisi Muslim itu bisa bicara topik perbincangan apa pun: dunia pergerakan nasional, pergerakan dunia Islam, politik internasional, hukum, seni budaya, susastra, intisari tauhid, misteri dunia tasawuf dan kekayaan pemikiran filsafat. Malik mendengar dan mencoba merekam dalam benaknya pembicaraan tingkat tinggi itu. Karena tak hanya pejabat dunia Arab yang mengajak Agus Salim berbincang, melainkan beragam konsul negara-negara Eropa, Malik pun terperangah saat tahu bahwa Agus Salim dengan fasih mampu berbincang dengan lebih dari empat bahasa berbeda!
“Wa’ang kapan pulang ke Padang Panjang, Malik?” tanya Agus Salim saat Malik menemaninya makan siang.
“Entahlah Engku. Mungkin setahun mendatang, mungkin lebih,” jawab Malik. Ia menjawab dengan ringan, tanpa pretensi obrolan soal itu akan jadi panjang. “Mengapa? Apo nan ka ang unjikan di siko? Memang apa yang kau tunggu?”
Malik langsung kaget. Tak ia nyana Agus Salim akan bertanya seperti itu.
“Eh, Engku Haji, saya ingin belajar sebentar di sini. Belajar agama. Agar orang-orang tak lagi mengolok-olok saya tak bisa nahwu, salah dalam sharaf. Saya tak mau jadi bahan olok-olok.” Malik menjawab, namun dengan segera Agus Salim tahu bahwa jawaban tersebut mengambang tak berakar di hati pemuda itu. Ia hanya sedang mencari alasan kegundahan dirinya meneruskan hidup tanpa tujuan, sekadar ikut arus dan mengekor sang waktu.
Agus Salim terkekeh. “Kalau waang ingin belajar agama, di Minang pun dapat. Apatah ayahmu seorang alim sekaliber Haji Rasul. Pulanglah. Banyak hal penting yang bisa waang lakukan di dan untuk Indonesia.”
“Indonesia?” sergah Malik. “Hindia Belanda mungkin, Engku?”
“Indonesia, Malik. Penyebutan Hindia Belanda itu sudah harus kita tinggalkan. Orang-orang penjajah itu sangat senang kita masih menyebut diri Hindia Belanda. Kau lihatlah, bahkan Muhammad Hatta—orang Minang juga, bersama kawan-kawannya di Belanda, di rumah para penjajah itu, mendirikan perkumpulan bernama Perhimpunan Indonesia.
Mereka memulainya dengan nama Indonesische Vereniging. Tapi hanya sebentar mereka mengubahnya menjadi Perhimpunan Indonesia. Jadi Indonesia, Malik, bukan Hindia Belanda.”
Tak berhenti sampai situ, Agus Salim pun kemudian menerangkan mengapa Malik harus segera pulang. Di Mekkah, kata Agus Salim, Malik mungkin mendapatkan ketenangan, belajar dan banyak berdoa di masjid dengan janji pahala terbesar, Masjidil Haram.
“Tapi waang tak hanya tidak akan tahu bagaimana kondisi dan pergolakan nasional di Tanah Airmu. Waang juga tak memberikan peran sedikit pun untuk masyarakatmu yang justru sedang butuh-butuhnya para pemuda sepertimu.”
“Waang kemarin dulu berhaji. Lihat, adakah yang berbeda dari sekian ratus ribu orang yang datang untuk berhaji? Mereka berkumpul di tempat yang sama. Mengenakan pakaian putih yang sama, menghadapi langit dan matahari yang sama, tak peduli dari mana dan apapun warna kulit masing-masing mereka. Kau lihat kadang mereka pun makan bersama dari tampah yang sama. Semua sama karena derajat mereka pun dalam Islam tidaklah berbeda.”
“Kau kabarkan semua itu kepada warga sekampungmu, sekotamu, seluruh Minang, seluruh Indonesia. Kabarkan bahwa membesar-besarkan perbedaan itu memang menyenangkan para penjajah itu. Membuat mereka bisa mengklaim bahwa mereka bisa memperbudak kita karena mereka tak sama dengan kita para pribumi.”
