Dampak Covid-19, Pemerintah Diskriminatif, Swasta Juga Butuh Perhatian
Jakarta – Sikap pemerintah terlihat diskriminatif terhadap sektor swasta yakni non-UMKM dan BUMN dalam menyikapi kondisi perekonomian yang terdampak Covid-19. Padahal sektor swasta ini selama ini sudah banyak membantu dalam perputaran roda ekonomi Indonesia.
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan, KADIN Gita Wirjawan mengungkapkan, sangat disayangkan apabila dunia usaha swasta sebagai salah satu motor ekonomi yang telah membantu pendongkrakan ruang fiskal sebesar 15 kali dalam 20 tahun terakhir dengan mudahnya dianggap mampu untuk membantu dirinya sendiri.
“Kesalahan parkir logika tersebut sangat riskan dan akan tercermin dalam kelumpuhan daya produksi, daya saing, dan kapasitas peningkatan ruang fiskal di kemudian hari,” ujar Gita Wirjawan, Selasa (19/5/2020).
Ia menjelaskan, Covid-19 sangat tidak pandang bulu, warna kulit, agama, geografi, ketenaran, kekuatan fisik maupun keuangan. Sikap Covid-19 yang sangat non-diskriminatif ini justru harus ditanggulangi dengan reaksi ataupun policy response yang semestinya non-diskriminatif dan inklusif. “Ini bukan semata hanya utk kepentingan survival, tapi yg lebih penting lagi adalah untuk bisa lebih bersaing di kemudian hari,” timpal mantan Menteri Perdagangan ini.
Peran swasta atau dunia usaha lanjutnya, merupakan 87% dari kue ekonomi atau PDB Indonesia sebesar Rp16.000 triliun rupiah (13% peran APBN). Hal tersebut sangat menopang pertumbuhan sehingga Indonesia menjadi ekonomi terbesar nomor 17 di dunia dan menjadi salah satu anggota dari grup prestisius G-20.
Penerimaan pajak juga sudah beranjak 15 kali lipat dari Rp116 triliun di 2000 ke Rp1.786 triliun rupiah pada 2019. Kenyataan yang indah ini kental dengan kebijakan fiskal pemerintah yang semakin pruden, proaktif, inklusif dan tepat sasaran dalam merangsang pembayar pajak termasuk individu dan dunia usaha.
Dunia usaha yang terdiri dari UMKM, BUMN, dan non-BUMN bukan hanya berperan dalam pengisian ruang fiskal lewat pembayaran pajak, namun juga dalam beberapa hal lainnya.
“Termasuk pemberdayaan tenaga kerja yakni 95% dari seluruh 130 juta tenaga kerja berdaya di sektor UMKM, produksi barang dan jasa yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas di tanah air dan juga diekspor ke luar negeri, dan persaingan terhadap industri di negara-negara tetangga yang mencari pangsa pasar internasional yang sama,” katanya.
Ia juga melanjutkan, program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang tertuang dalam Perppu 1, 2020 dan Peraturan Pemerintah No.23 sangat mulia dengan semangat memuat unsur keadilan sosial, kaedah kebijakan yang penuh dengan prinsip kehati-hatian, dan dukungan untuk pelaku usaha.
Salah satu isu atau concern yg tersirat dalam tuangan PP No.23 tersebut adalah perhatian yang cukup besar diberikan terhadap para UMKM dan khususnya untuk kepentingan restrukturisasi utang beberapa BUMN sebesar hampir Rp400 triliun.
Sedangkan penempatan dana yang direncanakan oleh pemerintah di bank perantara hanya sekitar Rp34 triliun. Inipun dilakukan bukan dalam bentuk jaminan dari pemerintah sehingga resiko kredit tetap akan diambil oleh para bank perantara yang kemungkinan besar akan menolak atau sulit mengambil risiko kredit tersebut.
Gita menambahkan, saat ini negara-negara tetangga menggelontorkan lebih dari 10% dari PDB untuk kepentingan pemulihan ekonominya. Sementara Indonesia sebagai ekonomi terbesar (43% dari perekonomian ASEAN) baru menyiapkan 2.5% dari PDB nya.
“Ini mungkin mencerminkan kurangnya pendalaman mengenai inti permasalahan yg terjadi sekarang ini. Yang lebih penting lagi adalah pendalaman mengenai kemana kita mau arahkan perekonomian kita di kemudian hari,” tandasnya. [*]