“Pulanglah, dan segera kau sumbangkan apa yang bisa kau perbuat untuk bangsamu, Malik. Untuk Indonesia!” kata Agus Salim. Malik hanya mampu mendengarkan tanpa menyela sepatah kata pun. Mulutnya pun tak sengaja sedikit terbuka.
Sempat terpekur cukup lama, Malik akhirnya berkata ia akan ikuti saran Agus Salim itu.
“Waang akan pulang. Besok sore, insya Allah.” Agus Salim tersenyum. Hari itu pula keduanya berpisah. Apalagi Agus Salim pun berkata bahwa dirinya bisa mengurus sendiri apa-apa yang ia perlukan. Saat Malik berpamitan, politisi Islam itu mengepalkan sejumlah uang ke tangan Malik.
“Sedikit saja Malik. Semoga membantumu,” katanya. Malik menerima bantuan itu dengan terharu.
Hari itu Malik menjumpai orang-orang yang dikenalnya dengan baik selama di Mekkah. Ia pamitan. Juga kepada Syekh Amin Idris. Saat itu kembali Malik nyaris terlibat perselisihan dengan syekh pengurus jemaah haji tersebut. Syekh itu memaksanya naik skeduf dalam rombongan yang hendak berangkat ke Jeddah itu. Tentu agar ongkos yang dibayar Malik cukup besar. Malik menolak karena ia tak punya cukup uang selain untuk tiket pulang dan bekal di perjalanan.
“Fulusy mafasy. Tak ada uang,” katanya kepada syekh itu. Ia hanya melemparkan kopornya yang lebih banyak berisikan kitab-kitab pemikiran para ulama Timur Tengah itu ke punggung unta, setelah Rauf memberinya isyarat membolehkan. Namun syekh itu berkeras Malik membayar sedikitnya 1 pound.
“Kau kan ikut rombongan, artinya tetap bayar meski kau berjalan kaki,” teriaknya. Malik hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat betapa rakusnya sang syekh akan uang. Namun tak urung dikeluarkannya juga uang itu.
Petang itu masih ada waktu buat Malik berpamitan kepada Masjidil Haram dan Kabah. Sengaja ia memasuki masjid dari pintu ‘Baabus Salam’ (Pintu Keselamatan) sebagaimana disarankan. Setelah thawaf tujuh kali mengelilingi Kabah, ia pun mendekat ke Kabah, memegangi kiswah dan tafakur di bawah lindungan Kabah yang tegak perkasa. Hatinya rawan, penuh kesedihan. Ada semacam kerinduan akan momen-momen selama ini setiap kali ia memasuki Haram dan berthawaf, yang beranjak pergi meninggalkan. Air mata Malik tak hanya merembes dari sudut matanya, melainkan mengucur deras, keluar seiring tercurahnya segala kesedihannya.
Sesudah beberapa lama, berjalanlah ia ke arah barat daya, menuju Baabul Wada (Pintu Selamat Tinggal). Ia melangkah surut ke belakang, sambil matanya tetus menatap Kabah, menyatakan selamat tinggal. Bismillahi-Allahu akbar. Ia akan segera meninggalkan Tanah Suci, entah kapan kembali lagi. Teringatlah dirinya berbulan-bulan menegakkan shalat di sana, pagi, siang, malam hingga dini hari. Ia harus segera bersiap memasuki pergulatan hidup di Tanah Air, yang mungkin saja lebih berat.
Saat kakinya keluar pelataran masjid, matahari sudah hampir terbenam. Layung menguning di ufuk barat. Rombongan Malik berangkat saat itu juga. Ia menguntit seekor unta, bersama Rauf yang berjalan bersamanya. Tadi Syekh Amin Idris memberinya bungkusan berisi roti, yang sempat ragu Malik terima. Ganjil saja, pikirnya, syekh rakus itu memberinya bekal makanan. Air sekimpul tergantung di bahunya, bekal kala haus di perjalanan. Rombongan keluar dari pintu barat kota, dari ‘Harat el Bal’.
Malik tak yakin penanggalan hari itu. Mungkin hampir pertengahan Muharram. Bulan bersinar terang di atas mereka, menerangi padang pasir yang mereka lihat terhampar begitu luasnya. Kaki Malik terasa panas membenam di gundukan pasir yang selama seharian dipanaskan terik surya.
Sesekali mereka berpapasan dengan khafilah lain yang berjalan lebih kencang, entah untuk mengejar apa. Bila mereka menjumpai para gembala Baduwi, orang-orang itu segera berteriak menegur orang-orang yang menunggang unta, menyuruh mereka yang tertidur menyeimbangkan kedudukannya di skeduf. “Mizan, yallah! Mizan!”
Bila mereka bertemu khafilah asal Mesir, biasanya dari atas skeduf yang tertutup itu terdengar para perempuan mereka bernyanyi penuh kesedihan akan perpisahan dengan Baitullah.
“Ya Baitullah, matar ruju’. Ya Baitullah, matar ruju’…Kapan aku akan kembali menemuiMu ya Baitullah? Wahai rumah Allah, kapankah aku akan kembali?”
Gabungan rintihan kerinduan akan Baitullah, padang pasir yang menghampar sejauh mata memandang, sinar bulan yang menerangi perjalanan, mau tak mau membuat perasaan Malik pun gundah. Ia kini rindu. Pada Baitullah, ya, akan Minangkabau pun ya. Tak terasalah, menyanyilah ia lagu Minangkabau dengan langgam Pariaman.
“Pucuk si linggalah-linggalah
Pucuk si jawi-jawi muda
Tanah Suci tinggal-tinggalah
Kampung hamba menanti pula.”
Pada malam hari hampir selalu Malik mendengar nyanyian manakala bertemu khafilah. Para haji menyanyi penuh kerinduan, dengan bahasa mana pun tergantung dari mana ia berasal.
Mungkin itulah kesempatan, sebelum tiba di kampung dan para haji itu dianggap janggal menyanyi-nyanyi. Bertemu para gembala baduwi pun didengarnya nyanyian, meliuk-liuk dalam bahasa Arab dengan alunan yang beragam, kadang gembira begitu riangnya, atau sedih begitu ngungunnya. Konon, unta-unta akan senang dan kuat berjalan manakala penunggangnya menyanyi sepanjang jalan.
Di Maninjau mungkin saja Malik seorang yang kuat berjalan jauh. Tetapi melintas padang pasir itu soal lain. Kakinya yang seringkali terbenam di pasir panas, membuatnya lekas lelah. Apalagi pasir panas pun membuat Malik merasa seakan telapak kakinya itu terbelah.
Saking lelahnya, meski perhentian Bahra masih jauh, Malik memilih tidur beralaskan pasir hangat di pinggir jalan. Rauf sudah jauh di depan sana. Tapi biarlah, toh sepanjang jalan banyak khafilah lewat. Karena lelahnya, Malik pun tertidur dengan nyenyaknya.
Ia baru terbangun subuh keesokan harinya. Hanya bertayamum, Malik melaksanakan shalat subuh. Lalu segera berjalan mengejar rombongan. Begitu matahari bulan Juni naik, Malik pun segera payah. Matahari begitu terik. Sebentar-sebentar berhentilah ia, mencubit roti dan meneguk air. Saking seringnya, sementara perhentian Bahra masih jauh, roti dan air minum Malik sudah tandas habis.
Untunglah saat gundukan perkampungan Bahra sudah terlihat, Malik yang di jalan bertemu dengan dua orang haji asal Aceh, melihat sekumpulan orang menjerang air di pinggir jalan.
Orang-orang Afghanistan, ternyata.
“Faddal! Faddal!” kata mereka, menyilakan Malik dan kawannya bergabung. Dibukanya bungkusan yang mereka bawa, berisi tiga empat lembar roti pipih dan segumpal kurma.
“Silakan! Silakan!” Tampaknya ‘faddal’ itulah yang mereka kuasai selama sekian lama di Tanah Suci.
Malik yang lapar segera ikut makan. Ia bahkan sempat menikmati teh yang mereka sajikan. Tehnya harum, enak sekali. Atau mungkin karena lapar dan haus. Setelah berkali-kali mengucap ‘faddal’, Malik dan teman-temannya pergi meninggalkan orang-orang Afghan yang baik hati itu. [bersambung]